Neoliberalisme dan Korosi Ekologi

- Admin

Minggu, 12 Februari 2023 - 12:47 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com-Akhir-akhir ini, penyebab terjadinya krisis ekologis tidak terlepas kebijakan ekonomi neoliberal yang mendominasi pada tataran global. Aktor utama yang berada dibalik sistem ekonomi neoliberal adalah para penganut kapitalisme. Kaum neoliberal tampil dalam diri korporasi-korporasi transnasional mengeksploitasi alam secara bebas sehingga membuat alam semakin karat dan suram. Seringkali alam dipandang sebagai objek semata sehingga boleh dieksploitasi sebebasnya. Hal ini menyiratkan bahwa masih terdapat individu atau kelompok tertentu yang  mengobjektifikasi alam secara membabi buta.  

Terlepas dari itu, tindakan mengobjektifikasi alam secara berlebihan dapat memungkinkan adanya korosi terhadap alam itu sendiri. Implikasi di balik kebijakan itu pun tak bisa tersembunyikan kenyataannya. Fakta menunjukkan bahwa ekonomi berbasis neoliberal berdampak negatif teristimewa menciptakan kerusakan ekologis.

Kedigdayaan korporasi-korporasi besar yang mengeksploitasi lingkungan atas nama profit menuntut “tumbal” bencana alam yang justru dirasakan pertama-tama oleh rakyat yang miskin dan terpinggirkan. Ketika kapitalisme dan gaya hidup hedonis serta konsumeris sudah menjadi corak umum masyarakat global, tindakan mengeksploitasi alam niscaya terus dilakukan demi memuaskan hasrat “memakan segalanya”. Hal ini tak dapat dipertanggngjawabkan, tetapi ironisnya dianggap wajar begitu saja.  

Neoliberalisme: Dalih Kebijakan Ekonomi Kapitalisme

Paham neoliberal merupakan turunan dari paham liberal klasik (classicalliberalism) yang pertama kali muncul di abad ke-16, ketika John Locke (1632-1704) mengajarkan ide tentang ‘State of Nature’ yang intinya mengedepankan ide kebebasan dan kesamaan hak yang tidak boleh dibatasi oleh kekuasaan negara.

Ide John Locke merupakan benih utama dari ide klasik liberal itu kemudian diadopsi secara besar-besaran di abad 17 dan 18 yang dikenal dengan gerakan pencerahan. Pada perjalanannya, ide klasikal liberalisme semakin berkembang dan diadopsi oleh banyak pemikir ekonomi yang kemudian dikenal dengan neoliberal ekonomi.

Di abad ke-19 bermunculan tokoh yang mengembangkan ide neoliberal ekonomi seperti John Maynard Keynes, Friedric von Hayek, dan Milton Friedman. Pemimpin dunia yang sangat terkenal, Ronald Regan dan Margaret Thatcher, pun mengadopsi paham ini. Neoliberal kalau dipahami secara harafiah bisa diartikan sebagai ekonomi “pasar bebas baru”. Dalam konteks ini, ia menjadi semacam sistem ekonomi liberal klasik yang bangkit kembali di abad ke-21 ini.

Sistem ekonomi neoliberal sebenarnya dalih kebijakan ekonomi kapitalisme karena dinilai sebagai yang paling menguntungkan bagi pemasaran. Neoliberal ekonomi menjadi semacam sistem ekonomi yang ideal karena berada di luar jalur yang terikat oleh institusi-institusi lain, dalam hal ini negara. Pengertian demikian jadi mungkin jika kembali pada pengertian yang dimaksud John Locke. Terlepas dari itu, sistem ekonomi neoliberal kemudian dieksekusi lebih komprehensif oleh penganut kapitalisme dengan mengkonstruksi melalui kinerja korporasi.

Patut dicatat bahwa sampai hari ini, ide tentang ekonomi neoliberal terlalu intens diamini dan dimodifikasi oleh para penganut kapitalisme yang diwacanakan melalui korporasi-korporasi besar, terlebih oleh perusahaan-perusahaan transnasional (Transnational Corporations atau TNCs) sehingga secara sporadis mereka mengimplementasikannya dengan bebas tanpa kendali terutama di negara-negara berkembang yang memiliki kekayaan sumber daya alam, termasuk Indonesia. Instrumen yang mereka pakai ialah IMF: International Monetary Fund (Institusi Moneter Internasional), WTO: World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia) dan Bank Dunia.  

Baca juga :  Strategi Politik Populis dan Stagnasi Demokratisasi di Indonesia

Kendati pun demikian, muncul klaim bahwa sistem ekonomi neoliberal telah menampilkan entitasnya sebagai rezim ekonomi yang berbahaya sekaligus membahayakan bagi lingkungan hidup tempat manusia bergantung. Dengan kata lain, kendati pun secara ekonomis sistem ekonomi neoliberal menguntungkan korporasi-korporasi tertentu.

Proses penerapannya  menyisakan implikasi destruktif terhadap kosmos seperti terjadinya bencana alam yang memilukan. Klaim ini menjadi lebih tampak ketika ekonomi neoliberal dianggap sebagai sistem ekonomi yang hanya mementingkan dan menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat banyak. Sumber daya alam milik masyarakat miskin pun dirampas secara sewenang-wenang demi kepentingan pasar perusahaan.

Alexander Jebadu, dalam bagian pengantar bukunya berjudul “Drakula Abad 21”, menjelaskan, rezim ekonomi neoliberal sesungguhnya mengancam untuk menghancurkan segala-galanya: Peradaban manusia (humancivilization), martabat manusia (thedignityofhuman person), lingkungan  hidup sebagai tempat manusia bergantung secara mutlak (environment), pemerintahan kerakyatan (democracy) dan kedaulatan negara (statesovereignty).  

Tidak berlebihan bila muncul klaim bahwa sistem ekonomi berbasis neoliberalisme sebenarnya diidentikkan dengan sistem neo-kolonialisme (penjajahan baru). Pelaku utamanya ialah para penguasa (kapitalis), sedangkan objek yang dieksekusinya ialah alam. Alam dieksekusi demi memuaskan hasratnya akan keuntungan pasar.

Jika dilihat dari sisi moral, hal ini amat berkontroversial sekali dengan nilai etis karena tidak menghargai alam yang juga merupakan ciptaan lain dari Tuhan yang mesti dikonservasi. Dengan demikian, tindakan mengeksploitasi alam dapat dikategorikan sebagai bentuk penjajahan baru yang muncul di abad ke-21 ini.

Keluhan mengenai korosi ekologi akan terjadi sepanjang masa bila salah satu modusnya ialah para penganut kapitalisme yang termanifestasi melalui perusahaan-perusahaan masih mendominasi pada tataran global.

Ketika penganut kapitalisme memodifikasi sistem ekonomi neoliberal secara gradual dan tanpa kendali, maka tindakan mengeksploitasi alam juga terus terjadi sehingga pada titik tertentu menyisakan korosi ekologi yang tak berkesudahan. Terlepas dari itu, dengan mudah kita dapat membaca probabilitas-probabilitas terjadinya krisis ekologi di masa depan, mengingat karena intensitas paradigma neoliberal kian menguat.

Korosi Ekologi 

Dampak negatif neoliberalisme terhadap lingkungan hidup selalu dijelaskan dalam konteks sepak terjang bisnis perusahaan yang beroperasi di berbagai negara di belahan dunia. Untuk konteks Indonesia, misalnya, sepak terjang bisnis perusahaan yang nota bene menerapkan ekonomi neoliberal berdampak negatif terhadap lingkungan hidup. Analisis Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) pada tahun 2012 menemukan bahwa aktor utama perusak lingkungan hidup tertinggi adalah perusahaan.

Baca juga :  Merawat Ingatan Bangsa Amnesia

Operasi bisnis perusahaan pertambangan emas dan tembaga, PT. Freeport di Papua misalnya, sama sekali tidak memperhatikan dampak negatif terhadap lingkungan. Operasi perusahaan ini di hutan Erstberg telah merusak ribuan hektar hutan, mematikan beragam jenis hewan yang berhabitatkan hutan, menimbulkan pencemaran air dan menghilangkan sumber air bagi sungai Wanagon. Hal serupa kita lihat di Kalimantan dan Sumatera. Tindakan koboi ratusan perusahaan kelapa sawit dan industri kertas di kedua wilayah itu telah membawa dampak negatif bagi lingkungan hidup.

Untuk meningkatkan efisiensi, kerapkali perusahaan membakar hutan dan lahan sebagai cara untuk membersihkan lahan yang kemudian ditanami kelapa sawit. Lebih dari dua juta hutan dan lahan gambut telah terbakar dan diduga menjadi salah satu penyumbang emisi gas rumah kaca yang cukup besar bagi perubahan iklim global. Asap yang ditimbulkan dari pembakaran hutan oleh perusahaan juga berdampak  bagi kesehatan manusia.

Selain dampak konkret yang telah dipaparkan di atas, dampak lain yang tak kalah ekstrim ialah “lumpur Lapindo” yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur pada awal 29 Mei 2006. Penyebab lumpur Lapindo sendiri sempat dibahas di AAPG 2008 International Conference and Exhibition dilaksanakan di Cape Town International Conference Center, Afrika Selatan pada 2008 silam.

 Hasil akhirnya, 42 ahli geologi menyimpulkan PT. Lapindo Brantas melakukan kesalahan prosedur pengeboran sehingga mengakibatkan munculnya lumpur ke permukaan. Sedangkan faktor gempa bumi di Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum munculnya semburan lumpur hanya didukung oleh tiga geolog. Ahli lain tidak berpendapat atau menyebut semburan lumpur dipicu dua faktor, yakni kesalahan pengeboran dan gempa bumi.

Sejak kemunculannya, area yang tergenang lumpur panas dari pengeboran PT Lapindo Brantas di Sidoarjo, Jawa Timur, terus meluas. Setidaknya, lumpur menggenangi 16 desa di tiga kecamatan. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini.

Tak kurang 600 hektare lahan terendam. Rumah/tempat tinggal yang rusak akibat diterjang lumpur dan rusak sebanyak 1.683 unit. Rinciannya: Tempat tinggal 1.810 (Siring 142, Jatirejo 480, Renokenongo 428, Kedungbendo 590, Besuki 170), sekolah 18 (7 sekolah negeri), kantor 2 (Kantor Koramil dan Kelurahan Jatirejo), pabrik 15, masjid dan musala 15 unit.

Dengan melihat beberapa dampak di atas, amat jelas bahwa kebijakan ekonomi berbasis neoliberal yang dieksekusi oleh korporasi-korporasi telah menunjukkan implikasinya yang berujung destruktif sehingga fakta mengenai itu tidak bisa diselipkan dari ranah universal.

Baca juga :  Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Suatu fakta yang menampilkan betapa suram dan karatnya kosmos, sebagaimana yang terjadi dengan kondisi ekologi yang tampaknya dalam situasi chaos dan korosi. Hal ini merupakan buah dari kebijakan ekonomi yang neoliberalis dan otonom. Untuk menanggapi hal tersebut, upaya-upaya solutif dari berbagai pihak menjadi urgen, setidaknya untuk meminimalisir dan mencegah agar tidak terjadinya krisis ekologis yang masif.

Upaya-Upaya yang Mungkin

Pertama, menciptakan manusia ekologis. Manusia ekologis yang sesungguhnya adalah manusia yang ramah terhadap alam. Alam mesti dipandang sebagai ibu bumi yang tidak bisa dieksploitasi secara bebas hanya karena kepentingan pasar. Sebagai ibu bumi, alam mesti dirawat, dijaga, dilestarikan dan dikonstruksi dengan humanisme yang tinggi.

Artinya, alam dijaga sebagaimana manusia memandangnya sebagai subjek (ciptaan) yang lain dan bukan untuk diobjektifikasikan seperti menjadi medan pembangunan ekonomi yang sewenang-wenang. Hal ini menjadi mungkin jika dimulai dari kesadaran diri secara rasional dan hati nurani dari berbagai pihak.

Kedua, asas ramah lingkungan (ecologicallyfriendly). Asas ramah lingkungan artinya setiap proyek pembangunan mesti dibuat dengan tidak merusak lingkungan seperti lahan pertanian warga masyarakat, hutan lindung, hutan produksi dan konservasi. Setiap kebijakan yang diambil mesti terlebih dahulu melihat kondisi dan medan di mana pembangunan dioperasikan.

Ketiga, mempertimbangkan dampak. Artinya, sebelum beroperasi, pihak PT. mesti mengetahui secara komprehensif mengenai dampak di balik pembangunan itu. Misalnya, pembangunan itu terjamin dan tidak merugikan bagi lingkungan hidup. Namun, hal ini menjadi aktual jika pihak pengelola pembangunan memiliki kesadaran moral.

Keempat, urgensitas kehadiran dari berbagai pihak. Dalam hal ini, bisa saja gereja, pemerintah, mahasiswa, pemerhati lngkungan hidup, masyarakat umum dan lain sebagainya. Hal yang perlu dilakukan ialah membatasi, mengawasi dan bahkan memberontak kebijakan pembangunan yang berbasis neoliberal. Hal ini juga mesti didukung dengan sikap kritis yang intensif.

Pelbagai upaya yang telah digambarkan di atas menjadi hal urgen dalam meredam laju pembangunan neoliberal yang mengeksploitasi alam untuk meningkatkan profit kaum kapitalis dengan mengorbankan alam dan masyarakat kecil.

Daftar Rujukan

Eduard Salvatore da Silva, “Bumi (ini) Milik Siapa?”, Gita Sang Surya, 12:41-42, Mei-Juni, 2017.

Asmiati Abdul Malik, Politik Ekonomi Indonesia: Lanskap dan Dinamika Kontemporer (Malang: Intrans Publishing, 2020), hlm. 14.

Alexander Jebadu, Drakula Abad 21 (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020), hlm. vi.

“Neoliberalisme dan Kerusakan Lingkungan” [t.p], dalam https://www.vivatindonesia.org/single- post/2017/10/12/neoliberalisme-dan-kerusakan-lingkungan, diakses 30 Januari 2023.

Anugerah Ayu Sendari, “Penyebab Lumpur Lapindodi Sidoarjo, Sejarah dan Dampaknya”, dalam https://www.liputan6.com/hot/read/4892987/penyebab-lumpur-lapindo-di-sidoarjo-sejarah-dan-dampaknya, diakses 29 Januari 2023.

Alexander Jebadu, Dalam Moncong Neoliberalisme (Maumere: Penerbit Ledalero, 2021), hlm. vi.

Komentar

Berita Terkait

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan
Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Berita ini 38 kali dibaca

Berita Terkait

Sabtu, 14 Oktober 2023 - 22:46 WITA

Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

Berita Terbaru

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA

Berita

SD Notre Dame Puri Indah Wisudakan 86 Anak Kelas VI

Jumat, 21 Jun 2024 - 12:13 WITA

Pendidikan

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa

Jumat, 14 Jun 2024 - 10:52 WITA

Berita

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Kamis, 13 Jun 2024 - 18:26 WITA

Pendidikan

Sastra Jadi Mata Pelajaran

Rabu, 12 Jun 2024 - 20:39 WITA