Belut sakti berdiam di dalam lubang batu di bawah beringan tua yang besar. Belut ini tidak sembarangan keluar dari huniannya. Belut akan keluar dari lubang jika dipanggil oleh tetua adat dan diikuti dengan penyembelihan ayam. Pengunjung yang ingin melihat belut sakti perlu mempersiapkan seekor ayam. Ayam tersebut akan dibunuh oleh pawang. Darah ayam tersebut diteteskan pada lubang tempat tinggal belut sakti. Setelah itu, pawang akan mencabik-cabik daging ayam dan diberikan kepada belut sakti.
Konon, jika ada pengunjung yang berniat jahat, belut tidak akan keluar dari lubang batu walaupun ayam sudah disembelih. Tetapi jika ada niat yang baik, belum sakti akan keluar dari lubang untuk memakan daging ayam. Orang yang berniat baik pasti akan melihat belut. Warga meyakini bahwa jika belut datang dalam jumlah yang banyak maka peluang besar pengunjung akan mendapat rejeki.
Masyarakat adat Lio mempercayakan Mosalaki (tetua adat) menjadi pawang. Pawang memanggil belut sakti dengan bahasa adat “Mai mamo, mai mamo” yang secara harafiah berarti “Mari leluhur datang makan”.
Ukuran belut sakti itu seperti tangan orang dewasa dengan diameter sekitar 10 sentimeter dan panjang sekitar 45 sentimeter. Belut tersebut memiliki gigi emas di ujung mulut bagian atas. Pawang kesulitan menghitung jumlah belut di dalam lubang. Hal ini karena belut biasanya keluar hanya 2 atau tiga ekor. Selama bertahun-tahun warga tidak pernah melihat belut mati terkapar di pinggir sungai. Masyarakat percaya bahwa jika belut sudah tua dan mati, belut tersebut akan lenyap dengan sendirinya
Berdasarkan legenda yang berkembang di masyarakat, belum sakti ini memiliki keterkaitan langsung dengan seorang leluhur kampung adat wolotolo bernama Sare Ngole. Sare Ngole menderita penyakit kulit yang agak aneh karena kulit bersisik seperti ikan. Melihat keadaan yang menggenaskan itu, warga kampung mengasingkan dia dari masyarakat.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya