Indodian.com – Pada 5 Oktober 2022, Merdeka.com menerbitkan berita berjudul: “Istilah ‘Kaum Rebahan’ Sudah Basi di China, Kini Muncul Lagi Tren Baru”. Tren baru yang dimaksud ialah bailan atau membiarkan membusuk (letting it rot). Bailan lebih dari sekadar rebahan. Bailan merupakan reaksi anak-anak muda China terhadap tekanan sosial yang meningkat dan ekonomi di China yang sarat dengan persaingan yang ketat, dan bebas bersaing.
Akibatnya, para pemuda mencoba tidak berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, meninggalkan pekerjaan, menunda penyelesaian kerja tugas, dan lebih memilih bailan. Ketika dunia berjalan tak terkendali, para pemuda mengobarkan slogan allowing things to rot/ letting it rot.
Bailan merupakan reaksi individual terhadap tekanan dari luar. Bila tren ini menjadi gerakan massa, bukan hanya berdampak buruk pada pertumbuhan ekonomi di China, melainkan semua bidang kehidupan―bahkan kehidupan agama, pendidikan, kebudayaan, dan ekonomi-politik internasional, termasuk Indonesia. Meskipun tidak sama, namun kasus seperti ini pernah terjadi di Eropa pada 2013 silam perihal program jaminan pemuda Uni Eropa dalam rangka mengatasi tingginya pengangguran kaum muda di bawah 25 tahun. Namun demikian program ini menghadapi dilema dan dipandang bukan sebagai solusi yang tepat.
Ketakterkendalian seseorang masuk ke dalam lingkaran setan bailan (membiarkan membusuk dengan sendirinya) tentu saja bertolak belakang dengan ketakterkendalian dunia luar dirinya (runaway world). Alih-alih membiarkan membusuk, seseorang terjebak dalam egoisme, individualisme, dan ketinggalan truk Juggernaut yang tak terkendali. Untuk itu kita perlu mendalami gejala ketakterkendalian individu (unstoppable individu) dan ketakterkendalian dunia (runaway world).
Unstoppable Individu dan Runaway World
Sia Kate Isobelle Furler, penyanyi asal Australia yang lahir pada 18 Desember 1975 mampu mengendalikan sementara ketakterkendalian manusia. Pada Januari 2016, Sia dan Christopher Braide menulis lagu “Unstoppable”, yang diproduseri oleh Jesse Shatkin. Berikut kutipan lirik Unstoppable tersebut: I’m a Porsche with no breaks/ I’m invincible/Yeah, I win every single game/ I’m so powerful/ I don’t need batteries to play/ I’m so confident, yeah, I’m unstoppable today/ Unstoppable today, unstoppable today. Sia tidak hanya berhasil menciptakan kejutan, tetapi memberikan makna terdalam atas ketakterkendalian manusia.
Ketakterkendalian disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Menurut Sia, ketakterkendalian dilahirkan dan dikendarai oleh egoisme, individualisme, pengebalan diri, dan percaya diri yang berlebihan [how strong how I am… I’m invincible] (faktor internal). Sementara itu, menurut Anthony Giddens (2004:18), ketakterkendalian individu terjadi karena ketakterkendalian dunia luar atau runaway world (faktor eksternal).
Runaway world diciptakan oleh kelompok kapitalis (ekonomi) dan penguasa (politik). Kapitalis dan penguasa politik menciptakan ketidaktentuan atau manufactured uncertainty. Ketidaktentuan ini tidak ditimbulkan oleh alam, tetapi oleh manusia sendiri berkat teknologi yang diciptakannya. Misalnya, perusakan lapisan ozon, polusi udara, limbah, pemanasan bumi, sampah, desertifikasi, dan pembabatan hutan tanpa kendali (Anthony Giddens,1994:4).
Giddens (1990:151) menggambarkan dunia modern dengan istilah “Juggernaut” atau truk besar yang meluncur tanpa kendali. Menurut Giddens masyarakat sekarang tidak dapat melarikan diri dari ketidaktentuan ini, dan tidak ada masyarakat yang sanggup mengendalikan Juggernaut, yang meluncur tanpa kendali ini. Giddens menggunakan istilah Juggernaut untuk menggambarkan suatu tahap lanjut dari modernitas yang disebut modernitas yang radikial, tinggi, atau mutakhir―tidak dijelaskan di sini.
Ketakterkendalian hari ini menimbulkan ketidaktentuan masa depan. Ketakterkendalian yang sengaja diciptakan oleh kelas kapitalis dan penguasa politis memiliki dampak besar bagi perkembangan individu. Sekalipun seseorang bercita-cita mengubah realitas yang disamarkan, ia tidak memiliki kekuatan/modal (uang, kuasa, dan senjata) untuk mengonsolidasi dan memobilisasi orang-orang secita-cita dengannya.
Kekuatan/modal intelektual dan idealisme tidak cukup mengubah realitas yang disamarkan atau yang dimanipulasi. Ketika realitas yang disamarkan/yang dimanipulasi tidak dipersoalkan, apakah yang dilakukan oleh masyarakat yang tidak bermodal/berkekuatan?
Dilema Balian
Dunia berlari atau dilarikan tanpa kendali. Hal ini tampak dalam persaingan tanpa kendali dalam pasar bebas. Siapa yang bermodal besar, jaringan relasi bisnis luas, negosiasi dengan pemerintah dan pemimpin agama lincah, ia mampu mengendalikan, mengatur, meninabobokan dan menundukkan dunia. Ketika dunia berlari dan/atau dilarikan begitu cepat, tidak sedikit masyarakat kelas menengah ke bawah tidak mampu ikut berlari atau berkompetisi. Mereka dilema; atau ketinggalan kereta dan mati diserang kelaparan, atau ikut berlari tetapi mati di tengah kompetisi, atau ikut berlari sampai ke puncak namun dikepung oleh utang yang tak terbilang.
Para kapitalis dan penguasa politik tidak peduli dilema ini, sebab mereka dapat membeli dan menangani dilema, sakit, penyakit, dan risiko sebesar apa pun dalam waktu sesingkat-singkatnya. Sementara itu, apakah masyarakat kelas menengah ke bawah dan kaum muda memutuskan tidak ikut kompetisi, toh dunia tetap berlari juga? Dilema ini ditanggapi secara variasi oleh masyarakat pada zamannya. Namun, apakah mereka menyerah pada fatalisme, menunggu nabi maut menjemput, dan membiarkan dunia terus berlari? Menyerah pada fatalisme adalah pembunuhan diri. Mau tidak mau mereka ikut bertarung di dunia pasar bebas, tidak peduli tetap kalah.
Beberapa tahun sebelumnya dikenal istilah kaum rebahan (Lying Flat). Kaum rebahan memilih rebahan bukan karena tidak mempunyai kompetensi, kreativitas, inovatif, dan daya kompetitif, melainkan tidak diberi kesempatan agar mereka dapat menyalurkan potensi-potensi dirinya di perusahaan, pemerintahan, perguruan tinggi, persekolahan, rumah sakit, dst.
Meskipun demikian, ada kaum rebahan yang kreatif. Mereka berjalan keluar sebentar dari tempat pembaringan hanya untuk merekam video, dan memotret objek tertentu, kemudian mengedit yang perlu, dan mengunggah di You Tube, TikTok, Instagram, Facebook, dll. Konten itu disebarluaskan dan ditonton oleh pengguna media sosial lainnya; semakin banyak penonton, semakin banyak uang yang didapat dari konten itu. Algoritma teknologi memerintah para kreator konten seperti itu.
Mereka pandai menciptakan kejutan, dan memancing kepenasaran penonton dengan konten. Konten berubah menjadi uang. Mereka tidak perlu sibuk mencari lowongan pekerjaan, mengajukan lamaran, menunggu dipanggil, bekerja di bawah kendali manajer, dan seterusnya. Mereka dapat sejumlah uang sekali rebahan. Namun tidak semua aktivitas rebahan mendatangkan uang atau keuntungan. Tidak sedikit juga menimbulkan stres, depresi, penyakit, kelaparan, disorientasi, dll. Bagian terakhir ini menjadi tantangan dan ancaman bagi generasi bangsa. Kemajuan teknologi mesti diimbangi dengan literasi digital.
Mempersoalkan Realitas
Realitas (sosial, ekonomi-politik, politik, agama, Pendidikan, dll) selalu berparas ganda, dan mengandung paradoks, karena direkayasa oleh kekuatan kelompok berkpentingan. Realitas sosial harus dipersoalkan, sebab realitas yang direkayasa atau dimanupasi rentan terjadi, sampai masyarakat pada umumnya tidak lagi mampu membedakan antara real atau fake. Ketidakmampuan membedakan dua sisi ini dapat memperpanjang rantai apa yang disebut David Harvey sebagai akumulasi melalui perampasan.
