Politik Hijau di Indonesia
Secara global, politik hijau telah menjadi politik alternatif yang melampui kategori kanan-kiri baik di Eropa, AS, maupun di negara-negara maju lainnya. Meskipun demikian, di Asia, implementasi politik hijau, melalui pembentukan partai politik hijau dan kebijakan prolingkungan, masih sangat terbatas. Menurut temuan Stewart Jackson dan Alex Bhathal, dari 37 negara di Asia, 16 negara telah memiliki partai hijau, sedangkan sisanya belum. Jackson dan Bhatal juga menguraikan 11 hambatan yang mengganjal realisasi politik hijau di Asia Pasifik.9 Hambatan-hambatan itu, yakni regim otoritarian yang membatasi jumlah parpol, demokrasi yang dibatasi, kekerasan elektoral, negara yang baru didemokratisasi, parpol yang terlampau banyak, politik klientelistik, keterbatasan sumber daya, pencitraan diri perusahaan (greenwashing), industrialisasi dan pembangunan infrastruktur, tingginya pemilih kelas menengah, dan ketidaksiapan organisasional. Terkecuali tiga hambatan pertama, Indonesia mengalami semua hambatan lainnya. Karena itu, sangat beralasan jika realisasi politik hijau masih terbatas.
Baca Juga : Merawat Keindonesiaan
Baca Juga : Merosotnya Nilai-Nilai Antikorupsi di Tubuh KPK
Terlepas dari beberapa hambatan di atas, ada beberapa kondisi real yang turut menandai mandegnya gerakan politik hijau di Indonesia. Pertama, politik hijau bukan gerakan politik mainstream. Terbatasnya wacana tentang politik hijau baik di ruang publik maupun di ruang parlemen atau pemerintahan menunjukkan bahwa politik hijau adalah isu pinggiran.
Diskursus tentang pilar-pilar politik hijau seringkali hanya menjadi domain aktivis dan akademisi yang concern dengan lingkungan. Lagi pula, pesta demokrasi seringkali direduksi menjadi ajang konsolidasi kekuasaan antarelit dengan politik identitas sebagai senjata pamungkas, sedangkan isu lingkungan berada di luar agenda politik.10 Akibatnya, isu-isu tentang perubahan iklim, deforestasi, polusi udara dan air, berada di luar jangkauan politik. Memang, dalam setiap kampanye politik, isu lingkungan hidup sering diangkat. Namun, de facto, realisasinya begitu minim, sebab isu lingkungan sengaja diinstrumentalisasi untuk mengakomodasi tuntutan massa di medan kampanye.
Kedua, cengkeraman oligarki. Menurut Winters, “kontes demokratis Indonesia hanya permainan pindah-pindah kelompok oligark (dan elit yang ingin menjadi oligark) yang berusaha meraih kekuasaan demi pertahanan kekayaan dan memperkaya diri (atau kelompok)”.11 Sejak berakhirnya Orde Baru, oligark mulai memasuki panggung politik secara leluasa dengan proses yang bertahap. Pada tahap awal, mereka berperan sebagai donatur parpol, tetapi kemudian menguasai partai. Hal ini menyebabkan percaturan politik Indonesia seringkali hanya berpusat pada perebutan kepentingan antarelit oligark.
Imbasnya, parpol di Tanah Air seringkali dituntut untuk mengadaptasikan orientasi politiknya dengan kalkulasi kepentingan elit. Penguasaan sumber daya dan pembuatan kebijakan partai menjadikan elit oligark semakin jauh dari komitmen ekologis.12 Keberpihakan parpol terhadap isu-isu lingkungan hidup menjadi mustahil, sebab parpol itu sendiri dikuasai oleh para pengusaha yang adalah pemilik perusahaan tambang, kelapa sawit, dan sejenisnya.
Ketiga, terbatasnya partai hijau dan rendahnya komitmen parpol terhadap politik hijau. Hingga saat ini, Indonesia hanya memiliki satu partai hijau, yakni Partai Hijau Indonesia (PHI) yang dideklarasikan pada 5 Juni 2012 di Bandung. Berbeda dari Sarekat Hijau Indonesia (SHI) yang tetap mempertahankan statusnya sebagai organisasi politik hijau (non-partai), PHI bergerak lebih jauh dengan menjadi salah satu parpol hijau. Meskipun demikian, dalam memperjuangkan kebijakan politik pro-ekologi, PHI dan SHI harus berkonfrontasi dengan (kader) parpol yang kurang memiliki perhatian khusus terhadap isu lingkungan.
