Jejak Portugis di Paga      

- Admin

Senin, 1 Agustus 2022 - 16:28 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Paga adalah sebuah wilayah kecamatan di kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini masih termasuk dalam wilayah suku Lio (Lio ethnic area) yang berbatasan dengan kabupaten Ende di sebelah barat. Mitologi warga setempat mengisahkan bahwa Paga berasal dari kata Pagan yang diberikan oleh Portugis yang artinya menyembah berhala.

Sejak dahulu jejak Portugis di Paga hanya dikenal melalui marga da Costa. Diakui atau tidak diakui bahwa sejarah kehadiran bangsa kolonial Portugis di kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh cerita tentang kehadiran Portugis di kampung kecil bernama Sikka.

Pada medio Februari 2012, sebuah website berbahasa Portugis Journal de Noticias yang berbasis di Lisbon memuat sebuah artikel dengan judul “Descendentes Do Rei De Sica Querem Museu Para Tesouro Português”, artinya Keturunan Raja Sikka Menginginkan Museum Untuk Harta Karun Portugis. Entah apa sebabnya generasi modern saat ini hanya mereka-reka antara percaya tidak percaya apakah betul kolonial Portugis pernah meninggalkan jejak di Paga.

Paga adalah sebuah wilayah kolonial Portugis di selatan pulau Flores. Pada masa kejayaan Portugis di abad XV hingga XVII hampir semua wilayah di kepulauan Flores yang mendapat pengaruh atau yang pernah memiliki jejak kolonial Portugis umumnya berada di sisi selatan pulau ini. Dimulai dari pulau Solor, pulau Adonara, Larantuka, Sikka, Paga dan pulau Ende semuanya berada di wilayah pesisir selatan laut Sawu.

Alasan utamanya adalah karena dengan menguasai pesisir selatan pulau Flores, kolonial Portugis dengan mudah dapat melakukan pelayaran ke Pulau Timor dan sekitarnya yang memiliki kayu cendana putih yang sangat mahal harganya di pasaran Eropa saat itu. Pada masa itu pulau Ende yang kita kenal saat ini  dikenal dengan sebutan Ilha de Grande (Pulau Besar) untuk menggantikan Nusa Eru Mbinge sebagai nama asli pulau itu.

Sejumlah penulis sejarah kolonial Portugis seperti, Francisco Vieira de Figuierido yang menulis buku Portugues Merchant Adventure In South East Asia 1624-1667, Fernando Figuerido dengan karyanya Timor, A Presence Portugesa, Isabel Boavida dengan tulisannya A Presenca Portuguesa No Pasifico. A Missionação, No Preceso Colonial de Timor O E Seu Patrimonio Arqueitecnico Hoje/ Kehadiran Portugis di Pasifik. Misi, Di Era Pendahuluan Kolonial Timor Dan Warisan Arsitekturnya Saat Ini)  atau Hans Hagerdald melalui karyanya berjudul Lord of the Sea, Lord Of the Land, Conflict And Adaptation In Early Colonial Timor, 1600-1800/ Tuan di Laut, Tuan di Darat, Konflik Dan Adaptasi Di Awal Kolonial Timor, 1600-1800 hampir tidak pernah menulis kisah tentang kehadiran Portugis di Paga serta Pulau Ende.

Baca juga :  Pernyataan Sikap TRUK atas Kasus Pembunuhan Berencana di Kabupaten Sikka

Padahal bentang sejarah kehadiran Portugis di Pulau Timor tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Portugis di Pulau Flores dan sekitarnya. Kecuali Alfonso de Castro dengan karyanya berjudul “As Possessoes Portuguezas na Oceania” (Kekayaan Portugis di Oceania)yang sedikit menulis tentang Paga sebagai wilayah kolonial Portugis saat itu namun ia hanya merujuk pada marga da Costa yang diwariskan oleh kolonial Portugis.

Terlepas dari tidak ditulisnya jejak kolonial Portugis di Paga oleh para penulis di atas, jika pembaca artikel ini memiliki pertalian darah atau perkawinan atau pertemanan atau setidak-tidaknya pernah mengunjungi Paga, maka di Paga kita dapat dengan mudah melihat sebagian masyarakat Paga saat ini memiliki ciri fisik yang berbeda dengan kebanyakan orang Flores pada umumnya.

Alasan utama mengapa Portugis selalu menikahi wanita lokal di “terra coloni” (tanah terjajah) karena pasca penandatanganan perjanjian Tordesillas (Tratado de Torsesilllas) tanggal 7 Juni 1494 yaitu sebuah perjanjian pembagian tanah yang baru (nueva tierra) yang ditemukan di luar Eropa antara Portugis dan Spanyol maka Portugis diberi kebebasan untuk menguasai sepenuhnya seluruh wilayah di luar Eropa sepanjang garis Meridian 370 Liga melewati Cape Verde, Afrika Selatan ke arah timur, sedangkan Spanyol menguasai seluruh wilayah sebelah barat Cape Verde kearah benua Amerika.

Pasca penandatanganan Perjanjian Tordesillas maka Portugis kemudian menerapkan strategi politik yang bernama politica asimilados yaitu sebuah strategi politik dengan cara menikahi wanita lokal atau anak raja agar kehadirannya di terra colonial (tanah jajahan) mendapat dukungan dari masyarakat lokal atau raja setempat.

Strategi politik Portugis ini berbeda jauh dengan strategi politik Belanda yang dikenal dengan nama Devide et Impera atau politik pecah belah. Keturunan dari hasil perkawinan Portugis yang menggunakan strategi “politica asimilados” inilah yang kemudian hari disebut Topass atau Mestizo yang artinya Portugis Hitam (Black Portugess). Belanda menyebutnya dengan zwart Portugess.

Mateo da Costa dan Antony da Hornai da costa adalah dua bersaudara yang lahir dari hasil perkawinan warga Portugis dengan wanita Larantuka. Kedua sosok ini kelak membentuk sebuah kelompok bernama “Larantuqueros” yang artinya orang Larantuka, kelompok yang dianggap membahayakan serta ditakuti oleh Portugis dan Belanda. Bahkan Jacob van der Hijden, komandan pasukan Belanda yang membawahi Solor dan Timor yang pernah menaklukan kerajaan Sonbai,  tewas di ujung pedang Antony a Hornay da Costa.

Kembali ke Paga.

Selain meninggalkan marga da Costa di Paga juga terdapat sebuah batu kubur yang dalam bahasa Lio disebut “Musu Mase”. Warga sekitar meyakini jika di kubur batu ini adalah tempat dikuburkannya kepala serta badan dari dua orang Portugis oleh Antony da Costa seorang warga lokal keturunan Portugis yang pemberani. Generasi Antoni da Costa atau dikenal dengan nama Mamo Ndona inilah yang kemudian hari melahirkan Bapak Daniel Woda Palle, mantan Bupati Sikka (1977-1988) serta mantan Ketua DPRD Provinsi NTT (1999-2004).

Baca juga :  Misteri Manusia Purba Flores (Homo Floresiensis)

Selain Bapak Daniel Woda Palle, secara genealogis generasi keturunan Antony da Costa kini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain itu juga di Paga terdapat sebuah meriam peninggalan Portugis serta sebuah tempat di tepi pantai yang diyakini tempat pertama kali Portugis menginjakkan kaki di Paga serta mendirikan sebuah Gereja Katolik yang dalam istilah setempat disebut Gereja Manu. Saat ini bangunan Gereja sudah tidak ada lagi namun hanya menyisahkan tanah kosong serta jejak batu di bekas bangunan Gereja tersebut

Sementara itu secara de jure dalam sebuah dokumen yang bernama Tratado Demarcação E Troca De Algumas Possessoes Portuguese E Neerlandezas No Archipelago De Solor E Timor yang artinya Perjanjian Demarkasi Dan Pertukaran Beberapa Kepemilikan Portugis dan Belanda Di Kepulauan Solor dan Timor yang ditandatangani Dom Pedro V dan Mauricio Helderwier tanggal 20 April 1859, wilayah Paga bersama dengan Sikka, Larantuka, Wureh Adonara, Pamong Kaju Solor, Lomblen, Alor dan Pantar diatur dalam pasal 7 perjanjian itu untuk diserahkan oleh Portugis kepada Belanda. Dalam teks asli perjanjian tersebut yang berbahasa Portugis, berbunyi sebagai berikut :

Artigo 7

Portugal cede a Neerlandia as possessoes seguintes :

Na ilha de Flores, os estados de Larantuca, Sicca e Paga com suas dependecias; na ilha de Adonara, o estado de Wureh, na ilha do Solor, o estado de Pamang Kaju.

Portugal desiste de todas as pretensoes que poderia talvez fazer valer sobre outros estadis ou logares, situados nas supramencionadas ilhas, ou nas de Lomblen, de Pantar e de Ombay, quer estes estados usem da bandeira portugueza, quer da neerlandeza.

Artinya :

Portugal menyerahkan kepada Belanda harta benda berikut:

Di pulau Flores, negara bagian Larantuca, Sicca dan Paga dengan dependensinya; di pulau Adonara negara bagian wureh, di pulau Solor negara bagian Pamang Kaju.

Portugal melepaskan semua klaim yang telah dibuatnya atas negara bagian atau tempat lain yang terletak di pulau-pulau tersebut, atau di Lomblen, Pantar dan Ombay, baik negara bagian ini menggunakan bendera Portugis atau Belanda.

Sebagai gantinya dalam ketentuan lain dari perjanjian tersebut Portugis diberi hak untuk menguasai seluruh wilayah Timor bagian timur (kini Timor Leste), Oekusi serta pulau kambing (Ilha de Kambing) yang lebih dikenal dengan nama Pulau Atauro. Total seluruh ganti rugi yang diberikan oleh Belanda kepada Portugis sebesar 200.000 florins (mata uang kuno Belanda) yaitu sejumlah 80.000 florins diserahkan tahun 1851, ketika Portugis kehabisan uang pasca pemindahan pusat kekuasaannya dari Lifau ke Dili tahun 1769, pemindahan pusat kolonial Portugis ini adalah untuk kedua kalianya setelah sebelumnya pasca kekalahan Portugis di Pulau Solor dengan kelompok Solor Watan Lema (Cinto Grupos) yang dibantu oleh pasukan Belanda dan bala bantuan dari Kesultanan Ternate.

Baca juga :  Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   

Sementara itu sisanya sebesar 120.000 florins diserahkan satu bulan pasca penandatanganan perjanjian tahun 1859 di Lisboa. Pada saat terjadi negosiasi itu Parlemen Belanda sempat menyampaikan keberatan karena tidak dimuatnya pasal yang memberi kebebasan untuknya membawa misi Protestan, namun Portugis tetap pada pendiriannya bahwa Katolik yang sudah diperkenalkan kepada masyarakat di Flores dan sekitarnya harus tetap menjadi agama masyarakat (religiao do comunidade).

Menurut Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik Indonesia Jilid I, penerbit Ledalero, Maumere, dikemukakan bahwa prinsip kolonial Portugis addalah bendera boleh diganti, namun agama tidak boleh  diganti. Menurut hemat penulis, meskipun judul perjanjian tersebut adalah perjanjian pertukaran dan demarkasi wilayah kolonial namun dalam konteks hukum perjanjian internasional, perjanjian kedua bangsa kolonial tersebut lebih tepat disebut sebagai perjanjian jual beli wilayah kolonial.

Sebagai akhir dari tulisan ini maka perlu diketahui bahwa pada saat itu Portugal dipimpin oleh seorang raja bernama Fernando II (menjabat sejak 1837 hingga 1853). Ia kemudian menunjuk Jose Joaquim Lopes de Lima  sebagai gubernur koloni terpisah Portugis di seberang lautan sejak 3 Juni 1851 hingga 15 September 1851. Jose Joaquim Lopes de Lima kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Portugis di Makau sejak tanggal 15 September 1851 yang membawahi seluruh wilayah Timor, Flores, Solor, Adonara, Alor serta Atauro.

Jabatannya sebagai Gubernur Portugis di Makau ini tidak bertahan lama karena Jose Joaquim Lopes de Lima meninggal dunia pada tanggal 8 September 1852 di Makau. Banyak penulis sejarah kolonial Portugis menduga bahwa kematian Jose Joaquim Lopes de Lima pada tahun 1852 erat kaitan dengan pengkhianatannya pada Raja Portugal dimana pada tahun 1851 ytanpa persetujuan Raja telah bersekutu dengan Belanda untuk melakukan “perundingan” dengan pemerintah kolonial Belanda untuk melepaskan wilayah kekuasan Portugis termasuk Paga.

Inilah akar sejarah mengapa Paga, Sikka, Larantuka, Flores, Adonara, Solor, Alor, Pantar dan Timor Barat menjadi wilayah kolonial Belanda dan kini menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Timor bagian timur, Oekusi serta Pulau Atauro menjadi wilayah kolonial Portugis dan kini menjadi wilayah terirotial Republica Democratica de Timor Leste.

Komentar

Berita Terkait

Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16
Nama-Nama Orang Flores
Sepak Bola dan Flores
Asal Usul Nama Kewapante
Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   
Tenggelamnya Kapal O Arbiru, Dili – Bangkok 1973 di Perairan Maumere, Flores
Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan
Fosil Budaya Purba Flores (2)
Berita ini 480 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA