Syed Hussein Alatas
Syed Hussein Alatas, lulusan Universitas Amsterdam, menguraikan pemikirannya tentang korupsi melalui dua judul bukunya. Pertama, buku The Sociology of Corruption (Sosiologi Korupsi) yang diterbitkan di Singapura pada 1968 oleh penerbit Times International. Isi buku pertama ini kemudian dieksplorasi dalam buku kedua. Kedua, buku Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi diterbitkan oleh LP3ES pada 1987. Sebagaimana diakui Alatas, buku kedua ini “merupakan hasil dari suatu pengamatan terhadap korupsi yagn berlangsung lama yang semula timbul ketika Perang Dunia Kedua di Jawa, di bawah pendudukan Jepang” (1987: vii).
Alatas sendiri mengakui bahwa mendefinisikan korupsi secara komprehensif merupakan suatu usaha yang mustahil. “Yang mungkin ialah membuat gambaran yang masuk akal mengenai gejala tersebut [korupsi] agar kita dapat memisahkannya dari gejala lain yang bukan korupsi” (1987: vii). Kesulitan mendefinisikan korupsi pada Alatas juga diakui oleh B. Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi (2018).
Menurut Priyono, mendefinisikan korupsi seperti mengejar fatamorgana. “Dari kejauhan, pertanyaan ‘apa itu korupsi?’ ibarat sebuah gumpalan awan, dengan wujud dan batas yang jelas. Namun, ketika didekati lalu dimasuki, wujud dan batas yang jelas itu buyar dan menjadi helai-helai kabut terpencar, mengelak untuk ditangkap” (Priyono, 2018: 1). Tentu, perdebatan tentang definisi korupsi berada di luar intensi tulisan ini.
Tidak seperti Mochtar Lubis dan Ajip Rosidi yang cenderung hanya berfokus pada konteks Indonesia, Alatas menguraikan pemikirannya tentang korupsi secara lebih luas. Analisisnya membentang jauh melewati batas teritorial negara Indonesia sebab ia juga menganalisis praktik korupsi di negara-negara berkembang lainnya khususnya di Asia. Menurut Alatas, “masalah gawat yang paling mewabah di berbagai masyarakat yang sedang berkembang adalah korupsi” (Alatas, 1987: vii).
Menurut Alatas, ada beberapa hal yang menjadi penyebab munculnya korupsi di Indonesia dan di negara-negara berkembang lainnya di Asia. Pertama, Perang Dunia II. Perang yang berkepanjangan mengakibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah yang begitu besar (1987:120). Pada saat yang sama, ketika perang usai, pejabat pemerintahan dan sistem yang dibangunnya tidak memiliki kapasitas untuk membangung iklim politik yang transparan. Akibatnya, korupsi merajalela, dan seringkali publik dituntut untuk berdamai dengan situasi tersebut.
Kedua, pemerintahan kolonial. Pejabat negara yang telah lama hidup dalam sistem yang dibangun pemerintah kolonial seringkali ‘merawat’ sistem korup ala kolonial. Setelah membebaskan diri dari kolonialisme, mereka menjadi elit politik yang, menurut Alatas, “dihadapkan pada peluang yang sebelumnya tidak ada” (1987: 120-121)
Ketiga, beban birokratis (birokrasi yang kegemukan). Tentang hal ini, Alatas menulis: “bertambahnya jumllah pegawai negeri dengan cepat, bertambah luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas, dan pengaruh partai-partai politik, menyediakan tanah subur bagi korupsi” (1987:122). Persoalan ini tetap bertahan hingga saat ini. Pegawai birokrat setiap tahun terus bertambah, sedangkan jaminan hidup mereka semakin menurun. Akhirnya, korupsi menjadi alternatif mengisi kekosongan finansial.
Keempat, birokrasi patrimonial. Menurut Alatas, para pejabat publik di Indonesia dan Asia umumnya tidak mampu membuat perbedaan antara kewajiban publik dan kewajiban privat (1987:123). Hal ini misalnya, para pejabat kita sering memanfaatkan fasilitas publik yang berada di bawah kekuasaannya untuk digunakan oleh anggota keluarga. Selain itu, jabatan-jabatan politik pun dipercayakan kepada anggota keluarga tanpa melalui proses seleksi yang transparan dan kredibel.
Kelima, kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku antikorupsi (1975:46). Perilaku koruptif sudah sedemikian mendarah-daging baik secara kultural maupun struktural pada sistem politik. Mulai dari pemimpin politik hingga kepala rumah tangga, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar terjadi. Sementara itu, teladan perilaku antikorupsi menghilang entah ke mana.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya