Tag: Flores

  • Nama-Nama Orang Flores

    Nama-Nama Orang Flores

    Indodian.com – Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis dan konektivitas para pedagang Arab, Ternate, Sulawesi, Palembang ke wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur (mereka menyebutnya insulinda ilhas), agama asli orang Flores dan sekitarnya adalah menyembah pohon dan arwah leluhur. Agama asli itu perlahan memudar di abad kelima belas setelah Portugis memperkenalkan agama Katolik kepada orang Flores dan sekitarnya.

    Belum genap 1 abad Portugis berkuasa di Flores dan sekitarnya, bangsa Eropa itu harus bersaing dalam hal perdagangan dengan para pedagang Arab, Ternate, Sulawesi, Palembang. Akibat dari adanya proses sosialisasi antara warga pribumi dengan para pedagang maka orang Flores dan sekitarnya termasuk orang Timor (barat dan Timur) yang masih menganut kepercayaan asli kemudian menganut agama Islam.

    Meskipun agama Islam bukan merupakan agama mayoritas di pulau Flores dan sekitarnya ataupun di Nusa Tenggara Timur tetapi sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat pribumi yang sudah menganut agama Islam mendapatkan tempat yang sama dan sederajat dengan penganut agama Katolik seperti di Adonara, Lembata, Solor juga pulau Ende. Umumnya penganut agama Islam mendiami wilayah pesisir sedangkan penganut Katolik mendiami wilayah pegunungan.

    Nama Orang Flores

    Kehadiran Portugis di pulau Flores dan sekitarnya berdampak secara langsung kepada masyarakat sekitar yang sebagian secara sukarela memilih untuk dibaptis dan sebagian lainnya dipaksa untuk dibaptis menjadi Katolik. Bangsa Portugis yang membawa serta para misionaris dari ordo Dominican sesuai dengan misinya yaitu Feitaria, Fortaleza, Igreja atau lazim dikenal dengan istilah Gold, Glory, Gospel ini kemudian memilih nama-nama Nasrani untuk diberikan kepada orang Flores dan sekitarnya.

    Jika sebelum menganut agama Katolik seseorang memiliki nama (misalnya Du’a Goit) maka setelah dipermandikan/ dibaptis, ia akan diberikan nama baptis yang diletakan di depan namanya sehingga menjadi Clementina Du’A Goit. Dalam beberapa kasus warga pribumi yang memiliki kedekatan personal dengan para misionaris atau pemimipin kolonial Portugis di pulau Flores dan sekitarnya diberikan marga-marga Portugis.

    Di abad ke XVII hingga pertengahan abad XVIII, nama-nama orang Flores dan sekitarnya pada umumnya 100% identik dengan nama-nama Portugis seperti Joao, Antonio, Simao, Claudio, Bernardo, Aprilio, Jose, Pedro, Dominica, Fransisco, Edmundo, Alberto dan lain-lain yang tentu saja nama lokal ala orang Flores dan sekitarnya pun tetap dipakai.

    Namun demikian sejak tahun 1859 pasca Portugis memindahkan seluruh kekuasaannya ke pulau Timor bagian timur, maka sebagai gantinya orang-orang Flores dan sekitarnya yang sudah menganut agama Katolik dilayani oleh para misionaris asal Belanda dari ordo Jesuit. Sedangkan misionaris dari ordo Dominican harus melayani orang-orang Katolik di pulau Timor bagian timur (baca: Timor Leste) mengikuti tuannya yaitu bangsa Portugis. Ordo Jesuit yang sebelum menginjakan kaki di Pulau Flores dan sekitarnya telah melayani orang-orang Katolik di pulau Jawa (Batavia dan Semarang), kemudian membuat sebuah kebijakan baru yaitu semua nama-nama baptis orang Katolik harus dipribumikan.

    Karena itu nama-nama orang Flores dan sekitarnya seperti contoh di atas antara lain Joao, Antonio, Simao, Claudio,Bernardo, Aprilio, Jose, Pedro, Dominica, Fransisco, Edmundo pun harus diubah seturut kebijakan Jesuit. Joao menjadi Yohanes, Antonio menjadi Antonius, Simao menjadi Simeon, Claudio menjadi Claudius, Bernado menjadi Bernadus, Jose menjadi Yoseph/Joseph, Pedro menjadi Petrus, Dominica menjadi Dominicus, Fransisco menjadi Fransiskus, Edmundo menjadi Edmundus, Alberto menjadi Albertus dan seterusnya.

    Kebiasaan untuk memberi nama baptis ala Jesuit ini kemudian dipergunakan secara terus menerus hingga saat ini. Pasca menjadi bagian dari negara dan masyarakat Indonesia, sejumlah orang Flores kemudian memilih untuk kembali ke akar nama orang Katolik yang sesungguhnya diberikan oleh bangsa Portugis sebagai peletak dasar agama Katolik di pulau Flores dan sekitarnya.

    Sumber : Karel Steenbrink, Orang-Orang Katolik Di Indonesia, 1808-1942, Sebuah Profil Sejarah, Jilid I, Penerbit Ledalero, Cetakan I, April, 2006

  • Sepak Bola dan Flores

    Sepak Bola dan Flores

    Indodian.com – Apabila Anda datang ke suatu daerah, cobalah Anda bertanya kepada setiap anak kecil yang Anda temukan di sana tentang apa yang menjadi cita cita mereka kelak. Bila ada 1 atau 2 dari 10 anak menjawab bahwa kelak ia ingin menjadi pesepakbola hebat seperti Messi atau Ronaldo, maka di daerah itu ada peluang besar untuk mulai mengembangkan olahraga sepakbola modern. Secara hampir merata di berbagai belahan dunia, cabang olahraga sepakbola kini telah menjadi suatu alternatif pilihan hidup atau cita cita dengan berbagai alasannya.

    Pele, Maradona, Messi, Christiano Ronaldo dan hampir semua bintang legendaris sepak bola dunia lainnya, saat mereka masih berusia kanak kanak rerata memiliki mimpi sekaligus tekad yang kukuh dalam sanubari untuk kelak dapat menjadi pesepakbola handal tingkat dunia. Ada begitu banyak narasi mengharukan tentang anak anak pecinta bola yang ternyata kemudian mampu merubah nasib keluar dari keterpurukan ekonomi sosial keluarga dan masyarakatnya melalui prestasi di bidang olahraga sepakbola.

    George Weah menjadi presiden Liberia karena ditunjang oleh prestasi sebagai pesepakbola terbaik dunia. Maradona dipuja bak dewa di Napoli, di Argentina bahkan di seluruh dunia karena sihir dan kejeniusannya dalam bersepakbola. Demikian pula dengan kisah Messi, Ronaldo, Mbappe, dan lain lain. Romantisme heroik seperti inilah yang kini mulai menginspirasi anak anak sedunia untuk bersepakbola.

    Selama beberapa dekade sebelum ini, di seujung pulau Flores, setiap anak bila ditanya tentang cita cita otomatis akan memberikan jawaban stereotipe. Nyaris sama. Umumnya pada ranking pertama, jawaban mereka itu adalah ingin menjadi seorang pastor, suster atau guru. Kemudian muncul pula cita cita akan profesi lain seperti menjadi pegawai negeri, anggota TNI atau Polri, atau menjadi politisi terkenal.

    Jawaban seperti ini tentu menyiratkan tentang sistem berpikir, persepsi maupun mental dan kultur yang hidup dalam masyarakat Flores. Bahwa bagi orang Flores di masa masa itu, menjadi pastor, suster atau guru adalah semulia mulianya manusia dan sehebat hebatnya suatu profesi atau pekerjaan. Begitulah kenyataan di masa lalu. Ini menjadi semacam indoktrinasi yang merasuki alam berpikir hampir setiap anak dalam setiap rumah tangga Flores di masa lalu.

    Pernah ada seloroh bahwa efek mindset ini ternyata ikut pula mempengaruhi pertumbuhan otot tulang fisik orang Flores. Otot dan tulang sekitar rahang dan mulut serta tangan anak anak Flores itu biasanya akan bertumbuh optimal demi menunjang profesi sebagai pastor, guru, atau politisi yang mengandalkan kemampuan dalam berkata kata dan berbicara. Nah, bila cita cita mulia itu ternyata gagal tercapai, tenang saja, orang Flores punya opsi lain yaitu pergi merantau ke Malaysia dan menjadi buruh kasar di kilang kilang atau berangkat ke Jawa dan siap menjadi debt collector dan pekerjaan lain yang mengandalkan kekuatan kepalan tangan.

    Flassback

    Entah sejak kapan sepakbola yang kini menjadi jenis olahraga paling digemari orang se-antero dunia ini hadir di Flores. Yang jelas, sekitar tahun 1930 an, para seminaris di Todabelu, Mataloko, Ngada sudah terkenal sebagai pemain bola handal pada posisinya masing masing. Pater Adrianus Conterius, SVD dan pater Ozias Fernandez, SVD asal Sikka misalnya dipuji sebagai penyerang haus gol dan gelandang bertahan yang handal di masa itu.

    Selanjutnya selepas Perang Dunia II olahraga sepakbola yang semakin populer sejak ada kejuaraan di tingkat dunia itu, juga ikut dikembangkan oleh para misionaris asal Eropa, di parokinya masing masing di seluruh wilayah Flores. Para Frater dari Ledalero dan Ritapiret, biasanya di saat pulang berlibur juga suka mengajak bermain sepakbola bersama anak anak, remaja dan pemuda di kampung asalnya masing masing.

    Sekitar tahun 1960 an, sepakbola nampaknya sudah menjadi olahrahga rakyat yang paling populer di Flores. Di masa itu, hampir setiap wilayah di Flores memiliki klub sepakbola di tingkat remaja dan pemuda masing masing. Mereka ini berlatih atau bermain di tanah lapang seadanya dengan bola dari bahan sederhana serta menampilkan teknik seadanya pula. Homo ludens, manusia adalah makhluk yang suka bermain.

    Bersepakbola bagi masyarakat Flores di saat itu pertama tama adalah untuk memenuhi dorongan rasa ingin bermain bersama yang ternyata bisa juga menjadi kesenangan atau hobi sekaligus menjadi tontonan hiburan dan kegembiraan bagi masyarakat sekitar. Semua orang Flores berusia 60an atau lebih bisa berceritera tentang keindahan hidup masa kecil itu yang mungkin sulit untuk terulang kembali.

    Almarhum Jenderal Anton Tifaona adalah seorang pesepakbola handal dan terkenal di Flores pada masa lalu. Keahlian bersepakbola bapa Anton semakin terasah baik setelah ia bersekolah di seminari Mataloko di tahun 1950 an. Bapa Anton sendiri berasal dari Lembata namun ia sering pula dikenang sebagai tokoh pendiri PSN Ngada, kesebelasan sepakbola tangguh dari NTT. Semasa hidupnya ia pernah mengisahkan bahwa pada dekade tahun 1960 an itu, turnamen sepakbola di Flores Timur yang meliputi Lembata Adonara, Solor dan Larantuka sungguh sangat ramai.

    Perhelatan sepakbola itu biasanya dilaksanakan pada saat saat menjelang peringatan dan perayaan hari Kemerdekaan Indonesia. Ada belasan klub dari tingkat anak, remaja, pemuda dan dewasa akan datang berlaga untuk bertanding merebut juara dengan sistem ‘tarelot’. Dari generasi ini lahir nama nama seperti Bebe Corebima, dan Cor Monteiro yang kemudian menjadi andalan tim sepakbola Flores Timur dalam setiap turnamen Eltari Cup di NTT pada tahun 1970 an. Sinyo Aliandoe adalah nama lain anak Flores Timur yang ternyata mampu tampil di level nasional, baik sebagai pemain ataupun sebagai pelatih tim nasional Indonesia.

    Setelah era Sinyo Aliandoe, sejak dahulu hingga kini selalu hadir pesepakbola handal asal Flores yang ikut mewarnai ajang turnamen dan kompetisi sepakbola tingkat nasional seperti : Frans Watu (Perkesa/Lampung Putra/Arema), Yohanes Geohera (Arema), Maura Hely (Persebaya/Niac Mitra), Polce Kia (Pelita Jaya/Barito Putra), Lorens Fernandez (Persija Timur/Merpati Galakarya), Yos Fernandez (Angkasa/Lampung Putra), Daniel Boro (BPD Jateng/Diklat Salatiga), Paulus Dolun (Caprina), Yance Ruma (Perkesa/PSIM), Joni Lamuri (Galatama), Heri Nerly (Persipura), Otavianus (Persebaya/PSIS), Roly Lamuri (Persija), dan yang teranyar adalah pemain muda berbakat Marselino Ferdinan (Timnas/Persebaya).

    Fransisco Soarez Pati adalah seorang pemuda filantropik dan peneliti sejarah Portugis di Flores asal Maumere. Sisco sudah menghasilkan beberapa tulisan yang dimuat di journal internasional. Sisco pernah berujar bahwa bakat serta kualitas skill dan teknik bersepakbola orang Flores mestinya tidak perlu kalah dengan kemampuan pesepakbola timnas Brasil. Perhatikan profil pesepakbola Brasil yang bertampang tidak khas Eropa, Afrika, Indian, ataupun campuran di antaranya.

    Wajah dan fisik mereka itu sangat mirip dengan wajah dan fisik orang Flores atau Timor, sungguh akrab dan tidak asing. Mengapa? Sisco menjelaskan bahwa bangsa Portugis yang pernah menjajah Brasil itu juga memang pernah hilir mudik menjajah di Flores dan Timor selama beberapa abad di masa lalu. Sejumlah Gubernur Jendral di Timor dan Solor di abad XVI hingga XVIII umumnya adalah orang yang sama yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jendral Portugis di Brasil, Africa, Goa dan kemudian menduduki jabatan yang sama di Timor dan Solor seperti António José Teles de Meneses, Julião José da Silva Vieira, José Joaquim Lopes de Lima.

    Sebagaimana ribuan orang Afrika pernah diangkut paksa oleh Portugis untuk bekerja di berbagai hasienda di Brasil, demikian pula di sekitar abad 16 hingga pertengahan abad 18 itu kiranya tidak sedikit orang Flores dan Timor yang pernah diangkut paksa oleh Portugis ke Brasil untuk tujuan yang sama. Perbudakan orang Flores dan Timor berlangsung hingga abad ke XVIII dijaman Gubernur Jendral Jose Joaquim Lopes de Lima sebelum mengambil tindakan sepihak dengan menjual seluruh wilayah koloni Portugis di Flores, Solor, Adonara, Lembata, Alor kepada Belanda dan secara sepihak pula bersama kolonial Belanda membagi pulau Timor dalam dua kekuasaan yaitu sebelah barat pulau Timor menjadi milik Belanda dan sebelah Timur menjadi milik Portugis.

    Menurut penjelasan Sisco misteri perbudakan orang Flores dan Timor semakin nyata diuraikan dalam buku karangan Alfonso de Castro dengan judul “AS POSSESSOES PORTUGUEZA NA OCEANIA”, 1867 (Kekayaan Portugis di Oceania, 1867). Hipotesis Sisco ini memang perlu dibuktikan dengan berbagai dokumen autentik kesejarahan. Atau bila perlu dibuktikan juga dengan tes DNA demi mendapatkan kebenaran historis dan kepastian alasan kemiripan tersebut. Tetapi bila orang Flores mencoba mengenangkan kembali teknik dan skill hebat Pedro Rodriquez, legenda Persami atau Cor Monteiro maestro dari Perseftim, maka opini Francisco Pati ini kiranya menjadi menarik untuk disimak.

    Politik dan Olahraga

    Deretan nama pesepakbola asal Flores yang pernah hadir di ajang kompetisi sepakbola nasional di atas itu mirip dengan pesebaran tanaman kelapa di seputaran pulau Flores. Di Flores, kecuali di perkebunan kelapa milik Misi gereja katolik, rerata pohon kelapa itu biasanya tumbuh secara alamiah. Buah kelapa yang sudah tua jatuh sendiri dari tangkai lalu bergulir di sekitar pohon. Bila posisi pohon berada di lereng yang miring maka buah kelapa yang jatuh akan bergulir semakin jauh. Setelah jatuh dan apabila buah kelapa itu kemudian bergulir ke tanah yang subur gembur maka ia akan mudah tumbuh menjadi pohon kelapa baru. Sebaliknya, bila buah kelapa itu bergulir ke bebatuan atau ke tanah yang tidak subur maka buah kelapa itu akan segera membusuk atau mengering.

    Eltari adalah seorang Gubernur Provinsi NTT di masa lalu. Setelah pelantikannya di Kupang pada tahun 1968, gubernur Eltari segera menggagas suatu konsep politik olahraga melalui cabang olahraga sepakbola. Ia menginisiasi ajang turnamen Eltari Cup (ETC) yang digelar secara berkala. Visi dan tujuan Eltari dengan giat ETC pertama tama adalah untuk mempersatukan orang NTT yang beragam ragam Flores, Sumba Timor, Alor, Rote, dan Sabu. Melalui ajang ETC ini, Eltari sekaligus juga memulai upaya pembinaan dan pembuktian bagi bakat bakat sepakbola di NTT melalui suatu ajang tunamen berkala.

    Dengan demikian selanjutnya diharapkan dapat memunculkan prestasi yakni kemampuan bersaing di level yang lebih tinggi terutama dalam persaingan di tingkat nasional. Prestasi yang dapat membanggakan NTT. Visi dan politik olahraga Eltari ini kemudian diabadikan dalam turnamen lanjutan yaitu Eltari Memorial Cup (ETMC) sebagai ajang turnamen sepakbola antar kabupaten di NTT hingga saat ini.

    Sudah 50 tahun lebih turnamen ETC dan ETMC bergulir setiap 2 tahun. Namun setelah setengah abad berlalu ternyata prestasi dan pencapaian sepakbola NTT nampaknya masih seperti berjalan di tempat. Tim sepakbola NTT hingga kini belum mampu bersaing di tingkat nasional. Tidak membanggakan. Hal ini mestinya perlu disadari dan disikapi secara serius.

    Orang NTT itu pernah mampu merajai dunia atletik nasional atau bisa bersaing di beberapa cabang olahraga individual lainnya seperti tinju dan jenis olahraga bela diri lainnya. Tetapi mengapa tidak mampu bersaing di cabang sepakbola? Jawaban atas pertanyaan ini bisa saja dibuat dalam suatu kajian dan penelitian yang mendalam. Namun secara kasat mata jelas terlihat bahwa di NTT itu hingga kini ternyata belum ada dibangun stadion sepakbola yang cukup memadai atau berkelas.

    Stadion Marilonga di Ende misalnya, hanya dengan kemampuan lighting sehingga bisa menggelar pertandingan di malam hari terbukti telah berhasil menyedot begitu besar antusiasme publik dan penonton. Selebihnya, kondisi nyaris semua stadion di NTT itu masih amat memprihatinkan. Stadion Gelora Samador di Maumere misalnya seringkali hanya jadi tempat angon kuda dan kambing. Tidak terurus dan terlantar. Itu hanya dari sisi sarana prasarana. Setali tiga uang dengan banyak sisi lainnya dalam upaya pembinaan dan pengembangan sepakbola NTT.

    Model pembinaan dan pelatihan berjenjang , sistem kompetisi berkelanjutan, jumlah turnamen, fasilitas atau tunjangan dan apresiasi bagi pesepakbola, dan lain sebagainya masih sangat terbatas. Kendala dan hambatan seperti ini tentu berimbas pada pencapaian prestasi yang ternyata masih jauh dari harapan.

    Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa alasan dari prestasi yang minim itu sesungguhnya terletak pada masalah alokasi atau ketersediaan anggaran bagi pembinaan dan pengembangan sepakbola di Flores dan NTT yang masih amat minim pula itu. Syukurlah bahwa beberapa tahun belakang ini telah mulai muncul sekolah sepakbola bagi anak dan remaja di beberapa kota di NTT. Di Atambua belum lama ini ada klub sepakbola yang didirikan dengan manajemen dan metode pembinaan profesional.

    Diketahui bahwa dana pembinaan olahraga sepakbola NTT termasuk di Flores, sejauh ini masih sangat bergantung pada dukungan dari keuangan pemerintah setempat. Dana APBD pemerintah daerah di Flores itu relatif kecil. Di samping itu, masih terdapat sejumlah kebutuhan dasar atau prioritas pembangunan di bidang lain. Maka bisa dimaklumi bahwa alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan bidang sepakbola Flores tentu akan kecil saja.

    Namun dengan demikian otomatis pula menjadikan visi dan harapan sepakbola Flores atau NTT yang berprestasi itu sebagi pepesan kosong belaka. Keadaan ini akan semakin runyam bila bupati atau gubernur di daerah tertentu ternyata sama sekali tidak memiliki minat dan atensi dalam pengembangan sepakbola berkelanjutan.

    Berkaca dari kondisi persepakbolaan NTT maka politik olahraga yang pernah dicanangkan oleh gubenur Eltari kiranya perlu dikontekstualisasikan kembali. Sudah jelas bahwa salah satu faktor pendukung terpenting dalam sepakbola berpretasi itu mensyaratkan komitmen pendanaan secara profesional pula. Dengan demikian harapan sekaligus upaya dan peluang menciptakan leapfrog prestasi akan lebih mudah diwujudkan berikut multiplier effectnya.

    Kebanggaan dan kesatuan persatuan rakyat dan bangsa Argentina di Buenos Aires saat menyambut kemenangan Messi dan kawan kawan di Piala dunia Qatar 2022 adalah suatu pelajaran berharga tentang manfaat dari investasi pengembangan dan pembinaan sepakbola berkelanjutan. Selanjutnya ada begitu banyak peluang yang muncul dan bisa dikapitalisasi sebagai hasil dari pencapaian prestasi sebagaimana prestasi Messi dan kawan kawan yang gemilang di tingkat dunia itu.

    Fenomena Suporter

    Sebagai bagian penutup dari ulasan ini adalah terkait fenomena kelahiran kelompok fans pendukung fanatik bagi sautu tim kesebelasan di Flores saat ini. Beberapa perhelatan kejuaraan sepakbola di Flores atau di NTT antar kabupaten belakangan ini, para suporter pendukung tim kebanggaannya selalu ramai datang memenuhi stadion pertandingan.

    Masing masing kelompok datang dengan biaya swadaya dan dengan semboyan dan yel yel serta atribut yang khas. Semangat dan dukungan yang diberikan oleh para suporter itu sungguh memberikan suatu nuansa baru. Ada energi, emosi dan kecintaan sekaligus harapan yang luar biasa terhadap tim dukungannya. Harapan utama setiap kelompok suporter tentunya kemenangan dan juara.

    Kehadiran kelompok suporter atau fans fanatik itu bisa dilihat sebagai semacam kelahiran sebuah subkultur baru dalam sosial budaya atau peradaban orang Flores, khususnya di bidang olahraga sepakbola. Kehadiran kelompok suporter fanatik itu juga iku menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Flores saat ini telah muncul suatu kecintaan sekaligus kebanggaan yang besar terhadap sepakbola berikut seluruh nilai (values) yang terkandung di dalam cabang olahraga tersebut. Patut disayangkan bila rasa cinta dan kebanggaan masyarakat tersebut belum sebanding dengan pencapaian prestasi, apalagi teknik, skill, dan strategi yang dimainkan oleh sebuah tim sepakbola di Flores.

    Suporter di dalam suatu pertandingan sepakbola sering disebut juga sebagai pemain ke -12. You will never walk alone adalah semboyan fans fanatik pendukung tim Liverpool yang selalu memberikan tambahan energi dan fighting spirit bagi pemain Liverpool ketika bertarung di stadion Anfield. Fanatisme pendukung Brasil atau Argentina itu terkenal sedemikian kuat sehingga sepakbola di kedua negara Latin tersebut seolah menjadi agama kedua bagi masyarakatnya.

    Kehadiran fans pendukung fanatik tim kesebelasan sepakbola di Flores itu secara terang benderang menunjukkan bahwa sepakbola itu telah semakin membudaya bagi orang Flores, dan sekaligus menjadikan sepakbola sebagai sebuah cabang olahraga yang sudah siap untuk dikembangkan secara profesional demi mengejar prestasi. Dukungan pemerintah daerah tentu tetap akan diperlukan. Terutama terkait sarana dan prasarana pendukung. Tetapi dalam konteks pengelolaan sepakbola modern (industri) kiranya hal ini sudah saatnya perlu diambil alih oleh pihak yang memiliki komitmen dan kompetensi sekaligus siap all out untuk bergelut secara profesional dalam bidang pembinaan dan pengembangan olahraga sepakbola tersebut di Flores.

  • Sejarah Penggalian Gua-Gua Alam di Flores

    Sejarah Penggalian Gua-Gua Alam di Flores

    Indodian.com – Kedatangan para misionaris Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi Divini (SVD) ke Flores pada awal abad 19 telah turut membawa dampak yang positif bagi masyarakat suku – suku asli di Flores dan pelestarian warisan budaya leluhurnya serta bagi dunia ilmu pengetahuan khususnya arkeologi.  

    Para misionaris SVD yang ahli di bidang ilmu sejarah dan bahasa serta kebudayaan ini, mulai mengambil inisiatif untuk menemukan dan mengoleksi “kekayaan budaya Flores yang tersembunyi” agar dapat dilestarikan sehingga menjadi “sumber pembelajaran” bagi generasi muda Flores saat ini.

    Mereka itu adalah: Paul Arndt SVD, W. Koppers SVD, Theodor Verhoeven SVD, B.A.G. Vroklage SVD, Paul Schebesta SVD, M. Guisinde SVD, Jilis Verheijen SVD, yang selalu melaporkan hasil-hasil penelitian mereka ke Jurnal Ilmiah ANTHROPOS yang didirikan pada tahun 1906 di Modling-Austria oleh Prof. Wilhelm Schmidt SVD, tutor dan guru mereka.


    Perlu diketahui bahwa, dalam kajian antropologis tentang teori-teori Difusi Kebudayaan,[3] Wilhelm Schmidt SVD (1868-1954) adalah salah satu pencetus teori difusi kebudayaan yang dikenal dengan sebutan mazhab teori Kulturkreislehre dan yang bersama rekannya Fritz Graebner SVD (1877-1934) mendalilkan bahwa kulturkreise atau lingkaran-kebudayaan adalah lingkaran wilayah di muka bumi ini yang memiliki unsur-unsur kebudayaan yang sama, kendatipun berbeda secara geografis, dan yang terbentuk oleh karena unsur-unsur kebudayaan itu menyebar secara berkelompok ataupun satu per satu dengan melewati jarak yang jauh.

    Maka mazhab Schmidt ini berpendirian bahwa keyakinan masyarakat asli akan adanya Wujud Tertinggi (Urmonotheismus) itu bukanlah suatu perkembangan baru melainkan suatu bentuk kebudayaan yang sangat tua dan yang hidup pada masa ketika tingkat kebudayaan manusia itu masih rendah. Hasil kerja etnografis W. Schmidt SVD bersama murid-murid perdana yang menjadi misionaris SVD di Flores (W. Koppers SVD, Paul Arndt SVD, B.A.G. Vroklage SVD, dll.) ini kemudian menjadi satu karya raksasa yang berjudul Der Ursprung der Gottesdee (1926) atau Asal Mula Konsep Tentang Tuhan.[4]


    Kaitan dengan sejarah penemuan kebudayaan purba di Flores dan bagi masyarakat asli Flores serta dunia ilmu pengetahuan, satu langkah awal yang spektakuler telah dimulai oleh Dr. Th. Verhoeven SVD. Walaupun beliau membuat studi khusus tentang sejarah bahasa-bahasa klasik, namun kemudian minatnya beralih kepada studi tentang arkeologi atau obyek-obyek kebudayaan purba.

    Setelah tiba di Flores pada tahun 1949, Verhoeven mulai melakukan penelitian-lapangan di seluruh wilayah pulau Flores dengan konsentrasi khusus pada ekskavasi (penggalian) gua-gua alam dan penemuan artefak-artefak budaya zaman paleolithicum (batu tua), budaya neolithicum (batu muda), budaya “flake” dan “blade” (zaman mesolithicum = batu tengah), budaya Dongson (zaman perunggu), dan bidang geologi. Oleh karena itu dia menggalang usaha-usaha penggalian gua-gua alam di mana-mana dan menemukan fosil-fosil manusia purba dan fosil-fosil fauna dan flora di seantero pulau Flores.


    Terdorong oleh dugaan-dugaan dan desas-desus penduduk lokal Flores tentang adanya gua-gua kediaman manusia purba, Verhoeven membentuk Tim Ekspedisi I yang terdiri dari Th. Verhoeven SVD, W. van Bekkum SVD, A. Mommersteeg SVD untuk memulai penjelajahan ilmiah. Pada Agustus 1950, ketiga serangkai ini berangkat ke wilayah Manggarai untuk menemukan gua-alam di Liang Bua, kini bagian dari Desa Rampasasa, Kabupaten Manggarai. Dengan bantuan masyarakat lokal, hasil penggalian di hamparan-lantai Liang Bua ini adalah berupa pecahan tulang-belulang hewan dan peralatan batu (artefak) termasuk batu api, yang mengindikasikan adanya sekelompok manusia yang pernah hidup di wilayah sekitar Liang Bua itu.

    Penjelajahan ilmiah selanjutnya diarahkan ke wilayah Labuan Bajo di Flores Barat. Di sana mereka menemukan 10 gua-alam dan dengan bantuan penduduk lokal pada Juli 1951 Tim ini melakukan penggalian (ekskavasi) secara sistematis pada salah satu gua-alam yang mereka namakan Liang Mommer dan menemukan fosil kerangka dan tulang-belulang manusia, selain sisa-sisa kebudayaan Megalith dan benda-benda kebudayaan Tionghoa seperti porcelin dan mata uang. Di samping wilayah Labuan Bajo, Tim ini juga menemukan lagi 15 gua alam di wilayah Ruteng dan Reo, juga di Flores Barat. Setelah itu mereka juga melakukan ekspedisi ke Riung dan Wangka di Flores Tengah dan menemukan 6 gua-alam di sana.

    Awal tahun 1952 atas inisiatif sendiri, Mommersteeg SVD menemukan alat-alat zaman Perunggu di Menge/Ngada (Flores Tengah), sedangkan anggota Tim yang lain menemukan tiga (3) kapak perunggu di Guru/Sikka (Flores Tengah) dan juga alat-alat kebudayaan Dongson di Nua Mbiko/Lio (Flores Tengah).

    Pada tahun 1954 dengan bantuan masyarakat lokal, Verhoeven dan Tim Ekspedisi I kembali ke wilayah Manggarai dan melakukan ekskavasi (penggalian) di gua-alam “Liang Toge”, Lempang Paji, kini bagian dari Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur. Ekskavasi sedalam 1 meter ini berhasil menemukan juga fosil kerangka dan tulang – belulang manusia. Pada tahun 1955, Tim ini juga masih menjelajahi wilayah–wilayah Flores Timur dan menemukan beberapa gua – alam di Boru/Hokeng dan Lewoleba.


    Pada rentang waktu 1956 – 1965, Verhoeven SVD membentuk Tim Ekspedisi II yang terdiri dari para mantan siswanya di Seminari Mataloko (Verhoeven SVD, Piet Petu SVD, Darius Nggawa SVD, Frans Nurak SVD, Rokus Due Awe) dan melakukan penjelajahan-ilmiah dan menghasilkan penemuan-penemuan di bidang Paleontologi berupa “Fauna Gua bertingkat sub-fosil” dan “Fauna daratan prehistoris bertingkat fosil” serta “Flora bertingkat sub-fosil”.  

    Untuk mempertanggungjawabkan semua hasil–karyanya ini, Verhoeven, SVD membangun hubungan dan kerjasama dengan Ilmuwan – Ilmuwan di Eropa dari Universitas Utrecht dan Universitas Leiden serta para Arkeolog di Bogor dan Bandung, yang mempelajari dan menganalisa serta mempublikasikan hasil penemuan dan penelitian ini di beberapa Majalah Ilmu Pengetahuan seperti ANTHROPOS (Internasional) dan BERITA MIPI (Nasional).

    Kegiatan penelitiannya di Flores ini sejak semula sudah diketahui dan diakui oleh Pemerintah Republik Indonesia, karena Verhoeven SVD selalu memberikan laporan secara berkala mengenai hasil – hasil penelitiannya ini ke Dinas Purbakala di Jakarta dan Seksi Pengajaran dan Kebudayaan Propinsi Nusa Tenggara Timur di Kupang.

    Bersamaan waktu dengan hasil – hasil penelitian dan etnografi dari rekan – rekan misionaris yang lain tentang sejarah budaya – budaya dan agama – agama non – Kristen di Oceania dan Asia Tenggara, Verhoeven SVD pun mengoleksi hasil – hasil penggalian dan penemuannya di Flores yang sebagian besar kini menjadi koleksi-koleksi utama Museum Bikon-Blewut Ledalero.


    Hasil-hasil penggalian dan penemuannya sejak tahun 1950 hingga tahun 1965 ini mula-mula disimpan saja di Seminari Menengah Todabelu/Mataloko, Kabupaten Ngada, yang dikelola dan dijaga oleh imam-imam SVD. Namun setelah Verhoeven SVD pulang ke Nederland pada tahun 1967, hasil-hasil temuan dan penggaliannya itu cuma dikenal lewat tulisan-tulisannya di Jurnal ANTHROPOS dalam bahasa Jerman dan lewat laporan-laporan hasil penelitiannya ke Dinas Purbakala di Jakarta.

    Pada tahun 1975, datanglah seorang misionaris asal Nederland yang masih muda dan energik, Drs. Guus Cremmers SVD, yang mendapat tugas sebagai Dosen Kesenian dan Filsafat Sastra di STFK Ledalero-Maumere, Kabupaten Sikka. Atas inisiatifnya dan dengan persetujuan Pimpinan Regio SVD Ende saat itu, seluruh koleksi hasil-hasil temuan dan penggalian Verhoeven itu dipindahkan ke Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero, Kabupaten Sikka. Guus Cremmers SVD merawat dan menjaga koleksi-koleksi tersebut sampai dengan kedatangan Pater Drs. Piet Petu SVD pada tahun 1982, yang sengaja dipindahkan dari Ende untuk menjadi Dosen Sejarah Kebudayaan di STFK Ledalero.

    Di tangan Pater Piet Petu SVD, yang lebih dikenal dengan nama marganya Sareng Orinbao dan juga mantan anggota Tim Ekspedisi II Verhoeven ini, pada tahun 1983 seluruh hasil penggalian dan penemuan bersejarah itu langsung ditata dan dikelola secara sistematis-ilmiah di dalam sebuah gedung kecil bagian dari bangunan Seminari Tinggi Ledalero, sehingga pantas disebut sebagai sebuah MUSEUM.

    Dari aspek keanekaragaman isi koleksi – koleksi museum, para imam SVD menamakan Museum ini sebagai “museum misi dan budaya”. Namun Pater Piet Petu SVD lebih cenderung mencetuskan nama BIKON-BLEWUT untuk museum ini, atas dasar penafsirannya terhadap “kekayaan budaya Flores yang tersembunyi” melalui syair- adat budaya Sikka yang berbunyi:


    “Saing Gun Saing Nulun, Saing Bikon Saing Blewut Saing Watu Wu’an Nurak, Saing Tana Puhun Kleruk De’ot Reta Wulan Wutu, Kela Bekong Nian Tana.”

     Artinya: 

    Sejak zaman dahulu, sejak zaman masih purba, Ketika bumi masih rapuh, Ketika tanah masih seperti buah yang masih muda, Tuhan di Langit Angkasa, Menciptakan bumi, matahari, dan bulan. 

    Maka berkaitan dengan Tahun Berdirinya Museum ini secara singkat boleh disimpulkan sebagai berikut:Dari segi sejarah penemuan dan penggalian hingga terhimpunnya koleksi-koleksi tersebut, Museum ini didirikan pada tahun 1965 oleh Pater Dr. Verhoeven SVD di Todabelu/Mataloko, Kabupaten Ngada, Flores. Sedangkan dari segi sejarah penataan dan pengelolaan koleksi-koleksi ini secara sistematis-ilmiah di dalam sebuah Gedung, Museum ini didirikan pada tahun 1983 oleh Pater Drs. Piet Petu, SVD di Ledalero-Maumere, Kabupaten Sikka, Flores.

    Editor: Jefron Hikon


    Daftar Pustaka


    [1] Arsip Dokumen Regio SVD Ende Tahun 1967.

    [2] Arsip Museum BIKON – BLEWUT Tahun 1985.

    [3] Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta : UI Press, 1987), pp. 113 – 117.

    [4] Ernest Brandewie, When Giants Walked the Earth: The Life and Times of Wilhelm Schmidt SVD (Switzerland: Univ. Press, 1990), pp. 66 – 119.

  • Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

    Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah

    Indodian.com – Tulisan ini berusaha mempresentasikan fenomena perampasan tanah (land grabbing) warga masyarakat desa di Manggarai Barat-Flores. Perampasnya adalah pemerintah negara sendiri atas nama pembangunan. Nama lain dari pelaku ini adalah para oligarki, pengusaha besar dan bule dari luar negeri yang memboncengi program nasional membangun Labuan Bajo menjadi destinasi pariwisata premium. Masyarakat desa yang terancam akan kehilangan tanah sebagai sumber hidup bangkit membangun persekutuan di antara mereka untuk mempertahankannya. Dalam tulisan ini, kebangkitan masyarakat Boleng untuk membentuk Kesatuan Adat Wa’u Pitu Gendang Pitu Tana Boleng (selanjutnya disingkat KAWPGPTB) dipresentasi sebagai contoh.

    Boleng sebagai Bekas Kedaluan
    Menurut Bonaventura Abunawan,Boleng, sebagai salah satu dari bekas kurang lebih 39 kedaluan di Manggarai (yang berakhir tahun 1960-an), mempunyai kampung (beo) yang pernah menjadi pusat pemerintah kedaluan, yaitu Beo Mbuit, Beo Mbehal dan Beo Rareng. Oleh karena pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Kampung Mbuit maka ia disebut Dalu Mbuit.


    Pada masa tertentu orang yang terpilih dan berkuasa sebagai dalu berasal dan tinggal di Mbehal maka ia disebut Dalu Mbehal. Demikian halnya dengan Dalu Rareng karena ia berasal dan tinggal di Kampung Rareng maka dia disebut Dalu Rareng. Walau tinggal di masing-masing kampung ini, ketiga dalu ini tetap merupakan dalu yang memerintah seluruh tanah Boleng pada masalalu.


    Sekarang ini Kampung Mbuit telah berkembang menjadi Kampung Bentala di Lando, wilayah Terang. Kampung Mbehal dari dulu hingga sekarang tetap disebut Kampung Mbehal dan Kampung Rareng tetap disebut Kampung Rareng yang terletak di dekat Wae Bobok yang sekarang ini telah dibangun sebuah wisata alam di tengah hutan pada Jalan Provinsi Labuan Bajo-Boleng-Pacar-Rego-Reo.


    Di wilayah bekas Kedaluan Boleng yang demikian, dari dulu hingga sekarang ada 7 Rumah Adat Gendang. Artinya, ada 7 kampung utama yang memiliki gendang sebagai simbol yang menandai 7 kampung itu masing-masing: pertama, mengakui diri sebagai penduduk asli wilayah tersebut. Kedua, mengakui berasal dari satu nenek moyang. Ketiga, memiliki hak ulayat atas lahan pertanian dan hutan dengan batas-batasnya sendiri. Kekuasaan atas lahan pertanian dan hutan dengan batas- batasnya masing-masing diakui, ditaati dan dihormati oleh masing-masing Kampung Gendang.

    Seperti yang berlaku di seluruh Manggarai, setiap Rumat Adat Gendang (RAG) memiliki sistem sosial dan kepemerintahannya sendiri yang disebut pemerintahan masyarakat tradisional Manggarai. Setiap kampung dengan satu RAG atau lebih bersifat independen. Kampung-kampung dengan RAG ini tidak saling memerintah atau menguasai. Di antara mereka, tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih tinggi dan tidak ada kampung dengan RAG yang kedudukannya lebih rendah.


    Semua kampung dengan RAG di dalamnya mempunyai hak dan kedudukan yang sama tinggi, dan mereka 100% otonom. Artinya mereka 100% mengurus rumah tangganya sendiri dan memerintah diri sendiri entah di bidang sosial, ekonomi, politik atau di bidang keagamaan. Lebih dari itu, dari segi ini sebenarnya, orang Manggarai termasuk masyarakat egaliter. Mereka mengaku bahwa semua orang dilahirkan sama sebagai manusia dengan martabat yang sama. Kategori kelas sosial seperti ata kraeng (bangsawan) dan ata mendi atau ata leke (hamba) merupakan perkembangan kemudian karena pengaruh sistem kepemerintahan kedaluan yang bukan merupakan sistem sosial politik asli dari orang Manggarai.


    Tujuh Rumah Adat Gendang Boleng

    Khusus untuk Kedaluan Boleng, dari dulu hingga sekarang ada tujuh Rumah Adat Gendang antara lain: 1) Gendang Mbehal di Kampung Mbehal, 2) Gendang Mbehel di Kampung Mbehel, 3) Gendang Lada di Kampung Lada, 4) Gendang Legam di Kampung Legam, 5) Gendang Mbuit di Kampung Mbuit, 6) Gendang Rareng di Kampung Rareng dan 7) Gendang Sepang di Kampung Nggieng di wilayah Terang.
    Ulayat Rumah Adat Gendang Mbehal

    Wilayah ulayat Gendang Mbehal meliputi: 1) di bagian timur adalah Laing Bakok Boleng Torong Boleng, Golo Pate Lamba, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita-MataWae Bobok, Golo Ngkiong, Golo Kerak, Dencang Pau, Wae Nuwa, 2) di bagian selatan adalah Loleng Wae Nuwa, Sunga Wae Sipi, 3) di bagian barat adalah Sunga Wae Sipi-Loleng Wae Sipi-Mata Wae Wangga-Wase Kimpur-Liang Mbako-Mata Wae Hali-Poco Mawo-Kelumpang Tanda-Watu Kator, dan 4) di bagian utara adalah Watu Katur-menyusuri Laut Flores hingga Liang Bakok Torong Boleng.
    Tebedo adalah bagian dari ulayat Gendang Mbehal. Kampung Tebedo tidak memiliki gendang. Ia merupakan uma randang atau lumpung (semacam koloni) dari warga masyarakat Gendang Mbehal. “Ase ka’e Tebedo ata jera pande uma le Gendang Mbehal” (saudara-saudara kami di Tebedo hanya diamanatkan untuk buka kebun di sana oleh warga Gendang Mbehal” kata Bapak Theodorus Turuk (86 tahun) di rumahnya di Menjerite dekat Rangko pada tgl 6 Agustus 2020.
    Tebedo itu merupakan mukang (rumah yang dibangun untuk menjadi kebun) dari warga Gendang Mbehal. Nama asli dari kampung ini adalah Tobodo yaitu dari kata tobo dan do. Tobo artinya tubuh atau mayat orang meninggal yang diyakini masih bergelintangan, sedangkan do artinya banyak. Menurut orang Mbehal, dulu di Tebedo ada banyak tubuh orang meninggal yang berserakan atau bergentayangan.

    Riang Rangko


    Kampung Rangko di tepi pantai Laut Flores, yang terletak hanya sekitar 5 km di sebelah timur Kota Labuan Bajo, merupakan wilayah ulayat Gendang Mbehal. Dari segi hukum Rumah Adat Gendang Manggarai, Rangko merupakan anak kampung dari Gendang Mbehal dan warga Kampung Rangko diberi kuasa dan hak hanya untuk riang yang artinya menjaga tanah ulayat Mbehal yang berada di sekitar Kampung Rangko.
    Hampir 100% warga masyarakat Kampung Rangko bekerja sebagai nelayan penangkap ikan. Sedangkan dari segi etnis, mereka adalah orang yang berasal dari Pulau Bonerate di Sulawesi Selatan, suku Bajo dan Bima. Orang Bonerate generasi pertama tiba di Rangko sekitar tahun 1860-an yang dihitung berdasarkan masa hidup orang dari RAG Mbehal yang mengizinkan orang Bonerate untuk tinggal di Rangko.


    Sewaktu orang Bonerate tiba di Rangko tahun 1860-an itu, nenek moyang orang Mbehal sebagai penduduk asli mengira bahwa mereka adalah orang-orang Empo Gorak yang datang untuk menculik warga dari penduduk asli yaitu orang Mbehal. Didorong oleh kecurigaan ini, maka nenek moyang warga RAG Mbehal turun dari Kampung Mbehal yang terletak agak di pedalaman dengan membawa persenjataan berupa kope (parang), sola (kapak), kurung (lembing) dan panah untuk membunuh orang Bonerate. Orang-orang Bonerate sangat terkejut dan ketakutan. Menurut ceritera, nenek moyang orang Mbehal dan orang Bonerate tidak bisa berkomunikasi satu sama lain karena tidak ada bahasa pengantar. Mereka berbicara dalam bahasa mereka masing-masing tanpa saling mengerti.


    Dalam kesulitan ini, mereka hanya berkomunikasi dengan bahasa tubuh atau bahasa isyarat. Menurut sejarah, orang-orang Bonerate tidak siap untuk berperang melawan nenek moyang warga RAG Mbehal. Mereka hanya meminta belaskasihan. Sebagai tanda bahwa mereka tidak mempunyai niat jahat, sebaliknya minta belas kasihan dan ingin mencari nafkah di laut di sekitar pantai yang sekarang disebut Rangko, orang-orang Bonerate mengumpulkan semua perlengkapan kerja mereka berupa parang dan menyerahkannya kepada nenek moyang warga RAG Mbehal. Melalui bahasa isyarat, orang-orang Bonerate mengatakan: “Kalau kalian orang Mbehal mau membunuh kami semua, inilah saatnya. Kami menyerahkan parang-parang ini kepada kalian dan sekarang kalian bisa menggunakannya untuk membunuh kami sendiri jika kalian mau…”

    Janji Wasiat antara Gendang Mbehal dan Orang Rangko


    Oleh karena bahasa isyarat dalam bentuk penyerahan parang-parang orang Bonerate ini, nenek moyang warga RAG Mbehal akhirnya mengerti bahwa orang-orang Bonerate ini merupakan orang-orang baik dan tidak bermaksud untuk menyerang atau menduduki tanah ulayat mereka. Merekapun membuat sebuah perjanjian yang isi pokoknya adalah sebagai berikut. Pertama, orang Bonerate sebagai nelayan harus mengakui hak ulayat tanah warga RAG Mbehal hingga wilayah Pantai Rangko. Kedua, orang Bonerate sebagai nelayan akan tinggal di Rangko sebagai penjaga wilayah pantai Rangko dan pemimpin mereka akan disebut Tu’a Riang Rangko yang artinya wali atau wakil dari Tu’a Gendang Mbehal untuk mendiami sambil menjaga wilayah Pantai Rangko dan sekitarnya.
    Ketiga, setiap pergantian Tu’a Riang Rangko harus dibuat setelah diketahui dan mendapat pesetujuan Tu’a Gendang Mbehal. Keempat, batas-batas lahan yang dipercayakan untuk didiami, digunakan dan dijaga oleh Tu’a Riang Rangko adalah sebagai berikut: 1) Di sebelah timur adalah Nanga Lumut, 2) di sebelah utara adalah pantai laut Flores, 3) di sebelah barat adalah Wae Nampar dan 4) di sebelah selatan adalah Wae Tiku Timbus.
    Perjanjian di atas, dengan batas-batas tanah yang diserahkan untuk didiami, dikelola dan dijaga, dipegang oleh orang-orang Rangko dari dulu hingga orang-orang Rangko sekarang dari keturunan Bapak Semahi. Orang-orang Rangko keturunan dari Bapak Semahi ini yang diberi hak untuk mendiami dan menggarap tanah yang sudah ditetapkan dalam perjanjian antara nenek moyang warga RAG Mbehal dan nenek moyang orang-orang Bonerate yang tiba di Rangko pada tahun 1860-an itu dan secara hukum adat Manggarai, tanah dari orang Rangko dari keturunan Semahi tetap merupakan bagian dari ulayat RAG Mbehal. Hak atas tanah tetap ada pada warga RAG Mbehal dan orang Bonerate-Sulawesi, Bajo dan Bima di Rangko hanya diberi hak untuk menggarap sambil menjaganya.
    Konsekuensi lebih lanjut dari hukum adat Gendang ini adalah bahwa kalau orang Rangko ingin menjual tanah yang telah diberikan kepada nenek moyang mereka oleh nenek moyang warga RAG Mbehal tempo dulu itu, maka mereka lakukan itu setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemangku ulayat atas tanah dan hal itupun akan diperhatikan batas- batasnya yang sudah ditetapkan pada zaman dulu.

    Masalah Muncul


    Dalam perjalanan waktu, orang-orang Bonerate yang mendiami Rangko sekarang ini terdiri atas dua kelompok. Satu kelompok adalah orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba di Rangko pertama kali pada zaman dulu di bawah pimpinan Bapak Pua Mandalay dan Pua Serina (atau Laanca). Mereka ini masih memegang janji wasiat antara nenek moyang mereka Pua Mandalay dan Laanca dan nenek moyang warga RAG Mbehal sebagai penduduk asli yang memegang hak ulayat atas tanah yang meliputi wilayah Rangko dengan batas-batasnya.
    Orang Rangko kelompok ini adalah orang-orang Rangko yang berada di bawah pimpinan Bapak Semahi (80-an tahun) sekarang ini. Kelompok yang lain adalah orang-orang Bonerate dari Sulawesi yang tiba kemudian di Rangko. Bisa dikatakan, mereka ini adalah para pendatang baru di Rangko. Orang Rangko kelompok ini berada di bawah pimpinan Bapak Abdullah Duwa (70-an tahun).


    Dalam rangka program pembangunan Labuan Bajo sebagai destinasi wisata premium yang hanya berjarak 5 km dari Rangko, tampaknya banyak orang kaya, pebisnis dan para kapitalis dari pelbagai tempat, seperti Jakarta, Ruteng, Kupang, Surabaya dan bahkan dari luar negeri, ingin melirik tanah-tanah di sekitar Kampung Rangko dengan harga-harga yang menggiurkan. Tanah- tanah orang Rangko yang diserahkan melalui sebuah perjanjian wasiat tempo dulu oleh nenek moyang warga RAG Mbehal mulai dijual oleh orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa sejak tahun 2000-an. Padahal orang Rangko dari kelompok Abdullah Duwa tidak diakui oleh warga RAG Mbehal karena mereka adalah pendatang baru di Rangko.
    Orang-orang Rangko dari kelompok Semahi baru tahu hal tersebut di atas setelah banyak tanah dijual oleh orang-orang dari kelompok Abdullah Duwa kepada beberapa orang asing. Menyadari hal ini, orang-orang Rangko dari kelompok Bapak Semahi melaporkan hal ini kepada Tu’a Gendang Mbehal di Mbehal. Warga Mbehal pun turun ke Rangko dan menyatakan bahwa penjualan tanah yang dilakukan oleh orang-orang Rangko dari keturuan Bapak Abdullah Duwa tidak sah.


    Menyikapi hal ini, para mafia tanah kemudian membuat sebuah siasat. Dengan memakai orang dalam, mereka secara sepihak menunjuk Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko. Para mafia tanah ini lalu mengklaim bahwa mereka membeli tanah di Rangko dari Tu’a Golo Rangko dan karena itu pembelian mereka sah menurut hukum adat tanah Manggarai. Padahal sejarah asal-usul orang Rangko dan segala haknya atas tanah di Rangko tidak demikian.


    Orang-orang Rangko adalah suku-suku pendatang. Mereka adalah orang Bonerate di Sulawesi, Bajo dan Bima yang bermigrasi ke Rangko tahun 1860-an silam dan melalui perjanjian dengan nenek moyang warga RAG Mbehal, mereka hanya diberi hak tinggal dan diberi peran sebagai penjaga tanah Rangko dengan batas-batasnya yang jelas. Dari dulu hingga sekarang, pemimpin warga Kampung Rangko disebut Tu’a Riang atau Wali atau Penjaga Wilayah Rangko dan pergantiannya harus selalu sepengetahuan dan setelah mendapat persetujuan dari Tu’a Gendang Mbehal sebagai pemegang ulayat atas tanah. Pemipin Kampung Rangko tidak pernah dan tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang.
    Tu’a Golo atau Tu’a Gendang merupakan bentuk sistem sosial ekonomi dan politik tradisional yang khas suku Manggarai dan hanya bisa dimengerti oleh orang Manggarai sebagai penduduk asli. Suku-suku lain seperti orang Bonerate yang datang ke pesisir pantai Manggarai seperti di Rangko tidak memahami sistem sosial ekonomi dan politik tradisional orang Manggarai dan karena itu pempimpin kampung mereka tidak bisa disebut Tu’a Golo atau Tu’a Gendang. Dengan demikian, pengangkatan Bapak Abdullah Duwa sebagai Tu’a Golo Rangko tidak sah, tidak benar dan tidak dapat diterima dari segi hukum adat Manggarai. Akibat lebih lanjut, semua penjualan tanah kepada orang asing atas persetujuannya menjadi tidak sah.

    Mengapa Tergiur


    Kampung Rangko hanya berjarak 5 km dari Kota Labuan Bajo yang sedang didesain jadi kota wisata premium berkelas dunia. Para oligarki di Jakarta, dan para pebisnis dari mana-mana, sudah membayangkan dan sekaligus memprediksikan bahwa 10 hingga 25 tahun ke depan Labuan Bajo akan menjadi kota metropolitan yang berkembang secara luar biasa. Lalu daerah- daerah pinggiran Kota Labuan Bajo sekarang seperti Rangko, Dalong, Gorontalo atau Nanga Na’e akan perlahan-lahan berubah menjadi bagian dari perkembangan kota besar Labuan Bajo. Hal ini kurang lebih sama seperti Bogor, Tanggerang dan Bekasi yang zaman dulu merupakan kampung-kampung kecil, yang dulu tidak ada model, kini telah berkembang menjadi bagian dari Kota Metropolitan Jakarta. Sebelum Rangko dan Nanga Na’e berevolusi menjadi bagian dari kota besar Metropolitan Labuan Bajo di masa depan, maka para oligarki dan para kapitalis dari pelbagai penjuru dunia jauh-jauh hari sudah mengintip-intip peluang. Sebelum terlambat, mereka mau mendahului semua orang lain untuk mengakumulasi tanah dengan ukuran luas.

    Dr Alexander Jebadu SVD

    Dosen Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba pada Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero,Maumere-Flores-NTT.

  • Mengendus Korupsi Pembangunan Pelabuhan Niaga Rangko di Labuan Bajo

    Mengendus Korupsi Pembangunan Pelabuhan Niaga Rangko di Labuan Bajo

    Indodian.com – Sejak tahun 2011, ada wacana pemindahan pelabuhan niaga di Labuan Bajo Manggarai Barat, Flores, NTT. Pelabuhan niaga yang selama ini berlokasi di Labuan Bajo akan dipindahkan di Desa Bari, Kecamatan Macang Pacar. Tujuannya, supaya Kota Labuan Bajo akan  dikhususkan menjadi pelabuhan penumpang dan kota wisata premium berkelas dunia.

    Tujuan lain adalah untuk mewujudkan Nawacita ketiga Sukarno yaitu keadilan sosial ekonomi mesti dipercepat dengan pembangunan yang dimulai dengan mengembangkan daerah pedesaan. Lalu hal terakhir yang tidak kalah penting adalah bahwa pembangunan daerah pedesaan akan menekan laju urbanisasi.

    Pemindahan pelabuhan niaga ini merupakan proyek nasional. Atas dasar itu, Pemerintah Pusat melalui Menteri Perhubungan telah melakukan kajian teknis pada tahun 2012. Pengerjaannya dilakukan oleh PT Adhy Karya (Persero) Tbk Jakarta. Hasilnya, teluk Liwuliang di Desa Bari aman dan memenuhi semua syarat teknis. Lautnya dalam. Ia aman dari hempasan gelombang karena dibentengi Pulau Longos yang ada di depannya. Jarak Labuan Bajo ke Bari juga masuk dalam kajian. Jaraknya hanya 40 hingga 50-an km. Melalui jalan negara pantai utara Flores yang sedang dibangun, jarak itu akan ditempuh tidak lebih dari satu jam.  

    Kelayakan teluk Liwuliang di Desa Bari untuk menjadi pelabuhan niaga kemudian diamankan dengan Perda No.9 Tahun 2012 tentang Tata Ruang Wilayah Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2012-2032. Pasal 10 ayat 3 huruf a) berbunyi: “Pelabuhan Pengumpul yaitu Pelabuhan Niaga/Peti Kemas adalah di Desa Bari Kecamatan Macang Pacar.” Lalu Pasal 10 ayat 3 huruf b) berbunyi: “Pelabuhan Penumpang dan Pelabuhan Wisata Internasional adalah di Labuan Bajo.” Perda ini berlaku sampai hari ini dan belum direvisi.

    Akan tetapi pembangunan pelabuhan niaga yang diwanti-wanti akan membawa imbas ekonomi untuk warga masyarakat desa di Dapil II Kabupaten Mabar (Kecamatan: Macang Pacar, Pacar, Ndoso, Kuwus dan Kuwus Barat) diberitakan dipindahkah lagi ke tempat lain. Tempat baru yang disebut adalah Rangko. Rangko berada di Kecamatan Boleng dan hanya berjarak tak lebih 5 km dari Labuan Bajo dan menurut kajian teknis Menteri Perhubungan yang dikerjakan PT Adhy Karya tahun 2012, Rangko tidak memenuhi persayaratan teknis. Lautnya dangkal dan berbatu karang. Gelombang besar sepanjang waktu karena sangat terbuka dengan laut lepas. Akibat lebih lanjut, Rangko tidak pernah dijadikan sebagai lokasi alternatif.

    Apa yang membuat pemda Mabar memindahkan pembangunan lokasi pelabuhan niaga ini ke tempat baru? Mengapa pemda Mabar pindahkan proyek ini ke Rangko sebagai sebuah lokasi yang sudah dinyatakan tidak memenuhi syarat menurut kajian teknis Menteri Perhubungan yang  dikerjakan oleh PT Adhy Karya? Selain itu, ia dipindahkan dengan mengabaikan Perda No. 9 Tahun 2012 Pasal 10 ayat 3 huruf a) yang berbunyi: “Pelabuhan Pengumpul yaitu Pelabuhan Niaga/Peti Kemas adalah di Desa Bari Kecamatan Macang Pacar”. Apa sebenarnya yang sedang terjadi?

    Laman: 1 2 3 4

  • Belut Sakti Bergigi Emas di Wolotolo, Ende Lio

    Belut Sakti Bergigi Emas di Wolotolo, Ende Lio

    Indodian.com – Setiap sungai di Flores pada umumnya terdapat belut-belut kecil. Belut biasanya berdiam diri di dalam lubang batu dan sesekali berenang di dasar air untuk mencari makanan. Tubuhnya yang licin dan lincah menimbulkan kesulitan bagi setiap orang yang ingin menangkapnya. Dari segi ukuran, belut-belut yang ada di sungai di Flores relatif kecil dan pendek. Sebagaimana hewan air lainnya, belut pada umumnya tidak memiliki mitologi dan daya magisnya.

    Namun, kita pasti akan terperanjat melihat belut sakti bergigi emas di Wolotolo. Wolotolo Ende merupakan salah satu wisata andalan yang terletak di Desa Wolotolo Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemilihan nama Wolotolo ini berdasarkan keadaan setempat yang memang berada di ketinggian.

    Secara etimologis Wolotolo berasal dari dua kata bahasa Lio yakni wolo yang berarti bukit/gunung, tolo berarti ketinggian. Berdasarkan asal katanya Wolotolo berarti bukit di atas ketinggian. Pada umumnya masyarakat di Lio memilih untuk menetap di tempat yang tinggi untuk memantau keadaan di dataran rendah. Jaraknya dari Ende Ibu kota kabupaten Ende sekitar 20 km dan dapat ditempuh dalam waktu 30 menit perjalanan menggunkaan angkutan darat.

    Belut yang terdapat di Wolotolo ini bukan belut sembarangan. Masyarakat adat Wolotolo menghormati belut ini sebagai leluhur mereka. Jika ada masyarakat yang berusaha mengambil, melukai atau mengonsumsinya maka akan menimbulkan kematian dan bencana besar untuk pelaku dan semua kampung. Masyarakat adat sering memberikan makanan kepada belut sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur.

    Belut sakti ini berdiam di sungai Lowomamo yang mengalir di dusun Ae Kewu,  Wolotolo Tengah. Setiap pengunjung yang ingin melihat langsung belut sakti perlu ditemani pawang yang berpengalaman. Pawang akan membantu menjelaskan cara pemanggilan belut dan beberapa pantangan yang harus dilakukan dalam perjalanan menuju sungai. Biasanya, pengunjung diminta untuk mengurangi pembicaraan atau keributan dalam perjalanan karena akan menggangu ketenangan penghuni sungai.

    Laman: 1 2 3

  • Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Indodian.com, Budidaya kopi dengan aneka variannya berkembang cukup pesat di Flores dalam beberapa tahun belakangan. Di beberapa kota di Flores hadir orang-orang muda yang mengembangkan kopi dengan bentuk penyajian yang khas. Tentu ini sebuah trend yang positif untuk mengangkat kualitas kopi Flores yang sudah lama berkembang, tetapi kurang diolah secara memadai.

    Selain mendorong peningkatan ekonomi, saat ini kopi menjadi sebuah tujuan wisata baru dimana wisatawan tidak hanya menyeduh kopi tetapi juga melihat keindahan perkebunan kopi dan terlibat dalam proses olahan kopi dengan aneka varian.  

    Salah satu brand kopi yang sudah mulai berkembang dari sisi pengolahan dan pemasaran yakni kopi Detusoko di Ende. Kopi Detusoko cukup menarik karena memiliki aneka macam olahan variatif dan menjadi wahana atraksi  wisata kopi bagi wisatawan.

    Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci
    Baca Juga : Ancaman Cerpen Tommy Duang

     Detusoko sendiri terletak di kaki gunung Kelimutu. Pada awalnya, Kelimutu ialah sebuah gunung berapi yang pernah meletus pada tahun 1830 dengan menumpahkan lava hitam. Tercatat telah terjadi 11 kali aktivitas vulkanik di Taman Nasional Kelimutu sejak tahun 1930-1997. Ledakan terbesar terjadi pada tahun 1870 yang disertai lahar dan hujan abu hingga daerah-daerah di kaki gunung Kelimutu.

                Daerah-daerah yang berada di kaki gunung Kelimutu sangat subur untuk pengembangan perkebunan dan pertanian. Karena tepat berada di kaki gunung Kelimutu, Detusoko termasuk daerah yang sangat subur. Detusoko terletak hanya 33 km dari kota Ende dengan waktu tempuh 45 menit dari Bandara Hj. Hassan Aroeboesman Ende. Berada pada ketinggian 800 mdpl, Detusoko hadirkan pesona alam dengan topografi yang indah, areal persawahan terasering, dipagari perbukitan hijau, dihiasi berbagai tanaman pertanian.

    Wisatawan menyaksikan pengolahan kopi Detusoko (Foto: Nando Watu)

    Cita rasa kopi umumnya ditentukan banyak hal mulai dari jenis atau varietasnya, lokasi penanamannya, lingkungan sekitarnya serta pengolahan bijinya. Ada dua jenis kopi yang dikenal oleh masyarakat yaitu kopi Arabika dan Robusta. Kopi Arabika adalah salah satu jenis kopi yang paling populer. Dikenal karena cita rasanya kompleks, biji kopi Arabika ini begitu dicintai oleh para penikmat kopi karena rasanya yang smooth dan tidak terlalu asam. Kebanyakan kopi Arabika memiliki aroma yang wangi seperti buah-buahan atau bunga-bungaan. Rasanya pun lebih halus dan penuh.

                Nah, untuk kopi Robusta, biji kopinya berbentuk lebih bulat dan seringkali lebih besar. Adapun ciri khas kopi Robusta paling kentara tingkat kafein lebih tinggi antara 1,7 sampai 4 persen sehingga lebih pahit dan keasaman lebih rendah. Robusta memiliki kandungan kafein yang lebih tinggi, oleh karena itu rasa yang ditawarkan lebih kuat dan tajam apabila dibandingkan dengan kopi Arabika. Kopi ini cukup murah di pasaran. Racikan Robusta cenderung beraroma cokelat dan kacang-kacangan.

    Baca Juga : Merawat Simpul Empati
    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

    Khusus wilayah Detusoko, masyarakat mengembangkan varietas kopi Robusta. Pada awalnya, kopi Robusta di Detusoko dibawa oleh para Misionaris dari Belanda pada tahun 1950-an. Tempat penanaman pertama kopi Robusta di Detusoko terletak di daerah Detubapa, Desa Wolofeo, 3 km dari Detusoko. Kopi ini mulai dikembangkan oleh masyarakat Detusoko pada tahun 1962. Bibit tanaman kopi disimpan dalam koker dan kemudian ditanam di perkebunan warga.  

    Foto: Cafe Lepolio, Desa Detusoko Barat Kecamatan Detusoko Kabupaten Ende, NTT (Dokumen Kades Detusoko Barat)

    Nando Watu, Kepala Desa Detusoko Barat yang giat mengembangkan varietas brand Kopi Detusoko menjelaskan bahwa pemilihan kopi Robusta menjadi produk unggulan bertujuan mengembangkan ekonomi masyarakat. Saat ini, masyarakat Detusoko menanam jenis kopi Robusta. Pengembangan kopi dengan aneka olahan mengambil varietas kopi yang sudah lama berkembang di masyarakat. Aneka pengolahan dan promosi bertujuan meningkatkan produktivitas warga dalam mengolah kopi Robusta.

    Kopi Detusoko sudah diolah dalam bentuk kemasan yang khas dan unik. Selain menjual kopi kemasan, biji kopi diolah menjadi aneka varian yang menarik seperti gelang kopi beraroma khas kopi Detusoko. Fruty notes gelang kopi diambil dari biji kopi pilihan, diolah dengan teknik medium roast sehingga membuat aroma khas, menghilangkan bau badan dan strees. Biji kopi Detusoko juga diolah menjadi parfum. Parfum kopi Detusoko sangat unik. Parfum ini digunakan sebagai pengharum ruangan maupun mobil, penyerap bau tak sedap dan cocok untuk digunakan dalam ruangan atau dalam kendaraan roda empat

    Kopi Detusoko juga menjadi atraksi wisata. Detusoko menjadi salah satu daerah wisata alam yang indah. Wisatawan tidak hanya menikmati panorama alam dengan bentangan gunung dan lekukan sawah, tetapi juga atraksi wisata kopi. Pengunjung akan melihat perkebunan kopi warga, ikut memanen kopi dan terlibat dalam proses pengolahan kopi. Paket wisata kopi ini melibatkan warga masyarakat dengan prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.

    Wisata berbasis masyarakat dengan konsep ekowisata menyajikan keunikan alam, budaya dan manusianya. Para wisatawan yang datang tidak hanya diajak menikmati keindahan tetapi juga terlibat. Mereka diajak untuk bercocok tanam, mengolah kopi dan lainnya.

    Pengolahan kopi Detusoko menggunakan teknik roasting yang modern. Teknik roasting ini adalah sebuah proses pemanggangan biji kopi untuk menghasilkan rasa kuat dan aromatik. Biji kopi tersebut mengalami perubahan warna menjadi cokelat setelah melalui proses roasting, dimana biji kopi tersebut mengalami perubahan kimia dari perubahan suhu yang tinggi pada proses roasting.

    Ada tiga jenis roasting. Pertama, light roast. Proses roasting yang dilakukan secara ringan untuk menghasilkan rasa yang lembut dan memiliki tinggi keasaman yang tinggi. Kedua, medium roast. Proses ini menghasilkan cita rasa kuat dengan kandungan keasaman yang rendah. Ketiga, dark roast. Proses dark roasting merupakan yang paling pahit dan memiliki tingkat keasaman yang paling rendah dibandingkan dengan teknik roasting yang lain.

    Saat ini, brand kopi Detusoko merambah konsumen lokal, nasional bahkan internasional. Hal ini berkat pengolahan dan daya promosi digital dengan menggunakan sebuah aplikasi yang berada di bawah BUMDes Ae Wula di Desa Detusoko Barat. BUMDes ini masuk nominasi 10 besar BUMDes terbaik di Indonesia yang diadakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.

    BUMDes Ae Wula ini bergerak di bidang pariwisata dan perdagangan. Dengan layanan digital, BUMDes melayani produk dan layanan wisata ke pasar lokal desa, kecamatan dan kota sekaligus memperluas akses pasar dan meningkatan penjualan. Dengan adanya program BUMDes Smart dari Bakti Kominfo, Desa Detusoko Barat menjadi salah satu desa di Indonesia yang beralih menjadi desa digital. Di Website Decotour.bumdeswisata. id, wisatawan bisa memesan transportasi, penginapan, kegiatan selama liburan dan oleh-oleh khas Detusoko.

    Pengembangan kopi Detusoko dengan konsep ekowisata menjadi sebagai salah satu produk jasa yang tumbuh dan berkembang pesat juga menjadi potensi. Keinginan masyarakat, terutama warga perkotaan untuk berwisata menghilangkan penat membuat Detukoso menjadi salah satu tujuan. Keasrian alam dan kesederhanaan Detusoko menjadi daya tarik tersendiri.