Baca Juga : Kemerdekaan dan Upaya Jalan Pulang pada Pancasila
Baca Juga : Aku dan Kisahku
Selain PHI dan SHI, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) adalah dua partai politik yang dikenal akrab dengan wacana politik hijau di Indonesia. Pada 2007, Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar dan Ketua Dewan Syuro Abdurrahman Wahid mendeklarasikan PKB sebagai partai hijau. Selain PKB, baru-baru ini PDI-P secara institusional mulai mengangkat isu lingkungan hidup. Dalam rangkaian acara HUT ke-48 PDI-P, Megawati Soekarnoputri mendeklarasikan Gerakan Penghijauan dan Gerakan Membersihkan Sungai. “Saya berharap agar di setiap daerah, seluruh kader struktural partai, eksekutif partai, dan legislatif partai juga melakukan hal yang sama,” tegas Megawati.13
Pernyataan politik PKB dan PDI P merupakan sebuah berita fenomenal di tengah rendahnya atensi parpol terhadap isu lingkungan. Ini merupakan sebuah langkah yang berani dan patut diapresiasi. Pertanyaan tentang apakah wacana politik hijau itu dapat terinstitusionalisasi dengan baik, merupakan sebuah pertanyaan yang selalu terbuka pada berbagai spekulasi kritis, juga bisa jadi skeptis. Apalagi, parpol di Indonesia cenderung berhenti pada wacana politik hijau, sedangkan realisasi secara institusional masih sangat terbatas.
Selain karena terbatasnya partai hijau, realisasi politik hijau juga terganjal oleh rendahnya komitmen ekologis dari parpol di Indonesia. Hal ini tercermin dari hasil kajian WALHI Institute pada Desember 2013-Februari 2014 tentang komitmen ekologis dari para caleg DPR RI 2014-2019. Menurut kajian tersebut, hanya 7 persen dari 6561 caleg yang benar-benar berkomitmen terhadap perlindungan lingkungan. Mirisnya, hanya 0,2 persen dari angka 7 persen tersebut yang terpilih menjadi anggota DPR RI 2014-2019. Menurut WALHI, data ini menjadi alasan kuat atas pudarnya isu lingkungan di parlemen kita.14 Hal yang sama ditemukan Supratiwi melalui kajiannya tentang kebijakan pro-lingkungan hidup dari parpol dengan fokus di Kota Semarang. Menurut Supratiwi, “partai politik kurang memiliki kepedulian karena masih sedikitnya parpol yang memasukkan isu lingkungan ke dalam visi, misi, platform maupun program kerjanya”.15
Di satu sisi, terbatasnya realisasi politik hijau merupakan sebuah PR besar bagi Indonesia. Di sisi lain, kenyataan demikian justru mengindikasikan rendahnya perhatian dan kesadaran ekologis (ecological awareness) serta mitigasi bencana. Padahal, dari tahun ke tahun terjadi peningkatan krisis lingkungan di setiap daerah di Indonesia. Pada tahun 2020 saja, BNPB mencatat 2.925 kejadian bencana yang meliputi bajir, tanah longsor, puting beliung, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan.16
Pada gilirannya, pengabaian terhadap isu lingkungan hidup berdampak serius terhadap eksistensi masyarakat adat (indigenous peoples). Mereka mengalami ancaman serius sebab mereka hidup berdampingan dengan dan bergantung pada sumber daya alam (natural resourches). Alam tempat mereka hidup adalah ‘ibu’ yang mengalirkan kehidupan. Itu sebabnya, banyak komunitas adat yang menolak tambang dan pembangunan yang mengorbankan hutan. Resistensi masyarakat adat sebenarnya merupakan suatu bentuk perlindungan terhadap ‘ibu bumi’ yang sering dieksploitasi. Namun, resistensi itu seringkali dipolitisasi dan dilabelisasi sebagai sebuah gerakan anti-pembangunan, anti-modertnitas, bahkan anti-negara. Dengan demikian, apatisme terhadap ekologi bermuara pada apatisme terhadap kemanusiaan, terutama masyarakat adat yang hidupnya benar-benar bergantung pada kebaikan alam tempat mereka tinggal.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya