“Teknologi tidak akan menggantikan guru hebat, tetapi teknologi di tangan guru hebat akan transformasional” (George Couros).
Indodian.com-Tak dapat disangkal bahwa pendidikan merupakan senjata yang tepat untuk memerangi kebodohan, kejahatan, ketidakadilan, kemiskinan, ketertindasan dan perbudakan. Karena itu hakikat pendidikan sebenarnya ialah proses memanusiakan manusia.
Dalam konteks hidup bernegara, pendidikan merupakan hal pokok yang akan menopang kemajuan suatu bangsa. Kemajuan suatu bangsa dapat diukur dari kualitas dan sistem pendidikan yang ada. Suatu negara dianggap jauh dan tertinggal dari negara lain, manakala kualitas pendidikannya rendah. Begitu juga sebaliknya.
Dari data yang ada, kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun.
Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999). Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Bahkan dari data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survei dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Data dan fakta di atas setidaknya menjadi potret buram pendidikan kita. Bahwa sebenarnya pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Pertanyaannya, bagaimana dengan situasi pendidikan kita di era disrupsi dewasa ini? Dengan melihat tendensi dan dominasi perkembangan teknologi yang pesat dan menjalar liar dalam sektor pendidikan.
Merebaknya Fenomena Disrupsi Teknologi
Diskursus dan pembicaraan tentang disrupsi telah menjadi topik dan kajian utama lintas ilmu. Fenomena disrupsi yang kini merambah hampir ke seluruh dimensi kehidupan manusia mulai mendapat perhatian banyak orang dan dunia. Menghadapi fenomena baru ini, muncul respon yang beragam dari warga dunia. Ada yang melihat fenomena ini sebagai peluang yang mesti dimanfaatkan secara maksimal, namun ada juga yang menilainya sebagai tantangan baru yang tidak dapat dielakkan.
Salah satu faktor utama yang melahirkan era disrupsi ini ialah perkembangan teknologi yang canggih dan eksponensial (perkembangan yang berlipat ganda). Sebab pada dasarnya teknologi dalam perkembangannya dapat mengubah wajah dunia. Teknologi melahirkan suatu revolusi, dimana revolusi teknologi berhasil menunjukkan perubahan yang terjadi pada manusia dalam melakukan proses produksinya. Kemajuan teknologi digital dan informasi secara masif mempengaruhi kehidupan manusia, sehingga menumbuhkan teori disrupsi. Karena itu, dinamika masyarakat dalam menjawabi tantangan disrupsi, harus mendudukan manusia sebagai subyek dari perubahan itu sendiri.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menerangkan kata disrupsi sebagai “sesuatu yang tercerabut dari akarnya”. Dengan demikian, dalam konteks tertentu, istilah disrupsi ini dapat dipahami sebagai era atau zaman, yang mana pada zaman tersebut terjadi kekacauan dan ketercabutan dari akar-akarnya. Era atau zaman terjadinya perpindahan, dari kenyataan lama ke kenyataan baru, yaitu perpindahan fisik, geografis, ke kenyataan dunia maya, mulai dari komunikasi, informasi, permainan, dan pemetaan.
Disrupsi dan Masa Depan Pendidikan Kita
Perkembangan teknologi digital yang cepat dan eksponensial secara masif mendisrupsi dan mengubah sistem dan metode pendidikan kita. Menanggapi fenomena disrupsi pendidikan ini, Jack Ma chairman executive Alibaba group dalam pertemuan tahunan World Economic Forum 2018, mengatakan bahwa pendidikan adalah tantangan besar pada abad ini. Jika tidak mengubah cara mendidik dan belajar mengajar 30 tahun mendatang kita akan mengalami kesulitan besar.
Tentu Jack Ma mengeluarkan pernyataan ini bukan tanpa alasan, tetapi ia tahu persis bahwa gelombang disrupsi yang ditandai dengan munculnya inovasi teknologi super canggih siap “mencabut”, “menggangu”, “merombak”, “mengubah”, “membombardir” serta mendisrupsi sistem pendidikan kita.
Jack Ma memberi sinyal agar pendidikan kita harus keluar dari zona nyaman dan segera melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang ada. Menghadapi kondisi seperti ini, langkah terbaik yang mesti kita buat sebenarnya ialah mempersiapkan diri secara matang. Sebab jika tidak, pilihan kita hanya dua yakni change or die (berubah atau punah) atau disrupting or disrupted (mendisrupsi atau terdisrupsi).
Fenomena disrupsi di bidang pendidikan ditandai dengan perubahan-perubahan penting dalam hal metode, sistem serta kurikulum pendidikan. Perubahan-perubahan ini jelas mempengaruhi sikap, perilaku, dan pikiran peserta didik. Selain itu, perubahan-perubahan ini mendatangkan sekaligus peluang dan tantangan bagi keberlangsungan pendidikan kita.
Dalam konteks tertentu kita dipermudah dalam hal jarak dan waktu. Misalnya, proses belajar yang sebelumnya dilakukan secara konvensional atau tatap muka di kelas kini bisa dijalankan secara online (melalui via ZOOM dan YouTube), para peserta didik dimungkinkan untuk memperoleh literasi digital dengan mengakses website atau situs pendidikan atau mendownload aplikasi perpustakaan digital, menginstal aplikasi ChatGPT (AI Chat Assitant) yang memberi kemudahan bagi peserta didik untuk menyelesaikan soal-soal rumit dalam waktu singkat, atau membantu para peserta didik untuk belajar secara mandiri/autodidak di YouTube sehingga tidak perlu bimbingan dari para pendidik.
Selain kemudahan-kemudahan yang ditawarkan di atas tentu ada tantangan-tantangan serius dalam proses pendidikan di era disrupsi yang harus diperhatikan demi menciptakan masa depan pendidikan yang elegan dan sesuai dengan cita-cita bangsa ini.
Amanah dan tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dalam menghasilkan insan-insan pelajar yang berjiwa patriotik dan berdasar pada pancasila harus dicapai. Karena itu, ada beberapa tantangan dan kecemasan-kecemasan serius dalam tubuh pendidikan kita: pertama, krisis keteladanan. Keteladanan dalam dunia pendidikan adalah salah satu nilai penting yang tidak bisa didisrupsi oleh perkembangan teknologi.
Dengan hilangnya ruang konvensional (kelas offline) yang memungkinkan para pendidik dan murid bertemu maka potensi krisis keteladanan semakin besar. Artinya para pendidik sudah tidak punya ruang untuk bicara langsung dari hati ke hati dengan peserta didiknya.
Mendengar keluh-kesah dan isi hati peserta didik yang bermasalah, stress atau trauma dengan peristiwa-peristiwa masa lalu. Kesempatan para pendidik untuk tampil sebagai figur ayah dan bunda di sekolah lenyap. Tidak ada lagi kata-kata bijak atau motivasi yang membakar semangat peserta didik untuk tubuh menjadi pribadi yang patriotik dan nasionalis.
Kedua, bertumbuh suburnya mental instan dalam kalangan peserta didik. Dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang cepat dan eksponensial, para peserta didik lebih dimanja, dilayani dan dipermudah. Efeknya daya juang para peserta didik menjadi kendor, manajemen untuk menyelsaikan konflik dalam diri peserta didik diragukan, mentalitas instan bertumbuh subur. Sehingga tidak salah jika banyak kasus peserta didik yang bunuh diri karena tidak bisa menyelesaikan karya akhir atau gagal dalam ujian-ujian sekolah.
Selain itu belum adanya filter yang efektif tentang konten yang masuk ke dunia online menjadi kekuatiran tersendiri khususnya orangtua karena tidak bisa memantau tontonan maupun komunikasi dari anak-anaknya pada dunia maya. Penggunaan telephon pintar (HP) secara bebas oleh peserta didik dapat memicu terjadinya hal-hal yang mengkwatirkan misalnya mengakses konten-konten pornografi, celaan dan obrolan yang cendrung negatif pada platform media sosial seperti Facebook, WhatApps, Instagram, Twitter, dll.
Ketiga, selain tantangan yang dihadapi oleh para peserta didik, sebenarnya fenomena disrupsi juga mendatangkan tantangan tersendiri bagi para pendidik. Para pendidik dituntut bekerja keras dan ekstra jika ingin profesinya selamat. Di tengah fenomena disrupsi pedidikan yang dipicu oleh perkembangan teknologi super canggih, para pendidik dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan pada lingkungan sekolah yang baru sama sekali.
Perubahan yang dimaksud tidak hanya sekadar dipahami bahwa pembelajaran harus menggunakan LCD atau PowerPoint, melainkan lebih dari pada itu pendidik harus berani melakukan kombinasi teori serta mengejawantahkan di dunia nyata. Jadi, peserta didik tidak hanya mendapatkan pengetahuan, tetapi juga pengalaman yang sinkron dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, teori yang ada di papan harus diterapkan secara aktual (real-time) dalam kehidupan.
Dengan adanya fenomena disrupsi sebenarnya kita dibantu untuk melihat kembali peluang dan tantangan pendidikan kita. Kita ditegur untuk keluar dari situasi stagnan dan zona nyaman serta menoleh ke belakang, melihat kembali kekurangan dan persoalan-persoalan serius yang perlu ditangani sambil maju ke depan menatap peluang-peluang inovatif yang meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan kita.
Akhirnya, pendidikan akan menjadi senjata yang tumpul, rapuh dan mudah dihancurkan apabila sistem pendidikan kita tidak mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi super canggih dan tidak mau keluar dari zona nyaman untuk mendisrupsi diri. Apalagi didukung dengan lingkungan peserta didik yang dibayangi oleh krisis keteladanan, mentalitas instan yang akut, daya juang yang lemah dan kualitas pendidik yang gagap teknologi.
Penulis : Fransiskus Sabar (Pembina Asrama)