Tag: Ekonomi

  • Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan

    Neoliberalisme, Krisis Multidimensi dan Transformasi Paradigma Pembangunan

    Indodian.com – Neoliberalisme merupakan sistem ekonomi paling hegemonik dewasa ini. Ia telah berekspansi ke negara-negara dunia ketiga dan bahkan telah menjadi paradigma mainstream dalam sistem pembangunan. Di Indonesia misalnya, tanpa disadari, paradigma pembangunan a la neoliberalisme sudah digencarkan sejak lama. Namun yang menjadi pertanyaanya ialah, apakah sistem ini telah membawa kesejahteraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

    Pertanyaan ini sulit dijawab mengingat relitas ambivalensi yang sering dipertontonkan neoliberalisme. Alih-alih membawa bonum commune, namun dalam praksisnya, sangat meresahkan. Tulisan ini hendak membongkar kedok sistem ekonomi neoliberalisme. Tesis yang dibangun ialah sistem ini telah membawa sejumlah krisis. Karena itu, transformasi paradigma pembangunan adalah conditio sine qua non.

    Memahami Neoliberalisme

    Sistem ekonomi neoliberalisme sejatinya merupakan bentuk baru dari sistem ekonomi kapitalis liberal klasik Adam Smith. Dalam bukunya yang berjudul The Wealth of Nation, Smith berbicara tentang masyarakat pasar. Smith melihat bahwa “pasar” dan “pembagian kerja” adalah tonggak penting yang dapat membuat masyarakat pasar menjadi lebih rasional.[1]

    Tentang pembagian kerja, Smith mengikuti John Locke. Ia menegaskan, pembagian kerja meyebabkan kemajuan sosial dalam peradaban modern. Kemajuan ini dapat dijelaskan dengan tiga fenomena:[2] Pertama, pembagain kerja meningkatkan kerajinan pada setiap pekerja khusus, yang pada gilirannya membuat kondisi hidup mereka menjadi lebih baik. Kedua, pembagian kerja menyebabkan effisiensi waktu. Ketiga, pembagian kerja mendorong munculnya sejumlah mesin baru yang digunakan untuk mempercepat proses produksi, menghemat tenaga dan mengurangi para pekerja.

    Kemudian tentang pasar, Smith bertolak dari realitas yang dialami masyarakat Skotlandia. Dalam pada itu, ia melihat bahwa masyarakat Skotlandia yang berprofesi sebagai pembuat keju awalnya mengalami kesulitan menjual hasil produksinya karena pasar masih relatif kecil. Namun ketika perdagangan antardaerah dan antarnegara mulai dibuka, tingkat produksi dan distribusi barang-barang sangat cepat. Atas dasar itu, Smith mengatakan bahwa selain pembagian kerja (spesialisasi), pasar juga merupakan faktor kedua yang mendorong terciptanya kemakmuran rakyat.[3] 

    Lantas apa yang dimaksud pasar bebas? Pemikiran Smith tentang pasar bebas menyentuh dua dimensi, yakni filosofis dan ekonomi.[4] Secara filosofis, Smith melihat pasar bebas sebagai perwujudan kebebasan kodrati manusia dalam bidang ekonomi. Setiap individu secara bebas memutuskan bagi dirinya sendiri apa yang ingin dilakukannya, dan keputusannya itu pada giliranya sebisa mungkin akan menyumbang terwujudnya suatu masyarakat yang lebih baik dan lebih makmur.[5]

    Kemudian dari segi ekonomi, Smith menegaskan bahwa perdagangan bebas akan menguntungkan setiap negara yang terlibat di dalamnya, karena perusahaan di dalam negara tidak hanya menjual barang-barang mereka di dalam negari, tetapi juga di arena internasional. Produktivitas dalam negeri akan dengan sendirinya meningkat karena dipasarkan secara luas.[6]

    Dengan argumentasi ini Smith secara tidak langsung mengkritik padangan kaum merkantilis yang menghendaki adanya pembatasan dalam perdagangan dengan pajak yang lebih tinggi untuk melindungi produsen domestik. Smith, sebaliknya mengatakan bahwa justru dengan perdagangan bebas, ekonomi dalam suatu negara akan mengalami keuntungan, karena dapat menjual barang-barang dengan jumlah yang banyak, membangun spesialisasi kerja yang terfokus, dan memproduksi barang dengan tenaga kerja yang sama.[7]

    Logika ekonomi kapitalis liberal Smith pada gilirannya diterima khalayak umum dan dijadikan sebagai sistem ekonomi dominan. Namun apesnya, dalam praksis, sistem ekonomi pasar bebas yang mengusung moto “kompetisi dan laissez-faire” telah memicu lahirnya bencana berskala gigantis, yakni keruntuhan ekonomi yang melanda Eropa Barat dan Amerika Utara, antara tahun 1920-an hingga tahun 1930-an, yang juga memicu lahirnya perang dunia II.[8]

    Vis a vis realitas tersebut, jajaran para penguasa Amerika Serikat dan Eropa mencoba merestrukturisasi bentuk-bentuk negara dan relasi internasional untuk mencegah terjadinya bencana-bencana serupa. Dalam pada itu, mereka mencoba membentuk tatanan ekonomi baru yang disebut New World Economic Order yang ditandai dengan berdirinya Bank Dunia, IMF dan GATT/WTO.[9] Tujuannya ialah untuk menciptakan ekonomi dunia yang seadil-adilnya supaya di masa depan tidak terjadi lagi perang besar di pelanet bumi.[10]

    Akan tetapi pasca-pembentukkan tata ekonomi baru, benturan antaranegara (Blok Barat vs Blok Timur) kembali terjadi. Benturan antara keduanya kemudian menciptakan perang dingin dari tahun 1946 hingga keruntuhan Uni Soviet tahun 1989.[11] Pasca-keruntuhan Uni Soviet, secara diam-diam, sistem ekonomi kapitalis liberal dihidupkan kembali dengan nama baru neoliberalisme. Neo artinya bentuk baru, dan liberal artinya kebebasan.

    Neoliberalisme, dengan demikian, adalah kebebasan bentuk baru. Kebebasan bentuk baru yang dimaksud ialah kembalinya kekuasaan pasar (fundamentalisme pasar). Kebebasan individu di arena pasar tidak boleh diintervensi oleh negara. Intervensi negara, seturut kacamata Friedrich A. Hayek, dianggap membahayakan pasar dan kebebasan politik.[12] Karena itu, harus ditolak dan dibendung supaya sirkulasi modal dan keuntungan terus meningkat. Sistem baru ini kemudian dijadikan sebagai kebijakan ekonomi politik oleh Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara industri maju lain.

    Neoliberalisme dan Krisis Multidimensi

    Bangkitnya sistem ekonomi neoliberalisme telah membawa sejumlah perubahan besar. Perubahan tersebut tidak hanya dirasakan oleh negara-negara Barat (industri maju), tetapi juga oleh negara-negara dunia ketiga. Akselerasi pembangunan di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia misalnya, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menghegemoni dan mendominasi ruang-ruang hidup manusia.

    Namun demikian, sistem ekonomi neoliberalisme yang diterima sebagai paradigma mainsream dalam sistem pembangunan bukan tanpa implikasi. Sistem ini ternyata turut membidani lahirnya persoalan bersklala gigantis di negara-negara dunia ketiga. Alih-alih mengejar ketertinggalan, memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan, namun dalam realitasnya, sistem ekonomi neoliberalisme ternyata menelurkan sejumlah krisis.  

    Pertama, krisis ekologi. Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme turut memicu lahirnya masalah ekologis. Bumi tempat tinggal segala mahluk, dewasa ini, menghadapi tantangan yang cukup serius. Bumi semakin hancur akibat eksplorasi dan eksploitasi yang melampaui batas. Logika neoliberalisme, “akumulasi keuntungan sebanyak-banyaknya” telah mendestruksi tatanan ekosimtem alam. Demi mencapai keuntungan besar, perut bumi dirobek tanpa memperhitungkan kehidupan jangka panjang.

    Kedua, krisis budaya.  Noam Comsky ketika diminta menjelaskan neoliberalisme oleh Robert McChesney, mengatakan neoliberalisme, alih-alih menghasilkan ikatan kewargaan, ia menghasilkan konsumerisme. Alih-alih menghasilkan tatanan kemasyarakatan, ia menghasilkan pusat perbelanjaan. Hasil akirnya ialah masyarakat tercerabut dari akar dan individu-individu yang kehilangan moral, mereka secara sosial tidak berdaya.[13]

    Afirmasi Comsky ini hemat penulis bukan bertolak dari sesuatu yang abstrak melainkan dari realitas-empiris. Neoliberalisme memang menyebabkan kemelut, khususnya menyangkut moralitas. Hal ini, sangat relevan dalam konteks Indonesia. Kepribadian bangsa semakin merosot lantara tatanan nilai-nilai budaya yang menjiwai hidup bangsa Indonesia semakin tergerus oleh geliat neoliberalisme.

    Ketiga, krisis politik. Kebijakan pembangunan yang mengikuti paradigma neoliberalisme juga turut berkontribusi dalam memberangus citra politik. Marwah politik menjadi buram lantaran politik disulap mejadi ladang basah yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi segelintir orang. Ranah politik akhirnya disesaki kaum oligarki yang korup, egois, dan opurtunis. Mereka berlomba-loba membangun kerajaan pribadi dengan mengais sumber-sumber kekayaan negara. Alhasil politik kehilangan essensinya yakni, bonum commune. 

    Keempat, krisis ekonomi. Salah satu dampak gigantis dari kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terjadinya krisis ekonomi. Negara Indonesia, dalam 25 tahun terakhir, menurut Sry Muliyani Indrawati, mengalami tiga kali krisis ekonomi, yakni pada tahun 1997-1998 atau dikenal dengan nama krisis moneter, krisis finansial global pada tahun 2008 dan di tahun 2020.[14] Rentetan krisis ini, tidak terlepas dari geliat sistem ekonomi neoliberalisme yang sudah menjadi paradigma dalam pembangunan (ekonomi politik). Kebijakan ekonomi politik yang bercorak neoliberal telah membawa keresahan karena dampak yang ditimbulkannya. Masyarakat akar rumput mengalami penderitaan lantaran terjadi defisit dan disparitas ekonomi yang sangat tajam.

    Kelima, krisis kemanusiaan. Dampak paling terasa akibat kebijakan yang mengikuti paradigma sistem ekonomi neoliberalisme adalah terhadap martabat manusia. Kejahatan terhadap kemanusiaan dewasa ini tidak hanya dilakukan oleh kekuasaan politik, tetapi juga oleh kekuasaan bisnis atau pasar yang saat ini menghegemoni segala bidang kehidupan manusia. Dalam bidikan kaca mata neoliberalisme, manusia bukan subjek pembangunan, melainkan objek pembangunan. Implikasinya martabat dan hak-hak asasi manusia (khususnya masyarakat akar rumput atau masyarakat adat) dilecehkan. Masyarakat akar rumput bak robot, yang mudah dikendalikan, ditipu, dan dieksploitasi.

    Signifikansi Transformasi Paradigma Pembangunan

    Menyadari besarnya dampak destruktif paradigma pembangunan a la neoliberalisme, maka Negara Indonesia perlu melakukan upaya transformasi paradigma kebijakan pembangunan, yakni dari neoliberalisme ke paradigma Pancasila. Pancasila sejatinya merupakan dasar, pandangan hidup, dan ideologi Negara Indonesia.

    Sebagai dasar, Pancasila berfungsi sebagai fondasi bagi berdirinya bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian, sebagai pandangan hidup, Pancasila berfungsi sebagai kompas atau petunjuk arah bagi bangsa Indonesia dalam menjalani aktivitasnya di setiap dimensi kehidupan, baik sosial, politik, budaya maupun ekonomi. Sementara, sebagai idiologi, Pancasila berfungsi untuk mendeterminasi masa depan Negara Indonesia.

     Peran krusial Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mesti diakomodasi. Karena itu, Pancasila seyogianya menjadi paradigma dalam sistem pembangunan, baik dalam kancah lokal maupun nasional. Founding fathers, sejak awal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, mengafirmasikan bahwa Pancasila sejatinya merupakan paradigma pembangunan yang ideal dan relevan untuk Indonesia sebab ia berorientasi pada bonum commune.

    Senada dengan itu, Aleksander Jebadu, dalam bukunya, menjelaskan, sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi campuran, sistem demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi jalan tengah di antara dua sistem yang saling berseberangan satu sama lain, yakni kapitalis liberal Adam Smitt yang mengadopsi nama baru sistem ekonomi neoliberalisme dan sistem ekonomi sosialis/komunis.[15] Namun berbeda dengan sistem ekonomi neoliberalisme – yang menghendaki liberalisasi pasar tanpa kendali negara – dan sistem ekonomi sosialis/komunis – yang kebijakan perekonomiannya dimonopoli negara – sistem ekonomi Indonesia (sistem ekonomi Pancasila) adalah sistem ekonomi kesejahteraan yang mengakomodasi kepentingan semua warga negara.[16]

    Selain mengakomodasi bonum commune, sistem ekonomi Pancasila juga mengakomodasi pembangunan yang memperhitungkan kondisi alam, budaya, dan kemanusiaan. Karena itu, bangsa Indonesia tidak akan mengeluh mengenai ketidakadilan karena pembangunan mulai berorientasi pada bonum commune. Alam pun tidak akan menangis dan memuntahkan virus yang mematikan (seperti virus corona), sebab orang mulai memperhitungkan orientasi pembangunan berkelanjutan, suistinable development. Martabat manusia pun tetap pada fitrahnya, sebab manusia tidak lagi dilihat sebagai objek pembangunan, tetapi sebagai subjek pembangunan. Nilai-nilai budaya pun akan tetap terjaga dengan baik, karena spirit Pancasila mengakomodasi kekayaan khazanah budaya lokal dan nasional.

                Sistem ekonomi neoliberalisme, yang dewasa ini telah menjadi paradigma dominan dalam sistem pembangunan sesungguhnya hadir dengan wajah ambivalen. Alih-alih memberantas kemiskinan dan kebodohan, mengakselerasi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan bersama, namun dalam realitas empiris, sangat meresahkan karena telah menghalalkan segala cara. Demi mencapai effisiensi dan profit, semua hal dijustifikasi. Implikasinya muncul sejumlah krisis dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Di tengah realitas ini, upaya transformasi paradigma pembangunan: dari paradigma neoliberalisme ke Pancasila adalah sesuatu yang niscaya demi mewujudkan tatanan hidup yang lebih baik, beradab, dan bermartabat.

    Daftar Rujukan


    [1]Mikael Dua, Filsafat Ekonomi Upaya Mencari Kesejahteraan Bersama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 43.

    [2]Ibid., hlm. 45.

    [3]Ibid., hlm. 51.

    [4]Ibid.

    [5]Ibid., hlm. 52.

    [6]Ibid.

    [7]Ibid., hlm 53.

    [8]Aleksander Jebadu, Drakula Abad 21 Membongkar Kejahatab Sistem Ekonomi Pasar Bebas Tanpa Kendali Sebagai Kapitalisme Mutakhir Berhukum Rimba Dan Ancamannya Terhadap Sistem Ekonomi Pancasila (Maumere: Penerbit Ledalero, 2020). 176.

    [9]Ibid.

    [10]Ibid.

    [11]Ibid., hlm. 287.

    [12]Coen Husain Pontoh dan Arianto Sangadji, Neoliberalisme: Konsep dan Praktiknya di Indonesia (Pustaka IndoPROGRESIF, 2021), hlm. 121.

    [13]Bagus Pradana, “Mematahkan Cengkeraman Drakula Neoliberalisme”, dalam https://mediaindonesia.com/ weekend/291649/mematahkan-cengkeram-drakula-neoliberalisme, diakses pada 17 Desember 2021.

    [14]https://newssetup.kontan.co.id/news/cerita-sri-mulyani-soal-tiga-krisis-ekonomi-dan-jurus-untuk-menanga ni?page=all.> diakses pada 16 Desember 2021.

    [15]Alexander Jebadu, op.cit., hlm. 293.

    [16]Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 1, bahwa “perekonomian disusun berdasarkan usaha bersama dengan asas kekeluargaan. Bdk. Republik Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, Pasal 33 .

  • Perlunya Keindahan dalam Ekonomi

    Perlunya Keindahan dalam Ekonomi

    Indodian.com – Ekonomi memerlukan keindahan. Keindahan berarti suatu tindakan berdasarkan realita. Tanpa keindahan, ekonomi hanya menjadi akuntansi dan keuangan. Lebih parah lagi hanya akan menjadi suatu kebijakan untuk publik. Apakah keindahan sudah ditinggalkan dalam pengelolaan ekonomi negara kita?

    Prinsip ekonomi yang layak dipertimbangkan adalah yang tidak terperosok dalam kebijakan dan delusi tata negara terpusat serta dapat menjelaskan pasar dan kepemilikan pribadi sehingga dapat beresonansi. Ekonomi tidak berdiri terpisah dan terlepas dari konsekuensi budaya akibat kebijakan ekonomi. Hal ini dapat membantu kita memahami keburukan yang tumbuh di sekitar kita.

    Ada 2 peristiwa ekonomi Indonesia di tahun 2022 yang menjadi sorotan kami, yaitu peristiwa G20 di Bali dan peristiwa rapat kerja nasional Optimalisasi Pendapatan Daerah di Riau.

    Peristiwa G20 di Bali 15-16 Nopember 2022

    Indonesia dengan semangat terlalu  tinggi membuat isu perubahan iklim dan energi hijau menjadi prioritas. Indonesia telah mengumumkan bahwa akan memenuhi net zero emission maksimal pada tahun 2060 dan untuk ini membutuhkan biaya sebesar Rp 77.000 triliun.

    Selama lima tahun terakhir, rata-rata belanja iklim sebesar Rp 89,6 triliun atau 3,9 persen dari alokasi APBN per tahun. Menteri Keuangan juga mengungkapkan bahwa anggaran pemerintah hanya dapat menutupi 34 persen dari total kebutuhan pendanaan iklim sebesar Rp3.461 triliun atau sekitar Rp266 triliun per tahun. Untuk mencapai ini maka akan diberlakukan subsidi, mandat, dan berbagai pajak agar energi yang baru bisa berkembang.

    Proposal ini sangat mahal dan masyarakat perlu menyadari bahwa upaya hanya untuk menjaga suhu bumi di angka 1,5 derajat celcius dan ‘memusuhi’ partikel gas karbon yang sangat kecil ini apakah sudah sepenuhnya memasukkan biaya peluang ekonomi dari mengandalkan jenis energi yang kurang nyaman dan harganya menjadi mahal.

    Dengan membuat energi lebih mahal untuk rumah tangga dan bisnis dapat menimbulkan perselisihan sosial. Kerusuhan yang terjadi secara mingguan di Paris yang diakibatkan penentangan terhadap pajak karbon menggambarkan fenomena ini.

    Kecepatan respon Indonesia dengan isu perubahan iklim yang diberikan oleh kelompok orang luar ini cukup mengherankan. Di tahun 2009 negara kita membuat target akan menurunkan emisi sebesar 26%, naik menjadi 29% di tahun 2016, dan 31,89% di tahun 2030, bahkan menawarkan target menjadi 43,2% bila ada bantuan asing. Apakah isu penting yang berasal dari dalam negeri ada yang lebih berguna dan secepat ini meresponnya kita masyarakat perlu juga memikirkannya.

    Proposal hijau ini hendaknya tidak sekedar ‘wish list’, daftar keinginan sosial dan ekonomi dari kelompok dengan label harga yang mahal dan akan menambah utang pemerintah yang sudah sebanyak Rp 7420 trilyun (per September 2022) serta menaikkan biaya energi dan transportasi masyarakat Indonesia. Energi untuk masyarakat Indonesia haruslah energi yang melimpah, andal, dan murah.

    Rapat Kordinasi Nasional Optimalisasi Pendapatan Daerah di Riau 8 Desember 2022

    Bupati Kepulauan Meranti M. Adil mengemukakan kekecewaannya terhadap pendapatan daerah yang diterima dari bagi hasil pusat yang dinilainya tidak adil. Upaya untuk menanyakan secara langsung (bertemu on site) tidak dipenuhi oleh Kementerian Keuangan, hanya disarankan untuk bertemu secara daring.

    Kementerian Keuangan langsung dengan cepat merespon dan mengatakan bahwa penerimaan pusat dari kabupaten Kepulauan Meranti lebih kecil dari pengeluaran pusat yang diberikan kepada kabupaten Meranti.

    Total belanja negara untuk Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 1,1 trilun. Angka itu meliputi Rp 124,64 miliar dana subsidi atau kompensasi, Rp 118 miliar untuk belanja kementerian dan lembaga, dan Rp 861,2 miliar untuk dana transfer ke daerah atau TKD. Sementara total penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 453,97 miliar. Angka itu meliputi penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 323,112 miliar dan penerimaan perpajakan sebesar Rp 130,858 miliar. Sehingga selisih belanja negara dan penerimaan negara dari Kabupaten Kepulauan Meranti sebesar Rp 649,921 miliar. 

    Bila dibandingkan dengan anggaran pemerintah untuk kegiatan G20 di Bali maka anggaran untuk masyarakat kabupaten Kepulauan Meranti yang memiliki kemiskinan ekstrim sebanyak 25,68% lebih sedikit sekitar Rp 20 milyar dimana anggaran yang dihabiskan untuk G20 ada sebesar rp 674 milyar. Relasi pusat dan daerah adalah hal yang sangat penting untuk kemakmuran ekonomi wilayah. Pemerintah pusat sering dianggap sebagai Robinhood, mengambil kekayaan daerah dan membagi-bagikannya kepada daerah lain.

    Keindahan Ekonomi

    Kebebasan untuk makmur bukanlah hadiah yang diberikan kepada masyarakat di daerah oleh pemerintah pusat, tetapi hak yang menjadi milik masyarakat oleh hukum Tuhan dan alam. Solusi untuk masalah di kabupaten Kepulauan Meranti dan berbagai wilayah lainnya di negara kita tidak akan ditemukan dalam campur tangan yang lebih banyak oleh kementerian.

    Namun dapat ditemukan dalam suasana kepemilikan sumber daya milik daerah yang terjamin dan perdagangan bebas antar daerah. Tanpa pembelaan moral yang konsisten terhadap kebebasan daerah, pengikisan tanpa henti terhadap kepemilikan sumberdaya daerah tidak dapat dihindari. Tujuan dan rancangan berdirinya pemerintahan yang sah adalah untuk menjamin dan memperluas hak kepemilikan sumberdaya daerah sehingga daerah dapat menjadi makmur.

    Sebagian besar kesalahan bernegara sebenarnya karena kegagalan kita untuk mengikuti Konstitusi. Konstitusi itu, jika kita menginginkannya, dapat memberikan panduan yang diperlukan untuk kita. Konstitusi mengatakan tujuan nasional adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum. Oleh sebab itu, jika ada tindakan legislatif yang bertentangan dengan Konstitusi maka akan menjadi tugas pengadilan yudisial untuk membatalkan undang-undang tersebut.