Perampasan tidak mesti dilakukan secara kasar, brutal, banal, dan keji, tetapi dengan rekayasa realitas. Sebaliknya, kemampuan mempersoalkan realitas sosial yang direkayasa dapat membebaskan masyarakat dari jebakan permainan bahasa, manipulasi kesadaran, perbudakan, dll menuju masyarakat yang merdeka, emansipatoris, demokratis, rasional dan progresif.
Inilah tugas mahasiswa, dan cendekia. Mahasiswa, dan cendekia, seperti yang dikatakan Daniel Dhakidae, tidak dapat melepaskan diri dari modal, kebudayaan, dan realitas sosial. Mereka harus membongkar dan mempersoalkan realitas yang direkayasa. Gerakan ini teruangkap dalam kegiatan penelitian kuanitatif dan kualitatif, publikasi jurnal, perbincangan, diskusi, konsolidasi intelektual, opini, dll.
Proyek intelektual ini berguna tidak hanya membebaskan kaum muda dari mental letting it rot, tetapi juga pembebasan kesadaran masyarakat umum dari kecenderungan membiarkan nasib mengendalikan hidup (fatalisme). Mahasiswa dan cendekia memberikan kesadaran kepada masyarakat melalui apa yang disebut Paulo Freire sebagai konsientisasi bahwa tidak ada realitas alami (nature reality) yang ada begitu saja dari sana, tetapi selalu direkayasa dan dikonstruksi oleh kelompok dominan, seperti kapitalis, arsitek, dan penguasa politis agar sesuai aturan dan kepetingannya. Mempersoalkan realitas adalah proyek mengendalikan ketakterkendalian manusia.
Apabila konsolidasi intelektual dan konsolidasi gerakan sosial dilakukan, mental ketakterkendalian individu yang menyerah pada fatalisme dan mental letting it rot dapat dikendalikan. Namun demikian baik mahasiswa maupun cendekia bukanlah sosok dokter ilmu pengetahuan yang dapat menawarkan solusi definitif atau memberikan resep atas persoalan kronis realitas sosial. Kalau mereka mempersoalkan realitas sosial yang direkayasa, mereka telah menjalankan tugas epistemis dan aksiologisnya.
Dunia memang tidak dapat dikendalikan, tetapi sejarah dunia bisa direkonstruksi dan diubah. Proyek ini dapat tercapai apabila adanya upaya dari individu dan dari pihak luar mengendalikan ketakterkendalian seseorang atau kelompok masyarakat tertentu terhadap kecenderungan letting it rot atau fatalismenya. Sederhananya, seseorang atau kelompok orang dapat dikendalikan dari ketakterkendalian itu, apabila adanya konsolidasi intelektual dan konsolidasi gerakan sosial dari pihak luar.
Dan ini dapat dicapai dengan pertama-tama mempersoalkan realitas sosial yang direkayasa, kedua mempersoalkan kesadaran diri yang mudah direkayasa dan dimanipulasi―mengapa saya mudah direkayasa, ditipu, dan dimanipulasi?―dan yang ketiga membangun dan menghidupkan kembali keakilbaligan asali. Hal ini penting agar seseorang atau kelompok masyarakat disadarkan kembali bahwa mereka menang bukan karena digerakkan oleh kesadaran asali, melainkan kesadaran palsu, sehingga begitu badai perekayasaan realitas datang, mereka tidak akan mudah jatuh dan terperangkap dalam mental letting it rot.
Letting it rot menunjukkan ambruknya tatanan kesadaran dan proyek intelektual individu, dan kesadaran kolektif masyarakat. Namun demikian, seseorang, kata Sia, tidak perlu menunggu “Break down”, baru menyadari “only alone I will cry out now”, tetapi dengan tegas mengatakan “I’m so confident, yeah, I’m unstoppable today”.
Manusia memiliki kesadaran asali, dan tidak perlu menunggu dikendalikan dari pihak luar agar ia sadar bahwa ia, seperti avatar, direkayasa. Sia tegaskan, “I don’t need batteries to play” untuk mengendalikan diri dari mental letting it rot atau fatalisme, sebab manusia bukanlah robot atau avatar yang mudah direkayasa dan dimanipulasi oleh kelompok dominan, seperti kelas kapitalis, dan penguasa politis.