Penyakit Era Digital Menurut Jürgen Habermas

- Admin

Kamis, 29 Juli 2021 - 12:49 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Gegap gempita era digital sudah menjadi bagian dari pengalaman hidup masyarakat global di berbagai belahan dunia saat ini. Ke mana pun, di mana pun, dan dengan siapa pun berada, manusia zaman ini selalu berhadapan dengan teknologi digital. Hampir tidak ada ruang hidup yang tidak tersentuh teknologi digital. Dengan begitu cepat, semuanya terdigitalisasi.

Tanpa meminta persetujuan tiap-tiap pribadi, kita pun dibawa masuk dan hidup di dalam era digital. Namun, kita sebenarnya tidak hanya dibawa masuk ke dalam era baru ini sekadar untuk mengalami teknologi, tetapi juga untuk turut terkontaminasi penyakit-penyakit yang tidak dapat dibedah di ruang medis. Penyakit-penyakit era digital itu seperti tanpa obat. Tiap-tiap orang terjebak di dalamnya. Bagaimana persisnya penyakit era digital itu?   

Baca juga :  Memento Mori: Bisikan Filsafat tentang Kematian

Baca Juga : Optimalisasi Layanan Pelabuhan Podor dalam Meningkatkan PADes Desa Lewohedo
Baca Juga : Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa

Diskursus tentang penyakit era digital itu dilakukan penulis dengan menggunakan kerangka pemikiran Jürgen Habermas.Agar lebih fokus, penelaahan penulis terhadap pemikiran Habermas hanya dikonsentrasikan pada salah satu artikel terkenal Habermas berjudul “Technik und Wissenschaft als Ideologie” yang oleh LP3ES diterjemahkan menjadi “Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi”.

Baca juga :  Menyoal Populisme Teknokratis

Melalui artikel ini, Habermas secara eksplisit berbicara tentang fenomena masyarakat teknologis yang ditandai dengan praktik dehumanisasi dan pudarnya citra komunikasi manusiawi. Dari artikel tersebut, penulis tidak menguraikan konsep tentang ‘ideologi’. Dengan demikian, yang disoroti dari artikel tersebut adalah pandangan Habermas tentang penyakit era digital.

Komentar

Berita Terkait

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!
Tolong, Dengarkan Suara Hati! (Subjek Cinta dan Seni Mendengarkan)
Apakah Aku Selfi Maka Aku Ada?
Autoeksploitasi: Siapa yang Membunuh Sang Aku?
Masyarakat yang Terburu-buru
Masyarakat Smombi
Masyarakat Telanjang
G.W.F. Hegel: Negara dan Sittlichkeit
Berita ini 262 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA