Memahami Term ‘Pelacur’

- Admin

Jumat, 19 November 2021 - 11:45 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sejarah Singkat Pelacuran 

Fenomena pelacuran bukanlah kenyataan baru. Pelacuran sudah ada sejak beratus-ratus tahun yang lalu. Praktik pelacuran tidak terlepas dari pergolakan politik, agama, ekonomi, dan budaya manusia dari zaman ke zaman. Dalam budaya Yunani Kuno, pelacur umumnya dikenal dengan sebutan “pornoi”. Di samping itu, sebutan untuk pelacur Yunani kuno juga adalah “hierodouli”.

“Hierodouli” adalah para pelacur kuil. Disebut pelacur kuil, lantaran hasil dari kerjanya disumbangkan kepada pihak kuil Aphrodite dengan harapan akan mendapat imbalan dari para dewi. Menarik bahwa motivasi melacur di zaman Yunani kuno sangat religius. Mereka melacurkan diri untuk mendapat “anugerah” dari Yang Transenden.

Dalam kebudayaan Babilonia kuno pun terdapat praktik pelacuran. Bahkan dalam budaya Babilonia kuno, pelacur termasuk profesi para perempuan terdidik. Sebab, satu-satunya profesi yang dengan mudah memperoleh kekayaan di zaman itu adalah dengan melacurkan diri. Pelacur dalam zaman Babilonia kuno disebut “kizrete”. Para “kizrete” bahkan disanjung-sanjung sebagai wanita terhormat.

Di Jepang, para pelacur diperlakukan secara istimewa dengan menempatkan mereka pada lokasi yang bernama “Geisha”. Lain halnya di Yunani, Jepang, dan di babilonia, pelacur di Romawi dipandang sangat negatif. Sebab, keberadaan mereka dianggap berbahaya bagi anak-anak. Pihak kekaisaran membuat hukuman yang tegas terhadap pelacur yang berkeliaran di sekitar wilayah permainan anak-anak. Dalam budaya India Kuno, para pelacur disebut “khumbadasi”. Mereka datang dari kaum kelas rendah. Opsi hidup mereka hanya dua: menikah atau menjadi pelacur.

Baca juga :  Apa Kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?

Namun perlu diketahui bahwa pelaku pelacuran dalam beberapa budaya kuno di atas sama sekali tidak terbatas pada kaum perempuan. Dalam budaya Yunani kuno, ada seorang filsuf yang pada masa mudanya dipaksa menjadi seorang pelacur. Dia adalah Phaedo dari Elis. Ia kemudian bertemu dengan Sokrates dan selanjutnya menjadi seorang filsuf.

Pelacuran lelaki berkembang dengan pesat di Amerika Serikat sejak abad ke-17. Meskipun harus diakui bahwa kebanyakan pelacur di zaman itu didominasi oleh kaum perempuan. Hal ini berangkat dari pandangan zaman yang sering kali menempatkan kaum perempuan sebagai pemuas birahi lelaki. 

Barulah pada perang dunia II, pelacuran berkembang secara masif di Eropa. Kebanyakan dari para pelacur ialah para wanita yang berniat memenuhi kebutuhan ekonomi dengan menjajakan tubuh mereka kepada para tentara. Tercatat, sekitar 600 wanita dikirim untuk menjadi pelacur yang memuaskan hasrat seks para tentara Amerika Serikat. Akibatnya, banyak tentara yang terkena penyakit kelamin.

Pelacuran di Indonesia

Pelacuran di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan. Raja adalah seorang yang memiliki kekuasaan mutlak. Dengan embel-embel kesetiaan, para bangsawan biasanya menyerahkan puteri mereka untuk menjadi selir sang raja. Para selir raja biasanya didistribusi dari daerah yang dikenal memiliki para gadis yang cantik dan molek.

Baca juga :  Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?

Disinyalir, ada beberapa daerah di Indonesia yang menjadi penghasil selir terbaik untuk kerajaan, di antaranya Indramayu, Karawang, Jepara, Pati, Blitar, Malang, Banyuwangi, Lamongan, Grobogan dan Wonogiri, dan Kuningan. Kecamatan Gabus Wetan di Indramayu dikenal sebagai tempat dengan produk gadis terbanyak untuk dikirim menjadi selir sultan Cirebon.

Jumlah selir sering kali dikaitkan dengan wibawa dan harga diri sang raja. Semakin banyak selirnya, semakin ia dianggap sebagai seorang raja yang hebat dan kuat. Bahkan, selir yang banyak dianggap sebagai sebagai kejayaan spiritual. Rupanya kepentingan politis juga mewarnai kecenderungan kebanyakan raja memperbanyak selir.

Dalam kerajaan Mataram misalnya, para gadis dianggap sebagai upeti kepada sang raja. Di kerajaan Bali, seorang janda yang tidak mendapat dukungan keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika ia tidak diterima sang raja, sang janda akan dikirim keluar kota untuk menjadi seorang pelacur. Lalu, hasil kerjanya diserahkan secara teratur kepada pihak kerajaan.

Baca juga :  Misoginis Si “Pembunuh” Wanita

Pelacuran di Indonesia berkembang secara sistematis sejak zaman kolonial. Di zaman kolonial, terdapat banyak perempuan Indonesia yang bekerja sebagai pemuas kebutuhan seksual para serdadu dan pedagang yang datang dari luar negeri. Pada 1852, pekerja seksual disebut “perempuan publik”. Para “perempuan publik” di kala itu perlu mengontrol kondisi kesehatannya secara rutin. Jika sang perempuan terdiagnosa penyakit kelamin, maka perempuan tersebut akan dibawa ke sebuah lembaga yang bernama “Inrigiting voor Zieke Publike Vrouwen”. Lembaga ini secara khusus menangani “perempuan publik” yang terdiagnosa penyakit kelamin. 

Aktivitas pelacuran di Indonesia meningkat secara drastis sejak abad ke-19. Hal ini dipengaruhi oleh pembenahan hukum agraria pada 1870, di mana negara jajahan memberi ruang terhadap penanaman modal swasta. Perluasan area perkebunan di Jawa Barat, perkembangan industri di Jawa Tengah dan Jawa Timur, pembangunan perkebunan di Sumatera, dan pembangunan jalan raya dan rel kerata api menimbulkan migrasi pekerja lelaki secara besar-besaran.

Situasi ini dimanfaatkan oleh pemilik modal untuk mendirikan tempat prostitusi di sekitar stasiun kereta api yang kemudian dapat memuaskan kebutuhan seksual para pekerja. Dapat dipahami kemudian mengapa kebanyakan tempat prostitusi di Indonesia umumnya terletak di sekitar stasiun kereta api. 

Komentar

Berita Terkait

Apa Kabar Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?
Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual
Misoginis Si “Pembunuh” Wanita
Perempuan Korban Pelecehan Seksual Cenderung Bungkam, Mengapa?
Berpisah Dengan Pacar Toxic Bukanlah Dosa
Bagaimana Peran Media Dalam Melawan dan Menghapuskan Kekerasan Terhadap Anak?
Jejak Pelayanan Transpuan di Gereja Maumere
Perempuan, Iklan dan Logika Properti
Berita ini 625 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Kamis, 13 Juni 2024 - 18:26 WITA

SMP Notre Dame Wisudakan 70 anak Kelas IX

Jumat, 17 Mei 2024 - 17:05 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Menggelar Diskusi AI dan Masa Depan Filsafat

Kamis, 25 April 2024 - 00:16 WITA

Sejumlah Catatan Kritis Pers dan Warganet terhadap Amicus Curiae dan Dissenting Opinion dalam Putusan MK

Selasa, 23 April 2024 - 22:42 WITA

Prodi Ilmu Pemerintahan Unwira Selenggarakan Seminar Hari Kartini

Selasa, 13 Februari 2024 - 13:56 WITA

Peredaran Hoaks Pemilu 2024 Masih Besar

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA

Politik

Menanti Keberanian PDI Perjuangan Berada di Luar Pemerintahan

Selasa, 25 Jun 2024 - 08:31 WITA