Kategori: Sejarah

  • Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16

    Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16

    Indodian.com– Satu dari tiga alasan kenapa Portugis bertahan di Flores dan sekitarnya selama 347 tahun (1512-1859) padahal wilayah itu tidak memiliki cengkeh, pala dan lain-lain seperti di Maluku adalah karena banyaknya gunung berapi di Flores dari ujung timur hingga ke tengah. Gunung berapi atau mereka sebut vulcão di Flores adalah penyumbang terbesar bubuk mesiu di abad 16 yang dipasarkan hingga ke Afrika dan Eropa.

    Bubuk mesiu di Flores sendiri sudah ditulis oleh Tom Pires dalam bukunya yang terkenal dengan judul Suma Oriental yang mengatakan “Pulau Solor (Flores) memiliki jumlah asam yang sangat banyak; mengandung banyak belerang, dan produk ini lebih dikenal daripada produk lainnya. Mereka membawa bahan makanan dalam jumlah besar dari pulau ini ke Malaka. Mereka pun membawa asam dan belerang. Belerang ini sangat banyak sehingga mereka membawanya sebagai barang dagangan dari Malaka ke Cochin, Cina, Afrika karena merupakan barang dagangan utama”.

    Bubuk mesiu sendiri berasal dari biji belerang yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Oleh karena Banda dan Timor tidak memiliki gunung berapi maka Flores menjadi andalan Portugis dimasa itu seperti dikisahkan oleh Tom Pires yang mengatakan “Tuhan menjadikan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk gada dan Maluku untuk cengkeh, dan bahwa dagangan ini tidak dikenal di mana pun di dunia kecuali di tempat-tempat ini; dan saya bertanya dengan sangat rajin bertanya kepada mereka apakah mereka memiliki barang dagangan ini di tempat lain dan semua orang mengatakan tidak”

    Selain bubuk mesiu sebagai bahan peledak, 2 alasan lain adalah melimpahnya kayu cendana putih di Solor dan Adonara serta perbudakan yang mudah diperoleh disana. Budak-budak ini memiliki harga yang sama dengan 1 kg cendana dan umumnya dikirim ke pasar Afrik dan Eropa selebihnya dikirim sebagai pekerja kasar pada lahan perkebunan kopi milik kolonial Portugis di Brasil dan wilayah lain di Afrika.

    Foto ini adalah gunung berapi Lewotobi. Dibawah kaki gunung ini, Portugis membangun sebuah pemukiman yang dilengkapi dengan sebuah gereja bernama Igreja São Domingos sekarang dikenal dengan sebutan San Dominggo- Hokeng.

    Nama São Domingos dipakai untuk mengenang kembali kaum Dominikan yang melakukan ekspansi di abad 15 ke wilayah ini dan mendirikan sejumlah Gereja seperti Luis da Maya yang mendirikan Gereja Nossa Senhora da Piedade (Bunda Kita Yang Setia) di pulau Solor, P. Cristovão Rangel yang mendirikan Gereja São João Baptista (Santo Yohanes Pembaptis) (di luar benteng Solor), Gereja Misericórdia (di desa Laboiana; Madre de Deus (Bunda Allah), Gereja São João Evangelista (Santo Yohanes Evangelis) di desa Lamaqueira (Lamakera), António de São Jacinto yang mendirikan Gereja Espírito Santo (Gereja Roh Kudus) (menggantikan Crama); Roque Cardoso yang mendirikan Gereja São Lourenço (Santo Laurensius) di Lavunama (Labonama);

    Nossa Senhora da Esperança (Bunda Harapan Kita), di Boibalo (Waibalun),  Gaspar de Santa Maria yang mendirikan Gereja Nossa Senhora (Bunda Kita), di desa Larantuka,  Francisco Donato yang mendirikan Gereja Santa Luzia, di Sikka dan Paga; Nossa Senhora da Assunção (Bunda Maria Diangkat ke Surga) di Quevá, Gereja São Pedro Mártir (Santo Petrus Martir) di Lena; Gereja Nossa Senhora da Boa Viagem (Bunda Penyelamat Perjalanan Kita) di Dondo, Ende, pantai utara Flores, Crisóstomo de Santiago yang mendirikan Gereja São Domingos (Santo Dominikus) di Numba (Ende), Agostinho do Rosario yang mendirikan Gereja Santa Maria Madalena (Santa Maria Magdalena) di Charaboro (Saraboro), Ende (sekarang Kotaraja atau Paupanda).

  • Nama-Nama Orang Flores

    Nama-Nama Orang Flores

    Indodian.com – Jauh sebelum kedatangan bangsa Portugis dan konektivitas para pedagang Arab, Ternate, Sulawesi, Palembang ke wilayah kepulauan Nusa Tenggara Timur (mereka menyebutnya insulinda ilhas), agama asli orang Flores dan sekitarnya adalah menyembah pohon dan arwah leluhur. Agama asli itu perlahan memudar di abad kelima belas setelah Portugis memperkenalkan agama Katolik kepada orang Flores dan sekitarnya.

    Belum genap 1 abad Portugis berkuasa di Flores dan sekitarnya, bangsa Eropa itu harus bersaing dalam hal perdagangan dengan para pedagang Arab, Ternate, Sulawesi, Palembang. Akibat dari adanya proses sosialisasi antara warga pribumi dengan para pedagang maka orang Flores dan sekitarnya termasuk orang Timor (barat dan Timur) yang masih menganut kepercayaan asli kemudian menganut agama Islam.

    Meskipun agama Islam bukan merupakan agama mayoritas di pulau Flores dan sekitarnya ataupun di Nusa Tenggara Timur tetapi sejak ratusan tahun yang lalu masyarakat pribumi yang sudah menganut agama Islam mendapatkan tempat yang sama dan sederajat dengan penganut agama Katolik seperti di Adonara, Lembata, Solor juga pulau Ende. Umumnya penganut agama Islam mendiami wilayah pesisir sedangkan penganut Katolik mendiami wilayah pegunungan.

    Nama Orang Flores

    Kehadiran Portugis di pulau Flores dan sekitarnya berdampak secara langsung kepada masyarakat sekitar yang sebagian secara sukarela memilih untuk dibaptis dan sebagian lainnya dipaksa untuk dibaptis menjadi Katolik. Bangsa Portugis yang membawa serta para misionaris dari ordo Dominican sesuai dengan misinya yaitu Feitaria, Fortaleza, Igreja atau lazim dikenal dengan istilah Gold, Glory, Gospel ini kemudian memilih nama-nama Nasrani untuk diberikan kepada orang Flores dan sekitarnya.

    Jika sebelum menganut agama Katolik seseorang memiliki nama (misalnya Du’a Goit) maka setelah dipermandikan/ dibaptis, ia akan diberikan nama baptis yang diletakan di depan namanya sehingga menjadi Clementina Du’A Goit. Dalam beberapa kasus warga pribumi yang memiliki kedekatan personal dengan para misionaris atau pemimipin kolonial Portugis di pulau Flores dan sekitarnya diberikan marga-marga Portugis.

    Di abad ke XVII hingga pertengahan abad XVIII, nama-nama orang Flores dan sekitarnya pada umumnya 100% identik dengan nama-nama Portugis seperti Joao, Antonio, Simao, Claudio, Bernardo, Aprilio, Jose, Pedro, Dominica, Fransisco, Edmundo, Alberto dan lain-lain yang tentu saja nama lokal ala orang Flores dan sekitarnya pun tetap dipakai.

    Namun demikian sejak tahun 1859 pasca Portugis memindahkan seluruh kekuasaannya ke pulau Timor bagian timur, maka sebagai gantinya orang-orang Flores dan sekitarnya yang sudah menganut agama Katolik dilayani oleh para misionaris asal Belanda dari ordo Jesuit. Sedangkan misionaris dari ordo Dominican harus melayani orang-orang Katolik di pulau Timor bagian timur (baca: Timor Leste) mengikuti tuannya yaitu bangsa Portugis. Ordo Jesuit yang sebelum menginjakan kaki di Pulau Flores dan sekitarnya telah melayani orang-orang Katolik di pulau Jawa (Batavia dan Semarang), kemudian membuat sebuah kebijakan baru yaitu semua nama-nama baptis orang Katolik harus dipribumikan.

    Karena itu nama-nama orang Flores dan sekitarnya seperti contoh di atas antara lain Joao, Antonio, Simao, Claudio,Bernardo, Aprilio, Jose, Pedro, Dominica, Fransisco, Edmundo pun harus diubah seturut kebijakan Jesuit. Joao menjadi Yohanes, Antonio menjadi Antonius, Simao menjadi Simeon, Claudio menjadi Claudius, Bernado menjadi Bernadus, Jose menjadi Yoseph/Joseph, Pedro menjadi Petrus, Dominica menjadi Dominicus, Fransisco menjadi Fransiskus, Edmundo menjadi Edmundus, Alberto menjadi Albertus dan seterusnya.

    Kebiasaan untuk memberi nama baptis ala Jesuit ini kemudian dipergunakan secara terus menerus hingga saat ini. Pasca menjadi bagian dari negara dan masyarakat Indonesia, sejumlah orang Flores kemudian memilih untuk kembali ke akar nama orang Katolik yang sesungguhnya diberikan oleh bangsa Portugis sebagai peletak dasar agama Katolik di pulau Flores dan sekitarnya.

    Sumber : Karel Steenbrink, Orang-Orang Katolik Di Indonesia, 1808-1942, Sebuah Profil Sejarah, Jilid I, Penerbit Ledalero, Cetakan I, April, 2006

  • Sepak Bola dan Flores

    Sepak Bola dan Flores

    Indodian.com – Apabila Anda datang ke suatu daerah, cobalah Anda bertanya kepada setiap anak kecil yang Anda temukan di sana tentang apa yang menjadi cita cita mereka kelak. Bila ada 1 atau 2 dari 10 anak menjawab bahwa kelak ia ingin menjadi pesepakbola hebat seperti Messi atau Ronaldo, maka di daerah itu ada peluang besar untuk mulai mengembangkan olahraga sepakbola modern. Secara hampir merata di berbagai belahan dunia, cabang olahraga sepakbola kini telah menjadi suatu alternatif pilihan hidup atau cita cita dengan berbagai alasannya.

    Pele, Maradona, Messi, Christiano Ronaldo dan hampir semua bintang legendaris sepak bola dunia lainnya, saat mereka masih berusia kanak kanak rerata memiliki mimpi sekaligus tekad yang kukuh dalam sanubari untuk kelak dapat menjadi pesepakbola handal tingkat dunia. Ada begitu banyak narasi mengharukan tentang anak anak pecinta bola yang ternyata kemudian mampu merubah nasib keluar dari keterpurukan ekonomi sosial keluarga dan masyarakatnya melalui prestasi di bidang olahraga sepakbola.

    George Weah menjadi presiden Liberia karena ditunjang oleh prestasi sebagai pesepakbola terbaik dunia. Maradona dipuja bak dewa di Napoli, di Argentina bahkan di seluruh dunia karena sihir dan kejeniusannya dalam bersepakbola. Demikian pula dengan kisah Messi, Ronaldo, Mbappe, dan lain lain. Romantisme heroik seperti inilah yang kini mulai menginspirasi anak anak sedunia untuk bersepakbola.

    Selama beberapa dekade sebelum ini, di seujung pulau Flores, setiap anak bila ditanya tentang cita cita otomatis akan memberikan jawaban stereotipe. Nyaris sama. Umumnya pada ranking pertama, jawaban mereka itu adalah ingin menjadi seorang pastor, suster atau guru. Kemudian muncul pula cita cita akan profesi lain seperti menjadi pegawai negeri, anggota TNI atau Polri, atau menjadi politisi terkenal.

    Jawaban seperti ini tentu menyiratkan tentang sistem berpikir, persepsi maupun mental dan kultur yang hidup dalam masyarakat Flores. Bahwa bagi orang Flores di masa masa itu, menjadi pastor, suster atau guru adalah semulia mulianya manusia dan sehebat hebatnya suatu profesi atau pekerjaan. Begitulah kenyataan di masa lalu. Ini menjadi semacam indoktrinasi yang merasuki alam berpikir hampir setiap anak dalam setiap rumah tangga Flores di masa lalu.

    Pernah ada seloroh bahwa efek mindset ini ternyata ikut pula mempengaruhi pertumbuhan otot tulang fisik orang Flores. Otot dan tulang sekitar rahang dan mulut serta tangan anak anak Flores itu biasanya akan bertumbuh optimal demi menunjang profesi sebagai pastor, guru, atau politisi yang mengandalkan kemampuan dalam berkata kata dan berbicara. Nah, bila cita cita mulia itu ternyata gagal tercapai, tenang saja, orang Flores punya opsi lain yaitu pergi merantau ke Malaysia dan menjadi buruh kasar di kilang kilang atau berangkat ke Jawa dan siap menjadi debt collector dan pekerjaan lain yang mengandalkan kekuatan kepalan tangan.

    Flassback

    Entah sejak kapan sepakbola yang kini menjadi jenis olahraga paling digemari orang se-antero dunia ini hadir di Flores. Yang jelas, sekitar tahun 1930 an, para seminaris di Todabelu, Mataloko, Ngada sudah terkenal sebagai pemain bola handal pada posisinya masing masing. Pater Adrianus Conterius, SVD dan pater Ozias Fernandez, SVD asal Sikka misalnya dipuji sebagai penyerang haus gol dan gelandang bertahan yang handal di masa itu.

    Selanjutnya selepas Perang Dunia II olahraga sepakbola yang semakin populer sejak ada kejuaraan di tingkat dunia itu, juga ikut dikembangkan oleh para misionaris asal Eropa, di parokinya masing masing di seluruh wilayah Flores. Para Frater dari Ledalero dan Ritapiret, biasanya di saat pulang berlibur juga suka mengajak bermain sepakbola bersama anak anak, remaja dan pemuda di kampung asalnya masing masing.

    Sekitar tahun 1960 an, sepakbola nampaknya sudah menjadi olahrahga rakyat yang paling populer di Flores. Di masa itu, hampir setiap wilayah di Flores memiliki klub sepakbola di tingkat remaja dan pemuda masing masing. Mereka ini berlatih atau bermain di tanah lapang seadanya dengan bola dari bahan sederhana serta menampilkan teknik seadanya pula. Homo ludens, manusia adalah makhluk yang suka bermain.

    Bersepakbola bagi masyarakat Flores di saat itu pertama tama adalah untuk memenuhi dorongan rasa ingin bermain bersama yang ternyata bisa juga menjadi kesenangan atau hobi sekaligus menjadi tontonan hiburan dan kegembiraan bagi masyarakat sekitar. Semua orang Flores berusia 60an atau lebih bisa berceritera tentang keindahan hidup masa kecil itu yang mungkin sulit untuk terulang kembali.

    Almarhum Jenderal Anton Tifaona adalah seorang pesepakbola handal dan terkenal di Flores pada masa lalu. Keahlian bersepakbola bapa Anton semakin terasah baik setelah ia bersekolah di seminari Mataloko di tahun 1950 an. Bapa Anton sendiri berasal dari Lembata namun ia sering pula dikenang sebagai tokoh pendiri PSN Ngada, kesebelasan sepakbola tangguh dari NTT. Semasa hidupnya ia pernah mengisahkan bahwa pada dekade tahun 1960 an itu, turnamen sepakbola di Flores Timur yang meliputi Lembata Adonara, Solor dan Larantuka sungguh sangat ramai.

    Perhelatan sepakbola itu biasanya dilaksanakan pada saat saat menjelang peringatan dan perayaan hari Kemerdekaan Indonesia. Ada belasan klub dari tingkat anak, remaja, pemuda dan dewasa akan datang berlaga untuk bertanding merebut juara dengan sistem ‘tarelot’. Dari generasi ini lahir nama nama seperti Bebe Corebima, dan Cor Monteiro yang kemudian menjadi andalan tim sepakbola Flores Timur dalam setiap turnamen Eltari Cup di NTT pada tahun 1970 an. Sinyo Aliandoe adalah nama lain anak Flores Timur yang ternyata mampu tampil di level nasional, baik sebagai pemain ataupun sebagai pelatih tim nasional Indonesia.

    Setelah era Sinyo Aliandoe, sejak dahulu hingga kini selalu hadir pesepakbola handal asal Flores yang ikut mewarnai ajang turnamen dan kompetisi sepakbola tingkat nasional seperti : Frans Watu (Perkesa/Lampung Putra/Arema), Yohanes Geohera (Arema), Maura Hely (Persebaya/Niac Mitra), Polce Kia (Pelita Jaya/Barito Putra), Lorens Fernandez (Persija Timur/Merpati Galakarya), Yos Fernandez (Angkasa/Lampung Putra), Daniel Boro (BPD Jateng/Diklat Salatiga), Paulus Dolun (Caprina), Yance Ruma (Perkesa/PSIM), Joni Lamuri (Galatama), Heri Nerly (Persipura), Otavianus (Persebaya/PSIS), Roly Lamuri (Persija), dan yang teranyar adalah pemain muda berbakat Marselino Ferdinan (Timnas/Persebaya).

    Fransisco Soarez Pati adalah seorang pemuda filantropik dan peneliti sejarah Portugis di Flores asal Maumere. Sisco sudah menghasilkan beberapa tulisan yang dimuat di journal internasional. Sisco pernah berujar bahwa bakat serta kualitas skill dan teknik bersepakbola orang Flores mestinya tidak perlu kalah dengan kemampuan pesepakbola timnas Brasil. Perhatikan profil pesepakbola Brasil yang bertampang tidak khas Eropa, Afrika, Indian, ataupun campuran di antaranya.

    Wajah dan fisik mereka itu sangat mirip dengan wajah dan fisik orang Flores atau Timor, sungguh akrab dan tidak asing. Mengapa? Sisco menjelaskan bahwa bangsa Portugis yang pernah menjajah Brasil itu juga memang pernah hilir mudik menjajah di Flores dan Timor selama beberapa abad di masa lalu. Sejumlah Gubernur Jendral di Timor dan Solor di abad XVI hingga XVIII umumnya adalah orang yang sama yang pernah menjabat sebagai Gubernur Jendral Portugis di Brasil, Africa, Goa dan kemudian menduduki jabatan yang sama di Timor dan Solor seperti António José Teles de Meneses, Julião José da Silva Vieira, José Joaquim Lopes de Lima.

    Sebagaimana ribuan orang Afrika pernah diangkut paksa oleh Portugis untuk bekerja di berbagai hasienda di Brasil, demikian pula di sekitar abad 16 hingga pertengahan abad 18 itu kiranya tidak sedikit orang Flores dan Timor yang pernah diangkut paksa oleh Portugis ke Brasil untuk tujuan yang sama. Perbudakan orang Flores dan Timor berlangsung hingga abad ke XVIII dijaman Gubernur Jendral Jose Joaquim Lopes de Lima sebelum mengambil tindakan sepihak dengan menjual seluruh wilayah koloni Portugis di Flores, Solor, Adonara, Lembata, Alor kepada Belanda dan secara sepihak pula bersama kolonial Belanda membagi pulau Timor dalam dua kekuasaan yaitu sebelah barat pulau Timor menjadi milik Belanda dan sebelah Timur menjadi milik Portugis.

    Menurut penjelasan Sisco misteri perbudakan orang Flores dan Timor semakin nyata diuraikan dalam buku karangan Alfonso de Castro dengan judul “AS POSSESSOES PORTUGUEZA NA OCEANIA”, 1867 (Kekayaan Portugis di Oceania, 1867). Hipotesis Sisco ini memang perlu dibuktikan dengan berbagai dokumen autentik kesejarahan. Atau bila perlu dibuktikan juga dengan tes DNA demi mendapatkan kebenaran historis dan kepastian alasan kemiripan tersebut. Tetapi bila orang Flores mencoba mengenangkan kembali teknik dan skill hebat Pedro Rodriquez, legenda Persami atau Cor Monteiro maestro dari Perseftim, maka opini Francisco Pati ini kiranya menjadi menarik untuk disimak.

    Politik dan Olahraga

    Deretan nama pesepakbola asal Flores yang pernah hadir di ajang kompetisi sepakbola nasional di atas itu mirip dengan pesebaran tanaman kelapa di seputaran pulau Flores. Di Flores, kecuali di perkebunan kelapa milik Misi gereja katolik, rerata pohon kelapa itu biasanya tumbuh secara alamiah. Buah kelapa yang sudah tua jatuh sendiri dari tangkai lalu bergulir di sekitar pohon. Bila posisi pohon berada di lereng yang miring maka buah kelapa yang jatuh akan bergulir semakin jauh. Setelah jatuh dan apabila buah kelapa itu kemudian bergulir ke tanah yang subur gembur maka ia akan mudah tumbuh menjadi pohon kelapa baru. Sebaliknya, bila buah kelapa itu bergulir ke bebatuan atau ke tanah yang tidak subur maka buah kelapa itu akan segera membusuk atau mengering.

    Eltari adalah seorang Gubernur Provinsi NTT di masa lalu. Setelah pelantikannya di Kupang pada tahun 1968, gubernur Eltari segera menggagas suatu konsep politik olahraga melalui cabang olahraga sepakbola. Ia menginisiasi ajang turnamen Eltari Cup (ETC) yang digelar secara berkala. Visi dan tujuan Eltari dengan giat ETC pertama tama adalah untuk mempersatukan orang NTT yang beragam ragam Flores, Sumba Timor, Alor, Rote, dan Sabu. Melalui ajang ETC ini, Eltari sekaligus juga memulai upaya pembinaan dan pembuktian bagi bakat bakat sepakbola di NTT melalui suatu ajang tunamen berkala.

    Dengan demikian selanjutnya diharapkan dapat memunculkan prestasi yakni kemampuan bersaing di level yang lebih tinggi terutama dalam persaingan di tingkat nasional. Prestasi yang dapat membanggakan NTT. Visi dan politik olahraga Eltari ini kemudian diabadikan dalam turnamen lanjutan yaitu Eltari Memorial Cup (ETMC) sebagai ajang turnamen sepakbola antar kabupaten di NTT hingga saat ini.

    Sudah 50 tahun lebih turnamen ETC dan ETMC bergulir setiap 2 tahun. Namun setelah setengah abad berlalu ternyata prestasi dan pencapaian sepakbola NTT nampaknya masih seperti berjalan di tempat. Tim sepakbola NTT hingga kini belum mampu bersaing di tingkat nasional. Tidak membanggakan. Hal ini mestinya perlu disadari dan disikapi secara serius.

    Orang NTT itu pernah mampu merajai dunia atletik nasional atau bisa bersaing di beberapa cabang olahraga individual lainnya seperti tinju dan jenis olahraga bela diri lainnya. Tetapi mengapa tidak mampu bersaing di cabang sepakbola? Jawaban atas pertanyaan ini bisa saja dibuat dalam suatu kajian dan penelitian yang mendalam. Namun secara kasat mata jelas terlihat bahwa di NTT itu hingga kini ternyata belum ada dibangun stadion sepakbola yang cukup memadai atau berkelas.

    Stadion Marilonga di Ende misalnya, hanya dengan kemampuan lighting sehingga bisa menggelar pertandingan di malam hari terbukti telah berhasil menyedot begitu besar antusiasme publik dan penonton. Selebihnya, kondisi nyaris semua stadion di NTT itu masih amat memprihatinkan. Stadion Gelora Samador di Maumere misalnya seringkali hanya jadi tempat angon kuda dan kambing. Tidak terurus dan terlantar. Itu hanya dari sisi sarana prasarana. Setali tiga uang dengan banyak sisi lainnya dalam upaya pembinaan dan pengembangan sepakbola NTT.

    Model pembinaan dan pelatihan berjenjang , sistem kompetisi berkelanjutan, jumlah turnamen, fasilitas atau tunjangan dan apresiasi bagi pesepakbola, dan lain sebagainya masih sangat terbatas. Kendala dan hambatan seperti ini tentu berimbas pada pencapaian prestasi yang ternyata masih jauh dari harapan.

    Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa alasan dari prestasi yang minim itu sesungguhnya terletak pada masalah alokasi atau ketersediaan anggaran bagi pembinaan dan pengembangan sepakbola di Flores dan NTT yang masih amat minim pula itu. Syukurlah bahwa beberapa tahun belakang ini telah mulai muncul sekolah sepakbola bagi anak dan remaja di beberapa kota di NTT. Di Atambua belum lama ini ada klub sepakbola yang didirikan dengan manajemen dan metode pembinaan profesional.

    Diketahui bahwa dana pembinaan olahraga sepakbola NTT termasuk di Flores, sejauh ini masih sangat bergantung pada dukungan dari keuangan pemerintah setempat. Dana APBD pemerintah daerah di Flores itu relatif kecil. Di samping itu, masih terdapat sejumlah kebutuhan dasar atau prioritas pembangunan di bidang lain. Maka bisa dimaklumi bahwa alokasi anggaran untuk pembinaan dan pengembangan bidang sepakbola Flores tentu akan kecil saja.

    Namun dengan demikian otomatis pula menjadikan visi dan harapan sepakbola Flores atau NTT yang berprestasi itu sebagi pepesan kosong belaka. Keadaan ini akan semakin runyam bila bupati atau gubernur di daerah tertentu ternyata sama sekali tidak memiliki minat dan atensi dalam pengembangan sepakbola berkelanjutan.

    Berkaca dari kondisi persepakbolaan NTT maka politik olahraga yang pernah dicanangkan oleh gubenur Eltari kiranya perlu dikontekstualisasikan kembali. Sudah jelas bahwa salah satu faktor pendukung terpenting dalam sepakbola berpretasi itu mensyaratkan komitmen pendanaan secara profesional pula. Dengan demikian harapan sekaligus upaya dan peluang menciptakan leapfrog prestasi akan lebih mudah diwujudkan berikut multiplier effectnya.

    Kebanggaan dan kesatuan persatuan rakyat dan bangsa Argentina di Buenos Aires saat menyambut kemenangan Messi dan kawan kawan di Piala dunia Qatar 2022 adalah suatu pelajaran berharga tentang manfaat dari investasi pengembangan dan pembinaan sepakbola berkelanjutan. Selanjutnya ada begitu banyak peluang yang muncul dan bisa dikapitalisasi sebagai hasil dari pencapaian prestasi sebagaimana prestasi Messi dan kawan kawan yang gemilang di tingkat dunia itu.

    Fenomena Suporter

    Sebagai bagian penutup dari ulasan ini adalah terkait fenomena kelahiran kelompok fans pendukung fanatik bagi sautu tim kesebelasan di Flores saat ini. Beberapa perhelatan kejuaraan sepakbola di Flores atau di NTT antar kabupaten belakangan ini, para suporter pendukung tim kebanggaannya selalu ramai datang memenuhi stadion pertandingan.

    Masing masing kelompok datang dengan biaya swadaya dan dengan semboyan dan yel yel serta atribut yang khas. Semangat dan dukungan yang diberikan oleh para suporter itu sungguh memberikan suatu nuansa baru. Ada energi, emosi dan kecintaan sekaligus harapan yang luar biasa terhadap tim dukungannya. Harapan utama setiap kelompok suporter tentunya kemenangan dan juara.

    Kehadiran kelompok suporter atau fans fanatik itu bisa dilihat sebagai semacam kelahiran sebuah subkultur baru dalam sosial budaya atau peradaban orang Flores, khususnya di bidang olahraga sepakbola. Kehadiran kelompok suporter fanatik itu juga iku menunjukkan bahwa dalam kehidupan masyarakat Flores saat ini telah muncul suatu kecintaan sekaligus kebanggaan yang besar terhadap sepakbola berikut seluruh nilai (values) yang terkandung di dalam cabang olahraga tersebut. Patut disayangkan bila rasa cinta dan kebanggaan masyarakat tersebut belum sebanding dengan pencapaian prestasi, apalagi teknik, skill, dan strategi yang dimainkan oleh sebuah tim sepakbola di Flores.

    Suporter di dalam suatu pertandingan sepakbola sering disebut juga sebagai pemain ke -12. You will never walk alone adalah semboyan fans fanatik pendukung tim Liverpool yang selalu memberikan tambahan energi dan fighting spirit bagi pemain Liverpool ketika bertarung di stadion Anfield. Fanatisme pendukung Brasil atau Argentina itu terkenal sedemikian kuat sehingga sepakbola di kedua negara Latin tersebut seolah menjadi agama kedua bagi masyarakatnya.

    Kehadiran fans pendukung fanatik tim kesebelasan sepakbola di Flores itu secara terang benderang menunjukkan bahwa sepakbola itu telah semakin membudaya bagi orang Flores, dan sekaligus menjadikan sepakbola sebagai sebuah cabang olahraga yang sudah siap untuk dikembangkan secara profesional demi mengejar prestasi. Dukungan pemerintah daerah tentu tetap akan diperlukan. Terutama terkait sarana dan prasarana pendukung. Tetapi dalam konteks pengelolaan sepakbola modern (industri) kiranya hal ini sudah saatnya perlu diambil alih oleh pihak yang memiliki komitmen dan kompetensi sekaligus siap all out untuk bergelut secara profesional dalam bidang pembinaan dan pengembangan olahraga sepakbola tersebut di Flores.

  • Asal Usul Nama Kewapante

    Asal Usul Nama Kewapante

    Indodian.com – Kewapante adalah nama sebuah kecamatan di Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Berjarak 12 km dari Kota Maumere ke arah timur Pulau Flores, Kewapante pada abad ke XV hingga XVIII setidak-tidaknya dipengaruhi oleh 4 budaya dan tradisi yang berbeda-beda antara lain Portugis, Belanda, Goa dan Tionghoa. Sebelum Portugis menginjakkan kakinya di Kewapante pada abad ke XVI, daerah ini sudah memiliki nama lokal yaitu Namang Jawa.   

    Sebuah jurnal berbahasa Inggris yang pernah dimuat dalam Majalah Masyarakat Indonesia, Tahun ke-X, No. 1 1983 dengan judul Atakiwan, Casados, And Tupassi: Portuguese Settlement And Christian Communities In Solor And Flores (1536-1630) artinya Atakiwan, Perkawinan Dan Tupassi : Pemukiman Portugis Dan Komunitas Kristen Di Solor Dan Flores (1536-1630) menguraikan bahwa setelah Portugis berhasil mendirikan  dua buah Gereja di Solor, bangsa kolonial ini kemudian melakukan perluasan wilayah taklukan ke arah Selatan (Larantuka, Sikka, Paga dan Pulau Ende, Lena, Nunas (Numba), Curroralas (Kurorala) dan Charaboro (Saraboro) juga ke arah utara Pulau Flores yaitu Kewapante dan Dondo.

    Pada masa kejayaannya di abad XV hingga XVII untuk menunjukkan kekuasaan de facto-nya atas daerah taklukan (conquest area) maka setiap wilayah yang ditaklukan oleh Portugis akan diubah namanya dengan nama Portugis seperti Nusa Nipa nama asli pulau Flores sejak masa prasejarah menjadi Cabo das Flores, Lomblen menjadi Lego Leva kemudian menjadi Lewoleba (ibukota Kabupaten Lembata), Bai balo yang kemudian menjadi cikal bakal nama Waibalun serta Nusa Eru Mbinge sebagai nama asli pulau Ende menjadi Ilha Grande.

    Setelah tiba di pesisir utara Pulau Flores, Portugis kemudian menamakan wilayah pesisir laut Flores itu dengan nama “Queva” yang artinya jatuh/takluk. Setelah Portugis menamakan wilayah itu dengan nama “Queva” maka pada periode dimana wilayah ini telah mendapat pengaruh dari Kerajaan Goa dari Sulawesi Selatan yang diduga setelah Portugis dan Belanda menandatangani Tratado Demarcação E Troca De Algumas Possessoes Portuguese E Neerlandezas No Archipelago De Solor E Timor yang artinya Perjanjian Demarkasi Dan Pertukaran Beberapa Kepemilikan Portugis dan Belanda Di Kepulauan Solor dan Timor pada tanggal 20 April 1859, maka nama Queva yang telah diberikan oleh Portugis ditambahkan dengan kata “Pantai” dari kosakata bahasa Melayu. Dugaan penulis penambahan kata “pantai” di belakang kata “Queva” karena letak geografis wilayah ini yang berada di pinggir laut pulau Flores.

    Penaklukan wilayah di pinggir laut Flores oleh bangsa kolonial Portugis yang kemudian diberi nama “Queva” ini dalam pengertian bahwa wilayah itu telah dijadikan oleh Portugis sebagai wilayah evangelisasinya, sesuai dengan strategi bangsa kolonial Portugis yaitu Feitaria, fortaleza, a Igreja yang artinya perdagangan, dominasi militer dan evangelisasi. Dalam versi bahasa Inggris Feitaria, Fortaleza, a Igreja kemudian ditafsirkan menjadi Gold, Glory, Gospel.

    Pada saat wilayah utara Pulau Flores khususnya “Queva” dan Dondo jatuh dalam penaklukan Portugis, bangsa kolonial Portugis belum mendirikan Gereja ataupun benteng pertanahan sebagaimana yang dilakukannya di pulau Solor dan Adonara, Larantuka dan Sikka. Kolonial Portugis juga tidak menjalankan misi politica asimilados atau cassados serta moradores di tanah yang baru di wilayah ini yaitu strategi politik yang dilakukan dengan cara menikahi wanita lokal atau anak raja agar kehadirannya di daerah taklukan mendapat dukungan dari warga/raja setempat serta mendirikan pemukiman di wilayah sekitar Queva.

    Padahal misi bangsa kolonial Portugis yang dititahkan oleh Raja Portugal melalui Decreito Real de Portuguese tanggal 15 Maret 1538 yaitu sebuah keputusan raja yang memberikan hibah khusus kepada pria Portugis, yang sudah menikah dan menetap serta mengolah tanah tanah air baru (terra novo) di luar tanah Eropa, telah memberikan keistimewaan bagi pria Portugis yang menjalankan misi di seberang lautan. “By taking root in their new homelands they would at the same time roots for Portuguese interest” yang artinya dengan mengakar di tanah air baru mereka, mereka pada saat yang sama akan mengakar untuk kepentingan Portugis, demikian diuraikan dalam artikel Atakiwan, Casados, And Tupassi: Portuguese Settlement And Christian Communities In Solor And Flores (1536-1630).

    Di wilayah utara pulau Flores, Portugis hanya meninggalkan nama “Queva” dan Dondo. Pada periode berikutnya Santo Fransiskus Xaverius yang baru saja kembali dari Ternate, Maluku Utara untuk misi evangelisasinya, menginjakkan kakinya di Kolisia, sebuah wilayah berjarak 12 km dari kota Maumere ke arah utara Pulau Flores. Tempat yang disinggahi oleh Santo Fransiskus Xaverius sekembalinya dari Maluku ini kemudian hari dikenal dengan nama Wair Noke Rua (mata air suci).

    Sedangkan nama “Queva” dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi dengan menambahkan kata “pantai” (Queva Pantai). Aksen lokal warga setempat serta masyarakat Maumere pada umumnya kemudian menyebut “Queva – Pantai” dengan nama Kewapante.

    Selain mendapat pengaruh dari Portugis sehingga wilayah ini bernama Queva Pantai, wilayah ini pun menyisahkan kenangan akan jejak kehadiran Tionghoa serta Kerajaan Goa dimana selain memiliki nama Kewapante, wilayah ini juga memiliki nama lain yaitu Geliting (Goe Lie Thing) dan Bajo dari nama suku Bajo yang diperkenalkan oleh para pedagang pada masa kerajaan Goa.

    Saat ini nama resmi wilayah tersebut adalah Kewapante yang sesungguhnya berasal dari kata “Queva dari bahasa Portugis dan Pantai dari bahasa Melayu”, yang artinya wilayah taklukan di pesisir pantai.

    Sumber Tulisan :

    – Atakiwan, Casados, And Tupassi: Portuguese Settlement And Christian Communities In Solor And Flores (1536-1630)

    -Tratado Demarcação E Troca De Algumas Possessoes Portuguese E Neerlandezas No Archipelago De Solor E Timor, 20 de Abril de 1859

  • Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   

    Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   

    Indodian.com – Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang menaklukan sejumlah wilayah di Nusantara. Wilayah yang ditaklukan Portugis kemudian direbut oleh Belanda dengan cara perang, negosiasi, tipu muslihat hingga penjualan berkedok pertukaran wilayah. Kemudian hari wilayah-wilayah yang diperebutkan kedua bangsa Eropa ini menjadi bagian dari sebuah negara kepulauan terbesar di dunia yang bernama Indonesia.

    Kehadiran Portugis di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur pada abad ke XV hingga abad ke XVII tidak terlepas dari misi bangsa tersebut yaitu Feteiro, Fortaleza e Igreja yang kemudian hari ditafsikan dalam bahasa Inggris sebagai Gold, Glory, Gospel.

    Di Kabupaten Sikka selain kampung Sikka dan Paga yang telah dikenal secara luas sebagai bekas wilayah koloni Portugis masih terdapat sejumlah tempat lainnya yang setidak-tidaknya pernah mendapat pengaruh Portugis seperti Bola dan Kewapate dan Wai Noke Rua (Mata Air Santo).

    Gereja St. Ignatius Loyola di Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Gereja tua ini dibangun oleh Pastor kebangsaan Portugis, JF Engbers D’armanddavill pada tahun 1893. Foto (Infobaru.id)

    Meskipun saat ini tidak ada lagi penjajahan secara fisik di seluruh dunia, tetapi jejak dan pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka masih dapat ditemukan seperti Gereja Tua di Sikka, tanah kosong bekas bangunan Gereja di Paga, batu kubur tempat dikuburkannya 2 orang Portugis dan tarian Bobu serta meriam peninggalan Portugis di Paga, Watu Cruz di Bola.

    Laman: 1 2 3

  • Tenggelamnya Kapal O Arbiru,  Dili – Bangkok 1973 di Perairan Maumere, Flores

    Tenggelamnya Kapal O Arbiru, Dili – Bangkok 1973 di Perairan Maumere, Flores

    Indodian.com – O Arbiru adalah sebuah nama kapal barang berbobot mati 400 ton. Pada periode 1973 sewaktu Timor Leste masih menjadi Propinsi Seberang Lautan (Ultramarinas Provincia) dibawah kekuasaan Portugis, propinsi ini dipimpin oleh Gubernur bernama Fernando Alves Aldeia. Dapat dikatakan bahwa O Arbiru adalah alat transportasi laut terpenting bagi Pemerintah Portugal karena dengan kapal itu Pemerintah Portugaal di Lisbon dapat memenuhi kebutuhan pokok masyarakat Propinsi Seberang Lautan di Dili dan sekitarnya melalui Bangkok dan seterusnya menggunakan moda transportasi laut itu ke Dili.


    Hari itu Jumat tanggal 18 Mei 1973, Pemerintah Propinsi Seberang Lautan dan masyarakat Timor Portugis seharusnya merayakan sebagai “Hari Portugal”. Sejumlah kegiatan seperti resepsi, pertandingan olahraga, pameran, pasar malam yang lazim dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya dibatalkan oleh Gubernur Timor Portugis. Sebagai gantinya Gubernur Timor Portugis mengumumkan hari itu sebagai hari berkabung. Penduduk Timor Portugis diminta untuk mengibarkan bendera setengah tiang sehari penuh.
    Sebagaimana yang dikisahkan oleh Eliza Meskers Tomodok, Kepala Perwakilan RI di Dili, Timor Portugis (1972-1976), dalam bukunya “Catatan Hari-Hari Akhir Timor Portugis” ia menguraikan bahwa pada tanggal 28 April 1973, kapal O Arbiru meninggalkan Pelabuhan Dili menuju Bangkok dan melewati jalur utara kepulauan Alor ke arah barat menyusuri laut Flores.


    Sesuai rencana kapal itu akan bertolak ke Pelabuhan Bangkok untuk mengangkut 3.000 ton beras yang dikirimkan dari Lisbon untuk rakyat Timor Portugis. Sesuai dengan rencana pelayaran kapal O Arbiru dijadwalkan tiba di Bangkok pada tanggal 7 Mei 1973. Namun dalam pelayarannnya sejak tanggal 29 April 1973 komunikasi radio dan navigasi antara Dili dan kapten kapal O Arbiru terputus total.


    Turut serta dalam pelayaran itu adalah istri Komandan Angkatan Laut Timor Portugis dan anak serta 16 penumpang lainnya termasuk crew kapal. Pada mulanya komandan angktan laut di Dili menduga putusnya hubungan radio antara Dili dan sang kapten mungkin disebabkan oleh rusaknya radio komunikasi.


    Namun karena tidak ada komunikasi sama sekali, komandan Angkatan laut di Dili menanyakan kepada kedutaan besar di Bangkok apakah kapal itu sudah tiba di Bangkok sesuai jadwal pelayaran atau belum. Jawaban yang diperoleh bahwa kapal itu belum tiba di Bangkok. Sejak saat itu tepatnya tanggal 11 Mei 1973 komandan angkatan laut menanggap serius persoalan hilangnya kontak kapal O Arbiru dan terus mencari informasi posisi kapal.


    Pada mulanya pencarian dilakukan menggunakan pesawat udara T.A.T yang pada tanggal 12 Mei 1973 terbang mengikuti rute pelayaran O Arbiru guna mencari jejak kapal tersebut. Hari itu tidak ada petunjuk sama sekali sehingga pilot pesawat udara T.A.T memutuskan untuk bermalam di Denpasar. Pada kesokan harinya tanggal 13 Mei 1973 pencarian kembali dilakukan sepanjang perairan laut Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Alor namun tidak ada petunjuk apapun dari pencarian itu.


    Komandan Angkatan laut Timor Portugis meminta bantuan kepada Markas Besar Angkatan Laut Indonesia di Jakarta, melaporkan kejadian itu kepada perwakil Portugal di Jakarta, Bangkok, Manila, Singapura dan Kuala Lumpur. Sementara itu isu yang tersiar dalam masyarakat Dili saat itu adalah kapal O Arbiru “dikerjain” oleh pelaut-pelaut Indonesia.
    “Saya tidak tahu bagaimana reaksi Pemerintah Timor Portugis atas isu-isu semacam itu, tetapi saya tidaklah heran sekiranya ada yang termakan oleh isu itu. Apalagi diantara penumpang kapal ada istri dan anak Komandan Angkatan Laut Timor Portugis itu sendiri”, demikian tulis E.M Tomodok dalam bukunya Catatan Hari-Hari Akhir Timor Portugis.


    Turut sertanya istri serta anak komandan angkatan laut Timor Portugis adalah atas undangan kapten kapal. Pada awalnya kapten kapal mengundang istri Gubernur, Ny. Aldeia namun karena ia berhalangan maka dimintalah istri komandan angkatan laut untuk menggantikannya. Istri Komandan Angkatan Laut Timor Portugis sebenarnya setengah hati untuk menggantikan Ny. Aldeia dalam pelayaran itu, tetapi karena desakan suaminya, ia pun pergi bersama anaknya. Terdapat pula istri Mayor angkatan darat, istri kapten kapal dan istri direktus sebuah bank di Dili.


    Pada tanggal 16 Mei 1973, Komandan Angkatan Laut Timor Portugis menemui Kepala Perwakilan Indonesia di Dili yang meminta bantuan konsulat Indonesia. Tanpa membuang waktu Kepala Perwakilan Indonesia di Dili langsung menghubungi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan dan Gubernur NTT. Keesokan hari tanggal 17 Mei 1973 adalah hari pertama percobaan komunikasi telpon antara Dili dan Kupang. Kepala Perwakilan Indonesia di Dili meminta salah seorang stafnya bernama Saat untuk berbicara dengan Kantor Gubernur NTT di Kupang.


    Di ujung telpon dari Kantor Gubernur NTT, penerima telpon menjelaskan bahwa kapal tersebut tenggelam di laut Flores pada tanggal 29 April 1973 pukul 09.00 pagi. Salah seorang awak kapal telah diselamatkan dan berada di Maumere, Flores untuk mendapatkan pertolongan. Mendengar penjelasan itu Kepala Perwakilan Indonesia di Dili kemudian menyampaikan laporan kepada Kepala T.A.T, de Castro yang memimpin upaya pencarian kapal itu. Setelah itu Kepala Perwakilan Indonesia bersama dengan utusan Timor Portugis bertolak menuju Kupang dan terus melanjutkan perjalanan ke kota Maumere, Flores. Tiba di Maumere mereka di terima oleh pejabat setempat dengan penuh simpati.


    Komandan Resor Kepolisian 1708 Sikka, David Lameng dalam keterangan resmi tertulisnya mengatakan pada hari Minggu tanggl 29 April 1973 pukul 09.00, kapal O Arbiru diterjang badai antara pulau Sukun (Kab. Sikka) dan pulau Kalatoa (Kab. Selayar) di perairan Flores. Masinis kapal, Paulo de Rosario terapung-apung di laut selama 8 hari hingga akhirnya ia ditolong oleh perahu “Hidup Baru”.
    Ia lalu dibawa oleh nelayan ke Maumere untuk mendapat pertolongan dan ditampung di Pelabuhan Maumere hingga diserahkan ke perwakilan Timor Portugis yang hadir di Maumere. Tidak ada tanda-tanda bahwa penumpang kapal yang lain selamat. Proses serah terima kemudian dilakukan di Maumere dan setelah itu perwakilan Timor Portugis kembali ke Dili dengan membawa serta Paulo de Rosario, satu-satunya masinis yang selamat.
    Sementara itu di Dili, Ramos Horta yang saat itu bekerja untuk media A Voz de Timor (Suara Timor) memuat berita yang panjang yang menciptakan kesan kurang baik mengenai peranan Indonesia. Untuk menghindari salah paham, Kepala Perwakilan Indonesia kemudian mengundang Ramos Horta dari A Voz de Timor ke kantor konsulat untuk dimintai penjelasan apa sebab tidak dimuatnya berita belasungkawa dari Pemeritah Indonesia dan mengapa hanya ucapan belasungkawa dari Konsulat Taiwan yang dimuat dalam media itu.


    Ramos Horta lalu menjawab pimpinan redasksilah yang menentukan itu. Tidak puas dengan jawaban Horta, Kepala Perwakilan Indonesia lalu menyampaikan surat kepada pimpinan media A Voz de Timor dengan permintaan untuk dimuat di media. Pemimpun redaksi A Voz de Timor, Letnan Gomez tidak lain adalah Sekretaris Gubernur Timor Portugis. Gubernur Timor Portugis melalui Sekretarisnya Letnan Gomez kemudian mengakui adanya kesalahpahaman dan meminta maaf kepada perwakilan Indonesia di Dili.
    Gubernur Timor Portugis kemudian membuat bulletin khusus tentang bantuan yang diberikan oleh semua pihak termasuk Indonesia. Menurut penjelasan Gubernur Timor Portugis, kekhilafan terletak pada dirinya dan sulit memberi penjelasan kenapa ia khilaf. Mendengar penjelasan itu Kepala Perwakilan Indonesia lalu mengambil langkah bijak agar tidak menimbulkan pertentangan di tengah masyarakat ia pun menerima permintaan maaf Gubernur Timor Portugis dan surat terbuka yang telah ia siapkan disepakati untuk tidak tidak diumumkan.


    Hingga kini bangkai kapal O Arbiru masih berada di perairan laut Flores tidak jauh dari kota Maumere. Masyarakat kota Maumere dan pesisir utara Pulau Flores menyebut bangkai kapal itu dengan nama Kapal Takalayar. Inilah kisah tenggelamnya kapal O Arbiru atau Takalayar, moda transportasi laut terpenting Pemerintah Timor Portugis saat itu.

    Sumber :
    CATATAN HARI-HARI AKHIR TIMOR PORTUGIS, E. M TOMODOK, CETAKAN I, Pustaka Jaya,1994

  • Jejak Portugis di Paga      

    Jejak Portugis di Paga      

    Indodian.com – Paga adalah sebuah wilayah kecamatan di kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini masih termasuk dalam wilayah suku Lio (Lio ethnic area) yang berbatasan dengan kabupaten Ende di sebelah barat. Mitologi warga setempat mengisahkan bahwa Paga berasal dari kata Pagan yang diberikan oleh Portugis yang artinya menyembah berhala.

    Sejak dahulu jejak Portugis di Paga hanya dikenal melalui marga da Costa. Diakui atau tidak diakui bahwa sejarah kehadiran bangsa kolonial Portugis di kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur didominasi oleh cerita tentang kehadiran Portugis di kampung kecil bernama Sikka.

    Pada medio Februari 2012, sebuah website berbahasa Portugis Journal de Noticias yang berbasis di Lisbon memuat sebuah artikel dengan judul “Descendentes Do Rei De Sica Querem Museu Para Tesouro Português”, artinya Keturunan Raja Sikka Menginginkan Museum Untuk Harta Karun Portugis. Entah apa sebabnya generasi modern saat ini hanya mereka-reka antara percaya tidak percaya apakah betul kolonial Portugis pernah meninggalkan jejak di Paga.

    Paga adalah sebuah wilayah kolonial Portugis di selatan pulau Flores. Pada masa kejayaan Portugis di abad XV hingga XVII hampir semua wilayah di kepulauan Flores yang mendapat pengaruh atau yang pernah memiliki jejak kolonial Portugis umumnya berada di sisi selatan pulau ini. Dimulai dari pulau Solor, pulau Adonara, Larantuka, Sikka, Paga dan pulau Ende semuanya berada di wilayah pesisir selatan laut Sawu.

    Alasan utamanya adalah karena dengan menguasai pesisir selatan pulau Flores, kolonial Portugis dengan mudah dapat melakukan pelayaran ke Pulau Timor dan sekitarnya yang memiliki kayu cendana putih yang sangat mahal harganya di pasaran Eropa saat itu. Pada masa itu pulau Ende yang kita kenal saat ini  dikenal dengan sebutan Ilha de Grande (Pulau Besar) untuk menggantikan Nusa Eru Mbinge sebagai nama asli pulau itu.

    Sejumlah penulis sejarah kolonial Portugis seperti, Francisco Vieira de Figuierido yang menulis buku Portugues Merchant Adventure In South East Asia 1624-1667, Fernando Figuerido dengan karyanya Timor, A Presence Portugesa, Isabel Boavida dengan tulisannya A Presenca Portuguesa No Pasifico. A Missionação, No Preceso Colonial de Timor O E Seu Patrimonio Arqueitecnico Hoje/ Kehadiran Portugis di Pasifik. Misi, Di Era Pendahuluan Kolonial Timor Dan Warisan Arsitekturnya Saat Ini)  atau Hans Hagerdald melalui karyanya berjudul Lord of the Sea, Lord Of the Land, Conflict And Adaptation In Early Colonial Timor, 1600-1800/ Tuan di Laut, Tuan di Darat, Konflik Dan Adaptasi Di Awal Kolonial Timor, 1600-1800 hampir tidak pernah menulis kisah tentang kehadiran Portugis di Paga serta Pulau Ende.

    Padahal bentang sejarah kehadiran Portugis di Pulau Timor tidak dapat dipisahkan dari kehadiran Portugis di Pulau Flores dan sekitarnya. Kecuali Alfonso de Castro dengan karyanya berjudul “As Possessoes Portuguezas na Oceania” (Kekayaan Portugis di Oceania)yang sedikit menulis tentang Paga sebagai wilayah kolonial Portugis saat itu namun ia hanya merujuk pada marga da Costa yang diwariskan oleh kolonial Portugis.

    Terlepas dari tidak ditulisnya jejak kolonial Portugis di Paga oleh para penulis di atas, jika pembaca artikel ini memiliki pertalian darah atau perkawinan atau pertemanan atau setidak-tidaknya pernah mengunjungi Paga, maka di Paga kita dapat dengan mudah melihat sebagian masyarakat Paga saat ini memiliki ciri fisik yang berbeda dengan kebanyakan orang Flores pada umumnya.

    Alasan utama mengapa Portugis selalu menikahi wanita lokal di “terra coloni” (tanah terjajah) karena pasca penandatanganan perjanjian Tordesillas (Tratado de Torsesilllas) tanggal 7 Juni 1494 yaitu sebuah perjanjian pembagian tanah yang baru (nueva tierra) yang ditemukan di luar Eropa antara Portugis dan Spanyol maka Portugis diberi kebebasan untuk menguasai sepenuhnya seluruh wilayah di luar Eropa sepanjang garis Meridian 370 Liga melewati Cape Verde, Afrika Selatan ke arah timur, sedangkan Spanyol menguasai seluruh wilayah sebelah barat Cape Verde kearah benua Amerika.

    Pasca penandatanganan Perjanjian Tordesillas maka Portugis kemudian menerapkan strategi politik yang bernama politica asimilados yaitu sebuah strategi politik dengan cara menikahi wanita lokal atau anak raja agar kehadirannya di terra colonial (tanah jajahan) mendapat dukungan dari masyarakat lokal atau raja setempat.

    Strategi politik Portugis ini berbeda jauh dengan strategi politik Belanda yang dikenal dengan nama Devide et Impera atau politik pecah belah. Keturunan dari hasil perkawinan Portugis yang menggunakan strategi “politica asimilados” inilah yang kemudian hari disebut Topass atau Mestizo yang artinya Portugis Hitam (Black Portugess). Belanda menyebutnya dengan zwart Portugess.

    Mateo da Costa dan Antony da Hornai da costa adalah dua bersaudara yang lahir dari hasil perkawinan warga Portugis dengan wanita Larantuka. Kedua sosok ini kelak membentuk sebuah kelompok bernama “Larantuqueros” yang artinya orang Larantuka, kelompok yang dianggap membahayakan serta ditakuti oleh Portugis dan Belanda. Bahkan Jacob van der Hijden, komandan pasukan Belanda yang membawahi Solor dan Timor yang pernah menaklukan kerajaan Sonbai,  tewas di ujung pedang Antony a Hornay da Costa.

    Kembali ke Paga.

    Selain meninggalkan marga da Costa di Paga juga terdapat sebuah batu kubur yang dalam bahasa Lio disebut “Musu Mase”. Warga sekitar meyakini jika di kubur batu ini adalah tempat dikuburkannya kepala serta badan dari dua orang Portugis oleh Antony da Costa seorang warga lokal keturunan Portugis yang pemberani. Generasi Antoni da Costa atau dikenal dengan nama Mamo Ndona inilah yang kemudian hari melahirkan Bapak Daniel Woda Palle, mantan Bupati Sikka (1977-1988) serta mantan Ketua DPRD Provinsi NTT (1999-2004).

    Selain Bapak Daniel Woda Palle, secara genealogis generasi keturunan Antony da Costa kini tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Selain itu juga di Paga terdapat sebuah meriam peninggalan Portugis serta sebuah tempat di tepi pantai yang diyakini tempat pertama kali Portugis menginjakkan kaki di Paga serta mendirikan sebuah Gereja Katolik yang dalam istilah setempat disebut Gereja Manu. Saat ini bangunan Gereja sudah tidak ada lagi namun hanya menyisahkan tanah kosong serta jejak batu di bekas bangunan Gereja tersebut

    Sementara itu secara de jure dalam sebuah dokumen yang bernama Tratado Demarcação E Troca De Algumas Possessoes Portuguese E Neerlandezas No Archipelago De Solor E Timor yang artinya Perjanjian Demarkasi Dan Pertukaran Beberapa Kepemilikan Portugis dan Belanda Di Kepulauan Solor dan Timor yang ditandatangani Dom Pedro V dan Mauricio Helderwier tanggal 20 April 1859, wilayah Paga bersama dengan Sikka, Larantuka, Wureh Adonara, Pamong Kaju Solor, Lomblen, Alor dan Pantar diatur dalam pasal 7 perjanjian itu untuk diserahkan oleh Portugis kepada Belanda. Dalam teks asli perjanjian tersebut yang berbahasa Portugis, berbunyi sebagai berikut :

    Artigo 7

    Portugal cede a Neerlandia as possessoes seguintes :

    Na ilha de Flores, os estados de Larantuca, Sicca e Paga com suas dependecias; na ilha de Adonara, o estado de Wureh, na ilha do Solor, o estado de Pamang Kaju.

    Portugal desiste de todas as pretensoes que poderia talvez fazer valer sobre outros estadis ou logares, situados nas supramencionadas ilhas, ou nas de Lomblen, de Pantar e de Ombay, quer estes estados usem da bandeira portugueza, quer da neerlandeza.

    Artinya :

    Portugal menyerahkan kepada Belanda harta benda berikut:

    Di pulau Flores, negara bagian Larantuca, Sicca dan Paga dengan dependensinya; di pulau Adonara negara bagian wureh, di pulau Solor negara bagian Pamang Kaju.

    Portugal melepaskan semua klaim yang telah dibuatnya atas negara bagian atau tempat lain yang terletak di pulau-pulau tersebut, atau di Lomblen, Pantar dan Ombay, baik negara bagian ini menggunakan bendera Portugis atau Belanda.

    Sebagai gantinya dalam ketentuan lain dari perjanjian tersebut Portugis diberi hak untuk menguasai seluruh wilayah Timor bagian timur (kini Timor Leste), Oekusi serta pulau kambing (Ilha de Kambing) yang lebih dikenal dengan nama Pulau Atauro. Total seluruh ganti rugi yang diberikan oleh Belanda kepada Portugis sebesar 200.000 florins (mata uang kuno Belanda) yaitu sejumlah 80.000 florins diserahkan tahun 1851, ketika Portugis kehabisan uang pasca pemindahan pusat kekuasaannya dari Lifau ke Dili tahun 1769, pemindahan pusat kolonial Portugis ini adalah untuk kedua kalianya setelah sebelumnya pasca kekalahan Portugis di Pulau Solor dengan kelompok Solor Watan Lema (Cinto Grupos) yang dibantu oleh pasukan Belanda dan bala bantuan dari Kesultanan Ternate.

    Sementara itu sisanya sebesar 120.000 florins diserahkan satu bulan pasca penandatanganan perjanjian tahun 1859 di Lisboa. Pada saat terjadi negosiasi itu Parlemen Belanda sempat menyampaikan keberatan karena tidak dimuatnya pasal yang memberi kebebasan untuknya membawa misi Protestan, namun Portugis tetap pada pendiriannya bahwa Katolik yang sudah diperkenalkan kepada masyarakat di Flores dan sekitarnya harus tetap menjadi agama masyarakat (religiao do comunidade).

    Menurut Karel Steenbrink dalam bukunya Orang-Orang Katolik Indonesia Jilid I, penerbit Ledalero, Maumere, dikemukakan bahwa prinsip kolonial Portugis addalah bendera boleh diganti, namun agama tidak boleh  diganti. Menurut hemat penulis, meskipun judul perjanjian tersebut adalah perjanjian pertukaran dan demarkasi wilayah kolonial namun dalam konteks hukum perjanjian internasional, perjanjian kedua bangsa kolonial tersebut lebih tepat disebut sebagai perjanjian jual beli wilayah kolonial.

    Sebagai akhir dari tulisan ini maka perlu diketahui bahwa pada saat itu Portugal dipimpin oleh seorang raja bernama Fernando II (menjabat sejak 1837 hingga 1853). Ia kemudian menunjuk Jose Joaquim Lopes de Lima  sebagai gubernur koloni terpisah Portugis di seberang lautan sejak 3 Juni 1851 hingga 15 September 1851. Jose Joaquim Lopes de Lima kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Portugis di Makau sejak tanggal 15 September 1851 yang membawahi seluruh wilayah Timor, Flores, Solor, Adonara, Alor serta Atauro.

    Jabatannya sebagai Gubernur Portugis di Makau ini tidak bertahan lama karena Jose Joaquim Lopes de Lima meninggal dunia pada tanggal 8 September 1852 di Makau. Banyak penulis sejarah kolonial Portugis menduga bahwa kematian Jose Joaquim Lopes de Lima pada tahun 1852 erat kaitan dengan pengkhianatannya pada Raja Portugal dimana pada tahun 1851 ytanpa persetujuan Raja telah bersekutu dengan Belanda untuk melakukan “perundingan” dengan pemerintah kolonial Belanda untuk melepaskan wilayah kekuasan Portugis termasuk Paga.

    Inilah akar sejarah mengapa Paga, Sikka, Larantuka, Flores, Adonara, Solor, Alor, Pantar dan Timor Barat menjadi wilayah kolonial Belanda dan kini menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedangkan Timor bagian timur, Oekusi serta Pulau Atauro menjadi wilayah kolonial Portugis dan kini menjadi wilayah terirotial Republica Democratica de Timor Leste.

  • Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan

    Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan

    Indodian.com Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau mencapai lebih dari 17.000 pulau. Dari ribuan pulau tersebut terdapat 4 pulau yang kepemilikannya dikuasai secara bersama oleh Indonesia dengan beberapa negara yaitu pulau Papua (dimiliki oleh Indonesia & Papua New Guinea), pulau Kalimantan/Borneo (dimiliki oleh Indonesia, Malaysia dan Brunei Darusalam), pulau Sebatik (dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia) dan pulau Timor (dimiliki oleh Indonesia dan Timor Leste).

    Kepemilikan keempat pulau secara bersama oleh Indonesia dan beberapa negara tersebut memiliki bentang sejarah yang panjang dan berbeda antara satu pulau dan pulau lainnya. Demikian pula pulau Timor yang dikuasai oleh Indonesia dan Timor Leste. Berikut kisahnya.

    Maukatar adalah sebuah sub distrik di wilayah Cova Lima, Timor Leste. Dahulu sebelum Mahkamah Tetap Arbitrase Internasional memutuskan sengketa wilayah kekuasan Portugis dan Belanda, Maukatar menjadi wilayah enklave Belanda di tengah wilayah jajahan Portugis. Keberadaan Maukatar sebagai wilayah enklave ini mirip seperti wilayah Oekusi, daerah enklave Portugis yang berada di tengah-tengah daerah kekuasaan koloni Belanda.

    Setelah Belanda meninggalkan tanah Timor dan Indonesia membentuk pemeritahannya sendiri, wilayah Oekusi yang berada di tengah Propinsi NTT (diapit oleh kabupaten Kupang, Timor Tengah Utara dan Belu) tetap menjadi bagian dari propinsi seberang lautan koloni Portugis (Ultramarinas provincia). Lepasnya Timor Timur dari Indonesia melalui referendum tahun 1999 menjadikan Oekusi sebagai daeah enklave di Indonesia yang berstatus sebagai daerah otonomi khusus yang dipimpin oleh Dr. Marí bin Amude Alkatiri, sebagai Presiden Daerah Otonomi Khusus (Presidente da Regiao Autonoma Especial de Oecusse).

    Selain Oekusi sebagai wilayah enklave Portugis (kini: Timor Leste) yang berada di tengah Propinsi NTT, terdapat pula sebuah wilayah sub distrik bernama Maukatar yang berada di Cova Lima, Timor Leste yang dulunya merupakan wilayah enklave Belanda di wilayah jajahan Portugis dan Noe Muti sebagai wilayah enklave Portugis di wilayah jajahan Belanda.

    Keberadaan Maukatar, Noe Muti dan Oekusi sebagai wilayah enklave ditetapkan oleh kedua bangsa “kulit putih” itu dalam 2 buah perjanjian yang berbeda yaitu Timor Agreement 1859 dan Lisbon Convention 1899.
    Di dalam Timor Agreement 1859 Portugis dan Belanda bersepakat untuk membagi wilayah Timor dalam 2 kekuasaan yaitu wilayah Barat dikuasai Belanda & wilayah Timur dikuasai Portugis. Batas kedua wilayah jajahan disepakati berada di Sungai Noel Meto & Noel Bilomi.

    Dalam perjanjian ini juga disepakati bahwa Portugis melepaskan sebagian wilayah jajahannya yaitu Flores, Solor, Adonara, Lembata dan Alor dan diserahkan kepada Belanda dengan harga 200.000 Guildars yang dibayarkan dalam 2 termin yaitu 80.000 Guildars diserahkan kepada Lopez da Lima di Dili dan 120.000 diserahkan kepada Ratu Victoria di Lisbon.

    Berikutnya, sejak tanggal 20 April 1859 bendera nasional Portugal yang dikibarkan di wilayah Flores, Solor, Adonara, Lembata serta Alor digantikan oleh bendera Belanda. Penduduk pulau Flores, Solor, Adonara, Lembata dan Alor yang sudah menganut agama Katolik tidak boleh digantikan oleh agama Protestan. Sebagai gantinya Belanda diberi hak untuk mengirimkan Zendeling (misionaris Protestan) untuk membaptis penduduk Timor Barat, Sabu, Rote, Sumba dan Alor yang masih menganut paganisme menjadi Protestan.

    Penduduk yang sudah menganut agama selain Katolik atau Protestan diberikan kekebasan untuk tetap menjalankan agamanya. Demikianlah isi perjanjian Timor yang teks aslinya berbahasa Belanda dan Portugis.
    Berbeda dengan Timor Agreement 1859, dalam Lisbon Convention 1899, Belanda kemudian memperluas wilayah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Noel Meto dan Portugis mengklaim Noemuti menjadi wilayah enklave keduanya di daerah jajahan Belanda setelah Oekusi. Hal inilah yang menjadi cikal bakal sengketa hukum antara Belanda dan Portugal di Mahkahmah Tetap Arbitrase Internasional di Paris. Dalam tuntutannya kepada Hakim Arbiter, Belanda meminta agar wilayah enklave Maukatar yang berada di wilayah distrik Cova Lima diserahkan kepada kepadanya sebab Portugis sudah memperoleh wilayah enklave Oekusi.

    Dilain pihak Portugis meminta agar wilayah enklave Oekusi dan Noemuti tetap menjadi miliknya.
    Setelah bersengketa selama 10 tahun maka pada tanggal 25 Juni 1914 Mahkahmah Tetap Arbitrase Internasional memutuskan bahwa Noemuti menjadi milik Belanda, Maukatar sebagai wilayah enklave Belanda ditengah wilayah koloni Portugis diserahkan kepada Portugis, wilayah enklave Oekusi tetap menjadi milik Portugis. Hakim Arbiter pun memutuskan bahwa semua kesepakatan penjualan wilayah koloni Portugis kepada Belanda yang meliputi Flores, Solor, Adonara, Lembata dan Alor tetap dinyatakan sah.

    Batas darat Belanda dan Portugis ditarik berada di Mota’ain sebelah utara hingga ke Mota Masin sebelah selatan. (Sumber : Boundaries In The Island Of Timor, Netherlands V. Portugal).
    Setelah Belanda meninggalkan Indonesia, sesuai dengan prinsip uti possidetis iuris maka seluruh wilayah bekas jajahan Belanda sebagai bangsa penjajah kembali menjadi milik pihak terjajah.

    Inilah alasan mengapa Flores, Solor, Adonara, Lembata dan Alor dan Timor Barat menjadi milik Belanda dan kini menjadi Propinsi Nusa Tenggara Timur dalam bingkai NKRI, sedangkan wilayah Oekusi dan pulau Timor bagian Timur menjadi milik Portugis dan kini menjadi negara RDTL. Kisah diatas pun menjadi alasan mengapa bangsa Portugis untuk waktu yang cukup lama menyebut Pulau Timor dengan julukan, uma sala dos mestres” yang artinya Timor, satu ruang dua tuan.

  • Fosil Budaya Purba Flores (2)

    Fosil Budaya Purba Flores (2)

    Indodian.com – Penggalian (ekskavasi) secara sistematis oleh Tim Ekspedisi I dan II Verhoeven pada rentang waktu tahun 1951-965 di hampir semua gua-alam di Flores (Liang Bua, Liang Momer, Liang Toge, Mata Menge) telah berhasil menemukan tengkorak dan rahang serta tulang-belulang manusia purba.   

    Hasil-hasil penemuan ini dikirim ke Universitas Utrecht, Nederland, untuk diuji dan dianalisa oleh Prof. Dr. Huizinga dan Prof. Dr. von Koeningswald yang kemudian menetapkan bahwa kerangka manusia yang berbentuk pipih dan pendek itu tergolong dalam ras Negrito, sedangkan kerangka manusia yang kepalanya berbentuk “dolichocephal” dan yang memiliki bentuk geraham yang amat besar itu tergolong  dalam ras Proto-Negrito. Hasil penemuan ini ternyata dapat memberikan jawaban atas persoalan penyebaran ras-ras di kepulauan Indonesia. 

    Untuk pertama-kalinya dibuktikan oleh penemuan ini bahwa “ras Negrito adalah juga pendukung kebudayaan gua di Indonesia atau kebudayaan bertingkat epi-paleolithis”, selain ras Austro-Melanesoid   di Jawa dan Sumatera serta ras Wedoid di Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu antropolog, Paul Schebesta SVD menegaskan bahwa ras Negrito ini benar-benar terbukti pernah hidup di pulau Flores, dan tentunya telah pula tersebar lebih jauh lagi ke Asia Selatan dan Tenggara, walaupun kehadiran ras ini di Jawa dan Sumatera serta Kalimantan belum pernah bisa dibuktikan.

    Temuan di Bidang Paleontologis

    Pertama, Fauna Gua Bertingkat Sub-fosil

    Tim Ekspedisi II Verhoeven menemukan bahwa dalam lapisan-lapisan gua-gua alam di Flores terdapat banyak sekali rahang dan gigi serta tulang-belulang dari berjenis-jenis binatang sebagai remah-remah makanan dari manusia purba penghuni gua-alam. Sub-fosil Fauna Gua ini dikirim kepada Dr. P. A. Hooyer dan Dr. L. D. Brongersma di Universitas Leyden-Nederland untuk dipelajari dan dianalisa. Hasil studi dan kajian para Sarjana ini ditetapkan sebagai berikut:

    • Jenis Tikus Raksasa. Penemuan ini membuktikan bahwa pada masa pleistosen-awal (600.000-100.000 tahun yang lampau)10 telah hidup di daratan Asia Tenggara banyak jenis tikus besar.
    • Sub-fosil Landak, Babi rusa, Kijang, Anjing, Kera, Kalong, pelbagai jenis Kerang dan Siput. Penemuan ini membuktikan bahwa jenis-jenis binatang tersebut di atas ini merupakan makanan dari manusia purba Flores penghuni gua-gua alam, yang hidupnya berburu binatang-binatang kecil baik di daratan maupun di dalam air. Itu berarti bahwa binatang-binatang tersebut telah hidup di Flores pada zaman pleistosen-awal.

    Kedua, Fauna Daratan Pre-historis Bertingkat Fosil

    Lewat bantuan penduduk lokal dan para ahli arkeologi dari Bogor, pada bulan Desember 1956 Tim Ekspedisi II Verhoeven berhasil menemukan fosil sejenis Stegodon pada lapisan pleistosen di daratan Ola Bula dan Mengeruda (Kabupaten Ngada, Flores Tengah) sebagai “subspecies baru” dari golongan Gajah. Penemuan terpenting di bidang Paleontologis ini dibenarkan oleh Dr. Dirk von Hooijer, yang memberi nama bagi subspecies baru ini sebagai Stegodon Trigonocephalus Florensis.

    Fosil-fosil dari Stegodon ini ditemukan di tepi sebuah sungai besar sepanjang 10 km pada lapisan-tanah sedalam 1-3 meter. Bentuk Stegodon Florensis ini lebih kecil dibandingkan dengan yang hidup di pulau Jawa, tetapi memiliki puncak geraham yang lebih tinggi.

    Species ini diperkirakan hidup di Flores pada zaman pleistosen-tengah dan akhir (400.000-8.000 tahun yang lampau). Diduga bahwa Stegodon Florensis ini berpindah dari pulau Jawa melalui rangkaian pulau Bali dan Lombok serta Sumbawa pada zaman Quartair atau “the ice ages” ketika permukaan air laut menurun, sehingga pulau-pulau di Nusa Tenggara  dapat saling dihubungkan oleh jembatan-jembatan tanah (land bridges) yang dapat dilalui oleh binatang-binatang itu.


    Penemuan fosil Stegodon Florensis ini telah turut menggoncangkan “teori Wallace-line” untuk segera direvisi dan dikaji-ulang. Menurut Alfred R. Wallace, garis-batas antara fauna Asia dan fauna Australia itu berjajar antara Kalimantan Timur dan Sulawesi lalu diteruskan ke selatan antara Bali dan Lombok. Namun dengan penemuan fosil Stegodon Florensis ini, tampak dengan jelas bahwa pulau Flores pun termasuk daerah fauna Asia. Jadi besar kemungkinan bahwa garis-batas fauna Asia semestinya masih lebih ke Timur lagi. 

    Hasil penemuan fosil gading gajah purba Stegodon dan fosil kerangka tulang-belulang manusia purba Flores ini dipublikasikan di majalah ilmiah ANTHROPOS volume 53Tahun 1958 di Modling-Austria. Publikasi ini dalam waktu singkat menarik perhatian dan mendapat tanggapan para ilmuwan dan arkeolog dari seluruh pelosok dunia, karena ada yang menyangsikan hasil-hasil temuan Verhoeven.

    Kendatipun demikian, Verhoeven tetap berusaha mencari hubungan antara hewan purba dan manusia purba di Flores, sehingga pada tahun 1963 Verhoeven SVD bersama Mommersteeg SVD dan J. Maringer SVD dibantu masyarakat lokal melakukan lagi ekskavasi di Mata Menge dan Boa Leza, wilayah cekungan Soa-Kabupaten Ngada, dan menemukan lagi fosil kerangka gajah purba jenis Stegodon dan pelbagai artefak batu yang telah berusia 750.000 tahun. Temuan artefak batu ini mengindikasikan bahwa di wilayah ini pernah hidup sekelompok manusia purba, karena ada semacam simbiosis mutualisme antara hewan purba dan manusia purba. 

    Menghadapi tanggapan negatif dari beberapa arkeolog mapan dan ilmuwan yang menyangsikan hasil-hasil temuannya, pada tahun 1965 Verhoeven SVD dibantu oleh Rokus Due Awe (anak angkatnya) bersama masyarakat lokal melakukan ekskavasi besar-besaran di Liang Bua, kini bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai, hanya sedalam 4 meter dan berhasil menemukan fosil pigmi gajah Stegodon, artefak batu, dan tulang-belulang manusia purba yang diduga dari species Homo Erectus dengan tinggi badan 103 centimeter.

    Berdasarkan seluruh hasil ekskavasi dan temuan ini, Verhoeven SVD merumuskan satu kesimpulan teoretis bahwa species Homo Erectus telah menghuni pulau Flores pada 750.000 tahun yang lampau karena species ini adalah penghuni gua-gua alam dan makanan-utamanya adalah beberapa jenis hewan purba. 

    Satu kejutan baru terjadi lagi pada tanggal 11 Juli 1998, ketika Tim Ekspedisi Museum Bikon-Blewut (P. Piet Petu SVD dan P. Ansel Doredae SVD) menemukan satu fosil tengkorak manusia raksasa (a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio (Kabupaten Ngada, Flores Tengah), yang terletak hanya 12 km dari lokasi penemuan fosil-fosil gajah Stegodon Florensis. Fosil ini sedang dipelajari atas dasar hipotesis bahwa besar kemungkinan fosil tengkorak manusia raksasa ini mempunyai kaitan – historis dengan fosil gajah Stegodon Florensis.

    Temuan Artefak “Lower – Paleolithic

    Dengan bantuan para arkeolog dan geolog dari Bandung, pada tahun 1959-1960 Verhoeven juga menemukan fosil-fosil vertebrata lainnya dan fosil tumbuh- tumbuhan serta beberapa jenis siput. Di antara fosil – fosil ini terdapat juga tektit-tektit yang, menurut Prof. von Koeningswald, sudah ada di pulau Flores pada masa akhir Pleistosen – Tengah (400.000 – 18.000 tahun yang lampau) dan juga artefak – artefak paleolithicum – bawah (Lower – Paleolithic) seperti misalnya “chooper” dan “chooping tools” atau alat-alat batu tua.

    Artefak-artefak zaman lower – paleolithic ini menunjukkan “kesamaan periode waktu” dengan artefak-artefak Budaya Sangiran dan Pacitan di Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa sejarah zaman batu tua (paleolithicum) di Flores ternyata lebih tua dari pada yang diperkirakan.

  • Kategori Hasil Penemuan Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores (1)

    Kategori Hasil Penemuan Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores (1)

    Indodian.com – Theodor Verhoeven, SVD menemukan fosil gajah purba jenis Stegodon pada tahun 1956 di Ola Bula, Mata Menge, Kabupaten Ngada yang berusia 400.000 tahun. Hasil penemuannya ini mematahkan Teori Wallace Line yang mengatakan bahwa daratan Indonesia Timur, termasuk Flores, tidak pernah bergabung dengan pulau-pulau lain di Indonesia Barat pada zaman glacial atau zaman es yang terjadi sekitar 19.000 tahun yang lalu.  Hasil penggalian fosil dan artefak budaya Flores dikategorikan dalam beberapa kelompok sebagai berikut:

    Artefak Kebudayaan Neolithicum (Zaman Batu Muda) Flores

    Sejak tahun 1950, Dr. Verhoeven berhasil mengumpulkan 150 buah kapak dan beberapa alat neolithis yang lain. Alat- alat kebudayaan neolithis ini diperoleh dari tangan penduduk lokal di Flores dan juga ditemukan pada bekas-bekas kampung lama. Kapak-kapak tersebut dapat digolongkan ke dalam beberapa tipe: (a) Kapak persegi-panjang (tipe Jawa), (b) Kapak lonjong (tipe Papua), (c) Kapak berpunggung atas atau dakvorming (tipe Seram), (d) Kapak berbentuk campuran.

    Tipe kapak yang paling banyak ditemukan adalah kapak persegi-panjang (tipe Jawa), walaupun ada juga sejumlah kecil kapak lonjong (tipe Papua). Kapak-kapak tipe Jawa dan Papua ini ditemukan di wilayah Timur pulau Flores. Hal ini menunjukkan bahwa “pulau Flores berada di daerah pertemuan unsur-unsur Barat dan Timur dari era Neolithicum Indonesia.”

    Dan berhubung hingga saat ini belum ditemukan tempat pembuatan dan pengasahan alat- alat ini di Flores sebagaimana di Jawa dan Sulawesi Selatan, maka diperkirakan kapak-kapak ini datang dari luar Flores. Itu berarti bahwa kebudayaan neolithicum Flores belum lama lampau.

    Tambahan lagi kehadiran tipe-tipe kapak ini, pada zaman Neolithicum (4.500-2.500 tahun yang lampau), hanya bisa membuktikan bahwa penduduk pulau Flores pada waktu itu sudah bercocok-tanam (ada jenis kapak untuk upacara menanam padi) dan memelihara ternak serta bermukim di kampung-kampung. Mereka juga sudah mengenal kesenian berupa ukiran-ukiran pada tanah bakar dan pada dinding rumah serta pada perabot-perabot lainnya (ada jenis kapak untuk memahat).

    Laman: 1 2 3