Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK

- Admin

Rabu, 18 Agustus 2021 - 13:12 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kedua, pembentukan Pasal 5 ayat (4) Peraturan Komisi (Perkom) Pemberantasan Korupsi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi Menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (Perkom) yang mengatur TWK sebagai syarat alih status pegawai KPK menjadi ASN dapat dilihat sebagai suatu penyimpangan hukum. Pasal 69 UU Nomor 19 Tahun 2019 dan Pasal 3 dan 4 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 yang memuat syarat-syarat alih status pegawai KPK tidak mengatur TWK apalagi mendelegasikan dalam aturan turunan sehingga jelas terjadi antinomi norma di sini.

Patut diduga ini tafsir KPK yang gagal memahami teknik pembentukan peraturan perundang-undangan dan mengacaukan tertib perundang-undangan karena menyebabkan pertentangan norma yang lebih tinggi (UU dan PP) dengan yang lebih rendah (Perkom). Dalam situasi ini, maka melanggar asas lex superiori derogat legi inferiori dimana hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah. Tidak hanya itu, pengaplikasian norma yang telah berakibat terhadap pemberhentian pegawai KPK merupakan tindakan yang melampaui kewenangan dan perbuatan melawan hukum. 

Baca Juga : Mabuk Kuasa
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI

Seharusnya, dalam konteks ini, Pasal 69C UU Nomor 19 Tahun 2019 dan Pasal 3 dan Pasal 4 PP 41 Tahun 202 diposisikan sebagai hukum khusus (lex specialis) yang artinya aturan umum dan/atau aturan yang bertentangan dengan kedua aturan ini harus dikesampingkan (lex specialis derogat legi generali). Hal ini didasarkan pula pada fakta bahwa maksud pembentuk undang-undang hanya sebatas menjadikan pegawai KPK menjadi ASN (PNS/PPPK).

Baca juga :  Uskup Mesti Mengendus Kasus Perampasan Tanah di Labuan Bajo

Ketiga, penolakan terhadap tindakan korektif yang disarankan Ombudsman Republik Indonesia (ORI). ORI berdasarkan  kewenangannya yang diamanatkan oleh UU Nomor 37 Tahun 2008 dan UU Nomor 25 Tahun 2009 pada 21 Juni 2021 telah menemukan ada dugaan penyimpangan prosedur TWK dan penyalahgunaan wewenang terkait harmonisasi terakhir Perkom KPK Nomor 1 Tahun 2021.

Temuan ini terungkap setelah ORI melakukan pemeriksaan; pertama, berkaitan dengan rangkaian proses pembentukan kebijakan proses peralihan pegawai menjadi ASN (penyusunan Perkom Nomor 1 Tahun 2021); kedua, proses pelaksanaan peralihan pegawai KPK menjadi ASN (TWK); dan yang ketiga adalah pada tahap penetapan hasil asesmen TWK. Diantara penyimpangan tersebut adalah backdate kontrak swakelola antara KPK dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) ditandatangani pada 8 April 2021, dan kontrak diteken pada 26 April 2021, tapi dibuat mundur menjadi 27 Januari 2021.

ORI menyarankan kepada KPK untuk melakukan tindakan korektif kepada KPK dan BKN, salah satunya KPK mengalihkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK menjadi ASN sebelum 30 Oktober 2021. Alih-alih menjadikan temuan ORI sebagai dasar membatalkan keputusannya, KPK justru menolaknya.

Tidak hanya menolak, KPK terkesan mencari-cari alasan kala menyatakan ORI telah mengambil-alih kewenangan lembaga peradilan untuk menguji peraturan perundang-undangan. Padahal secara terang benderang tidak ada pengujian yang dilakukan ORI, dibuktikan dengan tidak adanya pernyataan apapun yang menyatakan “sah,” “tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya,” atau sebaliknya yang bertujuan menguatkan atau mendegradasi keberadaan Perkom. Sikap itu sendiri jelas menunjukan keangkuhan dan egoisme terhadap kekuasaan. Selain itu, KPK menampakan perilaku tidak ingin dikontrol. Hal ini akan menjadi preseden buruk dalam penyelenggaraan negara, sudah selayaknya KPK menerima dan menjalankan, apalagi KPK merupakan lembaga penegak hukum.

Baca juga :  Politik Identitas ‘Racun’ Demokratisasi

Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ
Baca Juga : Hindari Pinjaman Online

Keempat, berdasarkan Laporan Hasil Penyelidikan Komnas HAM RI dugaan pelanggaran HAM dalam proses alih status pegawai KPK. Komnas HAM menemukan bahwa proses alih status Pegawai KPK menjadi ASN melalui Asesmen TWK hingga pelantikan 1 Juni 2021 diduga kuat sebagai bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan background tertentu. Penyelenggaraan asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK tidak semata-mata melaksanakan perintah dari UU No. 19 Tahun 2019 yang merupakan revisi UU KPK No. 30 Tahun 2002 dan PP No. 41 Tahun 2020, namun memiliki intensi lain.

Maka berdasarkan seluruh konstruksi peristiwa penyelenggara asesmen TWK merupakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia, ditinjau sisi kebijakan atau perlakuan, dan ucapan (pertanyaan dan pernyataan) yang memiliki karakteristik yang  tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia.

Baca juga :  Degradasi Moral: Akar Korupsi di Indonesia

Setidaknya, 11 bentuk pelanggaran HAM yang terjadi pada proses asesmen TWK dalam rangka alih status Pegawai KPK, yaitu Hak Atas Keadilan Kepastian Hukum, Hak Perempuan, Hak Bebas dari Diskriminasi (Ras dan Etnis), Hak kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, Hak Atas Pekerjaan, Hak Atas Rasa Aman, Hak Atas Informasi Publik, Hak Atas Privasi, Hak untuk Berserikat dan Berkumpul, Hak untuk Berpartisipasi dalam Pemerintahan, Hak Atas Kebebasan Berpendapat. Maka telah keluar rekomendasi dari Komnas HAM diantaranya memulihkan status Pegawai KPK yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) untuk dapat diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara. Maka sudah selayaknya KPK mengindahkan rekomendasi tersebut.

Baca Juga : Setelah Pandemi, Kita ke Mana?
Baca Juga : Cerita Tuna Penjaga Mata Air

Kelima, Peraturan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Perpim KPK) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perjalanan Dinas di Lingkungan KPK diterbitkan pada 30 Juli 2021 atau setelah pegawai KPK beralih status menjadi ASN semakin mendegradasi nilai-nilai KPK yang selama ini dibangun. Dalam Pasal 2A Ayat (1) diatur bahwa pelaksanaan perjalanan dinas untuk mengikuti rapat, seminar, dan sejenisnya ditanggung oleh panitia penyelenggara. Pada Pasal 2A Ayat (2) disebutkan bahwa jika panitia penyelenggara tidak menanggung biayanya, biaya perjalanan dinas tersebut dibebankan kepada anggaran KPK.

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 1 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA