Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila

- Admin

Selasa, 17 Agustus 2021 - 13:39 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com Pada tahun ini, kita merayakan kemerdekaan di tengah pandemi Covid-19 yang terus bermutasi dengan varian baru. Pandemi masih menjadi ancaman serius karena berimbas di semua sektor kehidupan. Walaupun demikian, kita optimis bahwa pandemi ini akan berakhir. Indonesia mampu mengatasi pandemi Covid-19.

Sebagai sebuah bangsa yang berusia tidak muda lagi, Indonesia memiliki warisan perbenturan pelik yang belum selesai hingga hari ini.  Benturan ini lebih berbahaya dari Covid-19. Benturan tidak hanya terjadi karena perbedaan budaya, ekonomi dan sosial tetapi juga dari sisi agama. Hal ini nyata dalam usaha pihak tertentu yang merongrong Pancasila dengan paham-paham radikal. Hal inilah yang sebenarnya menjadi ancaman besar bagi Indonesia.

Indonesia terbentuk dari pelbagai budaya, agama, politik. Kenyataan ini menyimpan benih-benih perbenturan. Di satu sisi keberagaman membawa khazanah kekayaan bangsa, tetapi di sisi lain pola pikir fundamentalistik yang menuntut keseragaman di tengah realitas keberagaman menjadi suatu bencana.

Salah satu perbenturan yang paling sensitif dalam sejarah Indonesia adalah mengenai agama. Perbenturan dalam bidang agama dapat dilihat dalam rumusan rancangan dasar negara. Dalam sejarah Indonesia, paham negara agama sebagai sumber hukum nasional mulai terbuka dengan keluarnya Piagam Djakarta pada tanggal 22 Juni 1945, dimana negara Republik Indonesia didasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam Djakarta ini pada mulanya dimaksudkan sebagai mukadimah UUD 1945.

Baca juga :  Dekalog sebagai Vaksin Anti Korupsi

Baca Juga : Aku dan Kisahku
Baca Juga : Mabuk Kuasa

Konsekuensinya syariat Islam melandasi seluruh tatanan perundang-undangan Indonesia. Rumusan ini dinilai kontroversial dalam realitas keberagaman Indonesia. Oleh karena itu, Admiral Maeda – Penguasa perang di Indoensia Timur menyampaikan berita kepada Hatta bahwa orang Kristen di Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Indonesia manakala nilai-nilai agama Islam mendasari Pembukaan UUD. Maka atas desakan Hatta rumusan itu diganti dalam bentuk sekarang ini (Syamsumar Damm, 2005: 91).

Pasca kematian Orba, kaum fundamentalis menumbuhkan kembali benih-benih fundamentalisme melalui nalar syariatik untuk merombak dasar negara. Jika pengalaman sejarah menghukum mereka dalam rahim Orde Lama dan Orde Baru, maka melalui paham kebebasan di era Reformasi, mereka memunculkan nalar syariatiknya dalam rumah tangga politik. Isu agama menjadi semacam anti tesis terhadap kegagalan negara dalam merajut kesejahteraan bersama (bonum commune).

Baca juga :  Strategi Kampanye Capres Menuju Pemilu 2024

Iklim demokrasi yang diskriminasi, patologi birokrasi, ambruknya perekonomian dan kemiskinan menyuburkan semangat pengimplementasian syariat Islam. Dalam kerangka berpikir semacam itu, produk perundang-undangan dan tatanan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang tidak sempurna dianggap sebagai bukti nyata kegagalan “produk” manusia yang harus diganti dengan Ideologi Tuhan.

Selain itu, kaum fundamentalis menganut suatu paham bahwa di luar Islam adalah kafir. Konsekuensinya kaum Muslim memiliki akses yang bebas untuk menjadi pemimpin. Pemimpin yang berasal dari luar Islam adalah suatu kenajisan. Paradigma ini mengalami pembenaran dalam kasus Ahok. Kaum radikal berusaha menjegal perjuangan Ahok untuk memimpin DKI Jakarta. Dalam pandangan mereka, segala kesuksesan dan keberhasilan Ahok memimpin DKI Jakarta tidak memiliki andil yang konstruktif.

Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ

Baca juga :  Akumulasi Hasrat dan Perampasan Ruang di Flores, NTT

Dalam bidang politik, terdapat perbenturan ideologi yang bersifat antagonistik. Perbenturan utama antara partai nasionalis (PDIP dan Golkar) dengan partai konservatif (PPP, PKS dan PBB). Partai nasionalis didukung oleh partai Islam moderat (PKB, PAN) menolak perjuangan partai Islam yang ingin menggantikan dasar negara dengan syariat Islam. Pada tahun 2002, partai konservatif mengusulkan untuk mengganti Piagam Jakarta dengan konsep baru, yang disebut Piagam Madinah, dimana setiap agama akan diperlakukan sama dan dapat menerapkan hukum agamanya masing-masing, terutama syariat Islam (Remy Midinier, 2014: 278)

Kegagalan perombakan dasar negara ini membuat partai Islam di level nasional mengusulkan pemberlakuan UU No 28 tentang Pornografi. Undang-undang menimbulkan perbenturan hebat antara Islam moderat dan partai Nasionalis. Tetapi Islam radikal yang membabtis diri sebagai pemegang hegemoni kebenaran tetap mengeksekusi regulasi ini. Dalam bidang lokal Islam radikal menerapkan peraturan-peraturan yang mewajibkan rakyatnya mematuhi Perda Syariat. Daerah-daerah itu (Jawa Barat, Aceh dan Sulawesi Selatan) dipengaruhi identitas Islam yang kuat.

Komentar

Berita Terkait

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?
DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?
Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Berita ini 38 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA