Menjaga Warisan Nenek Moyang dengan Cara Kekinian

- Admin

Selasa, 1 Maret 2022 - 09:30 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Zaman boleh berubah, namun nilai – nilai luhur yang mencitrakan jati diri tidak boleh hanyut terbawa arus perubahan itu. Semangat itulah yang terus dijaga oleh Vianney Zhaka, seorang pemuda asal Desa Sikka, Kab. Sika yang getol mengangkat kembali wastra tenun ikat Sikka yang kaya akan nilai dan filosofi.

Indodian.com – Di tengah ramainya euforia dan antusiasme terhadap kain tenun nusantara dengan berbagai modifikasi, pemuda yang akrab disapa Vian ini justru berupaya menjaga warisan budaya itu dengan segala orisinalitasnya. 

Kecintaanya terhadap ikat tenun sudah dia rasakan sejak duduk di bangku sekolah menengah, namun Vian belum banyak tahu, apa yang bisa dia lakukan untuk bisa merawat dan mengangkat kembali filosofi kain tenun yang hampir pudar itu. 

Meski begitu, dia punya cara sederhana untuk kembali mengangkat identitas kain tenun yang khas dari daerah asalnya. Vian bercerita, saat masa kuliah dulu, dia sempat membuat sepatu berbahan dasar kain tenun dan mengenakannya untuk bepergian. Kebiasaan itu pun terbawa hingga saat ini, saat wastra Indonesia diminati banyak kalangan.    

Baca juga :  Kisah Seorang Istri yang Merawat Suami Gangguan Jiwa dan Dipasung Selama 12 Tahun

Para perajin tenun pun gemar  memodifikasi motif dan coraknya agar  cocok dengan selera pasar. Proses produksi yang ditunjang oleh alat produksi yang lebih canggih, membuat kain tenun bisa dihasilkan dalam jumlah yang lebih banyak  dengan waktu yang relatif lebih cepat. Hal itulah yang kemudian membuat harga kain tenun yang dijual di pasaran menjadi lebih murah. Tak hanya itu, filosofi atau cerita tentang corak tenun pun luput dari perhatian.

Fenomena itu lantas memanggil kegelisahan Vian yang lahir dan dibesarkan dari keluarga perajin tenun. Ada kekhawatiran yang mengusik hatinya manakala cerita dan nilai yang terkandung dalam setiap untaian benang tak lagi diingat oleh generasi muda saat ini maupun kelak. 

Baca juga :  Belajar dari Ketajaman Pendengaran Kaum Difabel

Kondisi ini pun semakin menantang lantaran masih sangat jarang terlihat adanya dokumentasi tertulis yang mengisahkan tentang tenun ikat Sikka, sehingga mereka hanya mengandalkan orang tua jika ingin mengenal lebih dalam tentang wastra ini. Sayangnya, tidak semua orang tua memiliki kesadaran untuk menjaga mahakarya ini ke anak cucu mereka. 

Padahal, satu corak tenun Sikka saja memiliki banyak kisah yang tercipta sejak zaman nenek moyang. Kisah – kisah itu tak lepas dari gambaran kehidupan masyarakat Sikka, identitas, dan jati diri. Dengan melestarikan wastra ini, kita pun ikut menjaga sebuah identitas  Sikka yang otentik dan luhur, serta siap mewarnai keberagaman di Indonesia.

Contoh motif tenun Sikka di antaranya adalah motif kelang jentiu atau motif yang sudah diproduksi oleh nenek moyang sebelum penyebaran agama masuk ke pulau Flores. Warna dominan dalam motif tersebut didapat dari akar mengkudu dan campuran daun loba. Tampak juga motif abstrak 

Baca juga :  Musisi Difabel Mata ini Ingin Memiliki Keyboard dan Membuka Kursus Musik

Ini seperti disyairkan dalam sebuah lagu berbahasa daerah Sikka, Inat gemu bunga, met dalawarni. E dala reta waeng mawarani wawa rahang yang artinya, dengan kepintaran dan baik budi pekerti seperti seorang ibu, akan diturunkan juga pada anaknya,” ujar Vian. 

yang berbentuk bintang Kejora. Menurut Vian, Bintang Kejora dipercaya masyarakat sebagai pencegah malapetaka dan penerang bagi keluarga. 

Motif yang tampak dalam gambar, lanjut Vian, merupakan hasil kreativitas perajin tenun yang juga menggambarkan kondisi alam serta hidup keseharian para perajin tenun di Desa Sikka.  

Komentar

Berita Terkait

Milenial Promotor Literasi Digital dalam Spirit Keberagaman Agama
Kasus Pasung Baru di NTT Masih Saja Terjadi
Seandainya Misa Tanpa Kotbah
Gosip
Sorgum: Mutiara Darat di Ladang Kering NTT
Tanahikong, Dusun Terpencil dan Terlupakan di Kabupaten Sikka              
Qui Bene Cantat bis Orat (Tanggapan Kritis atas Penggunaan Lagu Pop dalam Perayaan Ekaristi)
Namanya Yohana. Yohana Kusmaning Arum
Berita ini 415 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA