“Masuklah ke telingaku,” bujuknya.
Gila:
ia digoda masuk ke telinganya sendiri
agar bisa mendengar apa pun
secara terperinci – setiap kata, setiap huruf,
bahkan letupan dan desis
yang menciptakan suara.
“Masuklah,” bujuknya.
Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaik-
baiknya apa pun yang dibisikkannya
kepada diri sendiri.
(Sapardi Djoko Damono)
Cinta sedang berada dalam kondisi krisis. Cinta diasingkan oleh pelbagai produk, iklan, merek, label, simbol, aplikasi filter telepon cerdas, manusia yang narisistik, konsumerisme, wabah pornografi, dan waktu yang padat. Cinta lebih mudah ditemukan dalam quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon di dunia digital daripada di dunia nyata sehari-hari.
Masyarakat sekarang ini lebih gandrung membagikan (share) cinta kepada sesama dalam bentuk quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon daripada menjalani, dan berdialog dengannya. Ketika cinta berubah menjadi quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon, maka cinta tidak lebih dari teks, gambar dan video yang berlalu-lalang di dunia digital. Hal ini disebabkan oleh beberapa penyebab seperti nomofobia, smombi, dan bailan, yang menjadi ciri masyarkat sekarang ini. Ketiga ciri masyarakat ini membuat waktu tidak lagi cair, tetapi padat.
Waktu tidak bisa toleransi terhadap manusia yang malas, tidur-tiduran, suka pesta, dan tidak disiplin. Manusia harus bekerja keras, dan disiplin terhadap waktu yang dikendalikan oleh pemilik modal. Ketika waktu dikuasai dan dikontrol oleh pemilik modal, maka pekerja harus mengejar waktu dengan membeli/menjual tenaga kepada pemilik modal, dan mengisinya dengan pekerjaan-pekerjaan berat yang membuatnya dapat bertahan hidup.
Pemilik modal menjual waktu kepada para pekerja dengan memproduksi produk-produk (kebutuhan-kebutuhan) yang sengaja diciptakan. Kalau para pekerja membeli waktu dengan menjadi pekerja di dalam perusahaan pemilik modal, para konsumen (dan juga para pekerja) membeli waktu yang dikendalikan pemilik modal itu dengan mengonsumsi produk-produk yang sengaja dibutuhkan itu.
Para pekerja dan konsumen tidak hanya membeli waktu pemilik modal, tetapi juga menyerahkan diri kepada perampasan melalui waktu. Para pekerja bekerja untuk memproduksi barang dengan merek tertentu di perusahaan. Di ruang produksi, pekerja adalah pembeli waktu menjual tenaga. Akan tetapi di luar ruang produksi, pekerja adalah konsumen dari barang yang diciptakannya dengan modal pemilik modal di ruang produksi. Contohnya, para pekerja di pabrik Iphone; mereka adalah para pekerja yang membeli waktu dengan menjual tenaga di ruang produksi Iphone, tetapi untuk mendapatkan Iphone yang mereka hasilkan itu, mereka harus menyerahkan kembali upah yang sempat mereka dapatkan dari hasil pembelian waktu dengan menjual tenaga mereka di pabrik Iphone. Artinya, meskipun mereka adalah pekerja di ruang produksi Iphone, namun demikian mereka juga dalah para konsumen ketika berada di luar ruang produksi Iphone. Dua hal yang ditekankan di sini yakni kuasa-kendali pemilik modal lewat waktu dan produksi ruang. Di sini waktu berubah menjadi alat kontrol dan kuasa pemilik modal.
Ketika waktu menjadi alat kontrol dan kuasa atas para pekerja, para pekerja tidak bisa mengekresikan kebebasannya. Kebebasan mereka yang tampak dalam menggunakan waktu luang di luar waktu produksi dan ruang produksi, misalnya, bermain media sosial dengan Iphone, adalah keuntungan bagi perusahaan Iphone, karena mereka telah mengonsumsi barang yang dihasilkannya di ruang produksi Iphone. Sekalipun para pekerja tidak bekerja di ruang produksi Iphone untuk meningkatkan keuntungan Iphone, mereka tetaplah menjadi organ seksual yang mereproduksi Iphone ketika mereka menggunakan Iphone untuk mendapatkan keuntungan lebih—misalnya dengan membuat konten, game atau sekadar bermain media sosial dengan Iphone—di luar ruang produksi Iphone. Di sini para pekerja yang juga merupakan konsumen adalah tuan dan budak dalam dirinya sendiri.
Waktu yang padat ini mengontrol dan mengatur cinta, erotisme, perhatian (suara hati), kepedulian (nurani kemanusiaan) dan penilain moral-etis dari para pekerja pada khususnya, dan konsumen pada umumnya. Akibatnya para pekerja tidak punya waktu untuk membagikan cinta, bahkan di rumahnya sendiri. Membagikan cinta berarti memberikan ruang hati yang luas kepada subjek-subjek yang membutuhkannya. Tindakan komunikatif “membagikan cinta” mengandaikan adanya ruang dialog terbuka tanpa syarat antara dua subjek yang saling mencintai: Ketika subjek yang satu membagikan cintanya kepada subjek yang lain, subjek yang lain menerima cinta itu dengan mendengarkannya.
Mendengarkan berarti membiarkan cinta dari subjek yang satu masuk secara penuh ke dalam hati subjek yang lain. Saya tidak menggunakan term “objek” dalam hal cinta dan mencintai, karena cinta mengharuskan sikap kesalingan-setimpal. Cinta tidak memandang yang lain sebagai objek, karena ketika saya mengatakan saya mencintai Anda, saya sedang mengatakan saya mencintai diri saya sendiri. Sang subjek mencintai sang subjek, bukan sang subjek mencintai sang objek.
Cinta tidak melihat ukuran yang diberikan subjek yang satu kepada subjek yang lain, karena seperti kata Santo Fransiskus dari Sales, “ukuran cinta adalah mencintai tanpa ukuran”. Subjek yang satu tidak bertanya kepada subjek yang lain, mengapa kamu mencintai saya, karena pertanyaan itu membutuhkan alasan, kriteria, dan persyaratan mencintai. Terhadap kedalaman dan keluasan cinta ini, saya teringat puisi Surat Cinta karya Goenawan Mohamad:
Bukankah surat cinta ini ditulis
ditulis ke arah siapa saja
Seperti hujan yang jatuh ritmis
menyentuh arah siapa saja
Bukankah surat cinta ini berkisah
berkisah melintas lembar bumi yang fana
Seperti misalnya gurun yang lelah
dilepas embun dan cahaya.
Penyair memahami bahwa universalitas cinta melampaui sekat-sekat ukuran, kriteria, syarat-syarat dan alasan-alasan. Kita tidak bisa mempersoalkan dari mana saya mencintai Anda dan bukan dia, karena kita tidak tahu dari mana cinta datang. Tetapi hati saya begitu girang dan berdebar-debar ketika Anda berada di depan saya. Bahkan ketika orang-orang menyebut nama Anda saja, saya merasa Anda milik saya sepenuhnya.
Saya tidak mau lagi ada yang datang mengganggu dan merusak Anda, karena itu tugas saya ialah menjaga dan melindungi Anda sebab di dalam hati Anda cinta saya bersemi dan bertembuh. Ketika Anda dirampas dan dihancurkan oleh orang lain, saya pun ikut terhancur, karena yang hancur bukan hanya Anda, melainkan juga saya yang hidup di dalam Anda. Karena itu, cinta sejati tidak akan saling mengobjekkan atau merampas atau merusak tubuh subjek yang lain.
Pada 1864 Emily Dickinson melukiskan kesejatian cinta dengan amat dalam dalam puisinya:
Love – is anterior to Life –
Posterior – to Death –
Initial of Creation, and
The Exponent of Earth –
Cinta tidak memperhitungkan pengorbanan demi pengorbanan, meskipun cinta sarat akan pengorbanan demi pengorbanan. Cinta tidak memperdagangkan waktu. Bagi dua subjek yang saling mencintai, cinta abadi, dan seperti kata Sapardi Djoko Damono, “yang fana adalah waktu”. Cinta memeluk dan mengatasi waktu kita secara penuh; ia memulihkan masa lalu, menyelamatkan masa depan, dan rela berkorban pada masa kini.
Subjek yang mencintai tidak takut akan bahaya dan mati, karena “cinta itu lebih kuat daripada maut… Air yang banyak tidak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tidak dapat menghanyutkannya. Sekalipun orang memberi segala harta benda rumahnya untuk cinta, akan tetapi ia pasti akan dihina” (Kidung Agung, 8:6-7, versi Bahasa Spanyol). Pengorbanan cinta mengandaikan keterbukaan hati untuk diperkaya dengan hal-hal baru. Hati yang mencinta sarat akan kepedulian, kemurahan hati, kesabaran, keterbukaan, solidaritas, dan pengorbanan.
Hati yang mencinta sangat peka terhadap realitas sosial yang bertentangan dengannya, seperti penindasan, perampasan, akumulasi, dan kejahatan-kejahatan lainnya. Karena itu suara hati berbisik kepada subjek yang mencintai subjek yang lain untuk mempersoalkan realitas sosial yang tampaknya baik-baik saja, tetapi ternyata sedang direkayasa oleh kekuatan-kekuatan besar.
Suara hati tidak diciptakan. Suara hati tidak dapat dihadirkan. Suara hati lahir dalam diri subjek yang mencintai subjek yang lain, bukan dalam diri subjek yang merampasa dan mengakulasi subjek yang lain demi keuntungannya. Subjek yang mencintai subjek yang lain mampu mendengarkan dan merealisasikan isi suara hati itu. Itulah yang dapat disebut sebagai nurani kemanusiaan. Nurani kemanusiaan tidak mengotak-ngotakkan atau membagi masyarakat dalam kelas-kelas sosial berdasarkan kepentingannya masing-masing, karena kepentingannya adalah kemerdekaan kemanusiaan universal dan kelestarian alam semesta.
Akan tetapi dengan timbul dan makin maraknya quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon, suara hati makin tidak terdengar lagi, dan dengan demikian cita rasa kemanusiaan pelan-pelan menghilang. Kebutuhan dasar yakni dicintai dan didengarkan oleh subjek yang lain telah digantikan oleh quotes, selfi, gambar, video, dan emoji/emotikon yang beredar di media sosial. Semuanya itu telah menjadi opium yang meninabobokan masyarakat dari pelbagai kejahatan dan ketimpangan sosial. Itulah sebabnya masyarakat begitu mudah terpapar depresi dan bunuh diri. Depresi dan bunuh diri tidak lain merupakan puncak dari konsumerisme, dan pornografi (penelanjangan kemisterian dan kekudusan hidup). Masyarakat seperti itu sengaja diciptakan oleh kapitalisme neoliberal.
Kapitalisme neoliberal memerintah masyarakat agar selalu bekerja, bekerja, dan bekerja. Kapitalisme neoliberal meningkatkan produktivitas produksi, kinerja pekerja yang lebih, tutuntan yang berlebihan dan informasi yang berlebihan dalam masyarakat. Kapitalisme neoliberal membuat masyarakat berkomunikasi secara berlebihan lewat emoji/emotikon, pesan suara, dan pesan teks digital, dan menghentikan komunikasi intersubjektivitas sehari-hari. Komunikasi lewat emoji/emotikon, pesan suara, dan pesan teks digital lebih berciri omniprensencia dan omnipotente daripada komunikasi verbal yang hanya dilihat sebagai ausencia.
Kapitalisme neoliberal menciptakan sampah dalam cloud otak masyarakat digital, dan kemudian masyarakat digital bekerja keras membersihkan sampah itu dengan pulse yang disediakan oleh kapitalisme neoliberal sendiri. Kapitalisme neoliberal mengubah masyarakat menjadi apa yang disebut oleh Byung-Chul Han (2023) “masyarakat kelelahan”, karena tekanan kerja terus-menerus dan persaingan bebas tanpa kendali.
Masyarakat kelelahan tidak punya waktu untuk membagi cinta dan mendengarkan subjek yang lain, sebab mereka sibuk bekerja, bekerja, dan bekerja supaya bisa bertahan hidup di tengah persaingan hidup yang ketat. Bagi mereka, waktu tidak lagi cair, tetapi padat yang mengontrol dan mengatur kebebasannya. Terhadap fenomena ini, Byung-Chul Han dalam bukunya La Expulsión de lo Distinto. Percepción y comunicación en la sociedad actual, terj. Alberto Ciria (2022) mengatakan, “pada masa mendatang akan ada, mungkin, sebuah profesi yang disebut pendengar. Dengan imbalan pembayaran, pendengar akan mendengarkan orang lain dengan memperhatikan pada apa yang dia katakan. Kita akan pergi ke pndengar karena, selain dia, hampir tidak akan ada orang lain yang tersisa untuk mendengarkan kita. Hari ini kita sedang kehilangan kemampuan untuk mendengarkan.”
Itulah yang terjadi di rumah masyarakat sekarang ini. Masyarakat terutama yang hidupnya sibuk dengan telepon cerdas dan tidak lagi membagi cinta kepada sesamanya dengan mendengarkan adalah masyarakat smombi. Ketika rumah sudah dihuni oleh individu-individu smombi, nomofobia dan bailan, makan rumah itu serentak berubah menjadi rumah sakit jiwa digital dan penjara nurani kemanusian.
Untuk mendapatkan kembali “rumah” dan cinta yang ditenggelamkan itu, subjek-subjek yang saling mencintai harus menutupkan mata, dan mendengarkan suara hati. Suara hati tidak membutuhkan headset, earphone, speaker aktif atau salon-salon besar, tetapi hati yang terbuka, mata yang tertutup, dan telinga yang mendengarkan. Suara hati tidak diciptakan, dan tidak juga dapat dihadirkan. Dan untuk membedakan antara suara hati nurani dan suara-suara lain yang narsistik, diharuskan untuk melakukan discernment.
Ada begitu banyak orang di luar sana, dan mungkin Anda juga adalah korban dari perampasan melalui klik dan like ini, sebab klik dan like adalah alat kontrol dan kuasa-kendali atas kebebasan kita semua. Ketika Anda menutupkan mata, membuka hati, dan mendengarkan suara hati Anda, Anda tidak hanya sedang berkontemplasi tentang cinta dan hati nurani, tetapi lebih dari, Anda sedang berfilsafat (refleksi sitematis Anda atas hakikat realitas, keterpahaman realitas, dan sikap Anda terhadap realitas). Tolong, dengarkan suara hati Anda!
Penulis : Melkisedek Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)