Rain, it falls, rain, it falls
Pouring on me
And the rain, it falls, rain, it falls
Sowing the seeds of love and hope, love and hope
We don’t have to stay, stuck in the weeds
Have I the courage to change?
(Sia Furler, Courage to Change)
Hari ini tak ada satu pun yang berhenti sejenak, semuanya berjalan terburu-buru. Hubungan kita dengan waktu tidak lagi memungkinkan kita untuk mendapatkan momen ketenangan dan keheningan. Waktu yang ada selalu didominasi oleh dikte kapitalisme neoliberal: ciptakan kebutuhan sebanyak-banyaknya (produktivitas), belanja sebanyak-banyaknya (konsumsi), perluaskan wilayah (ruang) produksi-konsumsi, perkecilkan pajak, dan tingkatkan individualisme. Individualisme yang diperketatkan memandekkan kontrol sosial.
Kontrol sosial dipandang sebagai penjara baru, karena masyarakat ini tidak mau dikontrol oleh siapa pun dan apa pun. Orang-orang tidak mau mengontrol dikontrol. Kontrol sosial dipaham sebagai terkekangnya kebebasan: makin tinggi kontrol sosial, makin terpenjaranya kebebasan. Hilangnya kontrol sosial, bisa jadi, disebabkan oleh kegilaan konsumisme, kegilaan bisnis informasi (berita palsu, kebohongan, propaganda komputasional, dll.), bisnis pornografi neoliberal yang tak terkendali, dan meluasnya produk-produk kecantikan.
Hilangnya kontrol sosial menyebabkan rezim politik yang berkuasa bertindak sewenang-wenang, para pebisnis membisniskan tubuh manusia, dan orang-orang sibuk mengautoeksploitasi. Autoeksploitasi adalah fenomena sosial baru pada masyarakat yang sangat memuji dan memperjuangkan individualisme dan yang mengerutkan kontrol sosial.
Autoproduksi berarti saya dapat memproduksi/menghasilkan sesuatu (barang, konten, mental, pemikiran, mode, kebiasaan, sikap, dll.) yang dapat saya gunakan untuk mewujudkan keinginan/hasrat atau meningkatkan kualitas hidup saya. Autoeksploitasi muncul dari kemampuan manusia yang dapat mewujudkan diri, menciptakan diri, memproduksi diri, dan melampaui diri sendiri. Ini berlangsung terus-menerus.
Ponsel pintar membantu kita mengautoproduksi. Kita tidak membutuhkan sang majikan untuk membeli, dan memanfaatkan (tenaga kerja) kita, lalu memproduksi sesuatu dengan memperbudak (tenaga kerja) kita. Kita dapat menghasilkan sesuatu oleh, dari, dan untuk kita sendiri. Kita dapat menjadi majikan (kapitalis) sekaligus pembantu/tenaga kerja (budak) atas diri kita.
Kita dapat mengeksploitasi diri kita sendiri seturut hasrat/gairah, dan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan kita. Makin rajin autoproduksi, makin tingginya tingkat autoeksploitasi. Namun demikian, makin rajin autoeksploitasi, tidak selamanya makin autoproduksi: Tidak semua yang diautoproduksi adalah yang produktif, yang dapat menunjang kualitas hidup, dan malah sebaliknya, menghasilkan yang destruktif, yang merusak dan menghancurkan diri sendiri.
Ini menimbulkan stres, mudah marah, mudah tersinggung, depresi berat, kecanduan, dan ketergantungan pada obat tertentu. Dibandingkan abad-abad sebelumnya, pada abad ke-21 ini tidak sedikit orang membunuh diri dengan mengumsi obat, menggantungkan diri atau membuang diri. Dengan demikian bisnis obat-obatan multinasional, kalau tidak mau mengatakan bisnis kesehatan, pun makin meningkat. Autoeksploitasi adalah bunuh diri. Akan tetapi siapa yang membunuh sang aku?
Ponsel pintar membantu kita semakin mengucilkan, mengalienasi, dan mengeksploitasi diri sendiri dan yang lain. Ponsel pintar mengintesifkan jarak di antara dua orang. Ia tidak membantu kita mendekatkan yang jauh tetapi mengabsenkan yang dekat dan sekaligus yang jauh. Absensi digital berbeda dengan absensi korporeal.
Absensi digital tidak hanya menolak yang dekat, tetapi juga menyangkal yang jauh. Absensi digital tidak terikat oleh ruang dan waktu—malah melampauinya. Sebaliknya absensi korporeal tidak bisa ada sebagai yang hadir di sini dan di sana sekaligus (omnipraesentia). Tubuh manusia ada sebagai yang hadir di sini, dan absensi di sana. Atau manusia absensi di sini, dan ada sebagai yang hadir di sana.
Satu manusia tidak bisa ada sebagai yang hadir di dua tempat yang berbeda. Kalau manusia secara fisik absensi di sini dan di sana juga, ia sudah mati. Kalau manusia ada di sini secara fisik, dan absensi di sana, ia sedang dikepung oleh ponsel pintar.
Semakin kita merasakan bahwa kita sedang terhubung dan memiliki relasi digital dengan yang lain, semakin kita mengisolasi diri. Semakin lama berada di dalam ponsel pintar, semakin kita merasakan kesepian dan kesendiran daripada sebelumnya. Komunikasi digital mengabaikan kesalingan kontak fisik, dan miskin bahasa tubuh, dan bahasa dalam tubuh.
Byung-Chul Han dalam buku terbarunya La Tonalidad del Pensamiento, terj. Lara Cortés Fernández, (2024) menggarisbawahi bahwa “sejak munculnya ponsel pintar, kita semakin kehilangan tatapan mata—kontak mata. Tatapan mata menghilang… Tatapan mata membangun kepercayaan primordial. Hilangnya tatapan, sebaliknya, menyediakan tempat bagi kekacauan relasi dengan diri kita sendiri dan dengan yang lain. Ketika kita kehilangan tatapan, kita kehilangan akan yang lain. Tanpa tatapan juga tidak mungkin menimbulkan empati.” Byung-Chul Han dalam bukunya Infocracia: La Digitalización y la Crisis de la Democracia, terj. Joaquín Chamorro Mielke, (2022) bilang, “bukan ponsel cerdas mengeksploitasi kita, melainkan kita sendiri yang mengeksploitasi diri sendiri di dalam ponsel cerdas.”
Autoproduksi dan autoeksploitasi tanpa kontrol (oleh lingkungan sosial, politik, hukum, budaya, keagamaan) membuat orang tidak tahu malu, brutal, bringas, buas, dan kejam. Orang-orang yang sudah berada pada tahap ini akan melihat kejahatan, penindasan, perampasan, korupsi, pembunuhan, dan peperangan sebagai kewajaran, hal biasa dalam seleksi sejarah umat manusia.
Dulu tidak sedikit budak, orang miskin, penderita penyakit yang mematikan, imigran, korban perdagangan manusia, berjuang keras untuk bertahan hidup, tetapi sekarang tidak sedikit orang bunuh diri meskipun tidak diperbudak dari rezim politik atau karena miskin atau menderita penyakit tertentu. Bunuh diri dilihat sebagai tren untuk melampaui persoalan hidup.
Byung-Chul Han mengatakan “kita sedang hidup di tengah masyarakat tanpa empati. Ketika tatapan hilang, hilang pula kotak resonansi.” Han yakin bahwa “depresi berat dihasilkan oleh hilangnya resonansi, resonansi dunia, resonansi dengan yang lain. Tanpa resonansi, kita tidak bisa tidak terjebak dalam diri kita sendiri, kita berubah menjadi tahanan oleh kita sendiri. Tanpa resonansi kita sendiri menjadi depresi.”
Namun ada yang lebih dari yang dipikirkan Han tentang masyarakat saat ini, yakni sosiopat. Sosiopat adalah gangguan kepribadian yang lebih kompleks dari hilangnya empati, yang mana seseorang cenderung agresif, kasar, dan antisosial. Orang seperti ini cenderung berbicara dan melakukan apa saja yang disukainya tanpa peduli orang-orang di sekitarnya.
Di sisi lain ia tidak mampu beradaptasi dan membangun relasi dengan yang lain. Kalau pun ia berkontak dengan yang lain, ia cenderung kasar, dan hidup mana suka. Ia tidak suka dikritik, dimotivasi, dan dinasihati. Ia lebih nyaman dengan dunianya sendiri. Ponsel pintar bisa jadi teman akrabnya pada saat ini, dan membantu mengintesifkan gejalanya. Ponsel pintar membuat dia makin terisolasi, dan menghindar dari ruang sosial, dari kontrol sosial.
Ketika masalah dan tantangan hidup menerpanya, ia enggan meminta bantuan kepada orang lain. Ia merasa bisa menyelesaikannya, padahal kenyataannya tidak. Karena itu ia akan mudah terjebak dalam stres berat, depresi, agresif, dan bisa jadi akan bunuh diri. Dan inilah tren pada abad ke-21 ini, di mana orang-orang cenderung membunuh diri daripada mencari jalan keluar, dan melampaui situasi batasnya.
Mengapa orang lebih bunuh diri daripada bertahan hidup dan berjuang pada zaman ini? Saya berpendapat, karena tidak punya pengharapan. Pengharapan diblokade oleh mental instan, serba buru-buru, ketaksabaran, ketakugaharian, dan hilangnya imajinasi kemanusiaan. Ketika orang sibuk memenuhi kebutuhan material, dan memuja-mujanya berlebihan, ia akan lebih menyayangi materi-materi itu daripada dirinya sendiri. Ia sibuk kerja, belanja, konsumsi, dan memproduksi sampah. Ia lupa bagaimana memproduksi, menghidupkan kembali, membangkitkan kembali dan menyegarkan kembali dirinya yang sudah dikuasai oleh materialisme.
Ketika materialisme menguasai dirinya, pengharapan akan tertindas. Pengharapan memang ada, namun tidak dapat mengendalikan mentalitas manusia yang diperintah oleh produksi dan konsumsi. Ketika pengharapan diblokade, seseorang tidak mampu memaknai kehidupan sebagai keindahan yang terberi, rahmat yang mesti disyukuri, dan kasih yang harus diperjuangkan. Ia justru melihat kehidupannya sebagai kecelakaan terbesar. Ketika kehidupan kehilangan nilai keindahan, hidup kelihatan sunggguh kering dan tidak berguna seperti ponsel pintar tanpa arus dan pulsa data internet.
Meskipun kita sedang dikepung oleh ponsel pintar dan mengeksploitasi diri, namun kita tetap mampu membebaskan diri. Itu akan menjadi kenyataan kalau kita memiliki pengharapan. Pengharapan melampaui autoeksploitasi dan perbudakan oleh kapitalisme neoliberal. Pengharapan adalah bukti adanya yang transenden dan yang imanen. Banyak pakar sains dan teknologi menjadi ateis bukan karena mereka menolak adanya yang transenden dan yang imanen, melainkan tidak tahu menjelaskannya, meskipun mengalaminya berkali-kali.
Banyak pula yang mengakui dan percaya yang berlebihan pada yang transenden dan yang imanen sampai melupakan diri dan tidak tahu diri bahwa mereka adalah manusia yang mesti bangun, mandi, sarapan, menyeruput kopi, kerja, gosip, mendengarkan yang lain, berbagi, menggodai yang lain, dan seterusnya. Bagi kelompok yang terakhir ini, pengharapan adalah menunggu secara pasif sampai diberi apa yang diharapkan.
Pengharapan mesti dijemput pada pagi hari, dan diundang pada malam hari. Pagi adalah kebangkitan dan keselamatan. Kalau kita tidak lagi menemukan kebebasan, kemerdekaan dan kebahagiaan pada pagi hari, kita belum mengalami kebangkitan. Kita belum diselamatkan oleh kita sendiri: kita membiarkan jiwa dan roh kita terpenjara dalam kegelapan malam, dan kemuraman masa lalu. Pengharapan menggarisbawahi bahwa ada hal-hal dan orang-orang yang mesti kita perjuangkan, sayangkan, dan maknakan. Hal-hal dan orang-orang itu bisa datang dari depan, muncul dari sekitar kita, dan yang ada dalam diri kita.
Pengharapan mengandaikan pembebasan dan kemerdekaan. Pengharapan tidak dapat menolak kemalangan, penderitaan, dan kematian, tetapi menjalin relasi kesalingansetimpal dengannya agar ia dapat melampauinya. Pengharapan tidak akan lompat jauh menuju lingkaran kebebasan dan pembebasan tanpa memahami kelemahan dan kemauan dari penderitaan, kemalangan, dan kematian. Ini tidak berarti kita harus mati supaya kita mencapai pembebasan dan kebebasan.
Byung-Chul Han, dalam bukunya Lao a la Tierra. Un Viaje al Jardín, terj. Alberto Ciria, (2020), menjelaskan “pagi digerakkan oleh kerinduan bahwa hidup bangun kembali, dan bangkit kembali (resucitar).” Pengharapan adalah bunga yang bersemai siang hari, bertumbuh sore hari, berkembang malam hari, dan berbunga-bunga pagi hari. Bunga bukan hanya tentang musim semi, melainkan semua musim. Pengharapan, lebih dari itu, tidak mengenal musim, ruang dan waktu. Burung-burung mencicit dan bernyanyi riang pagi hari. Rumput-rumput yang basah membagikan dingin lewat embun, bunga-bunga yang bermekaran menggoda siapa pun dan apa pun. Mereka semangat bangun pagi, bangkit kembali, dan memulai hari baru. Alangkah indahnya semua ciptaan Tuhan ini. Mereka paham hidup mesti dibangkitkan kembali, dan dihidupkan kembali, karena mereka adalah pengharapan itu sendiri.
Pada 13 April 2023, Byung-Chul Han membawakan konferensi bertema Sobre la Esperanza (Tentang Pengharapan) di Universidad Católica di Lisboa, Portugal. Teks ini sudah diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul La Tonalidad del Pensamiento, terj. Lara Cortés Fernández, (2024). Sebelum mengutip Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Roma (Roma, 8:24-39), Han mengartikan pengharapan sebagai “yang berorientasi kepada apa yang belum ada, apa yang belum terjadi, apa yang belum lahir”. Lalu ia mengutip kalimat Santo Paulus (Roma 8:24): “Sebab kita diselamatkan dalam pengharapan. Tetapi pengharapan yang dilihat, bukan pengharapan lagi; sebab bagaimana orang masih mengharapkan apa yang dilihatnya?”
Lebih lanjut Filsuf Korea Selatan ini menjelaskan bahwa pengharapan “membuka apa yang akan datang, apa yang mungkin, apa yang baru. Itu adalah satu tindakan roh, satu pernyataan roh yang mengangkat kita di atas yang sudah terberi, yang sudah dilihat, dan terutama, apa yang tidak harusnya terjadi.” Byung-Chul Han memuji cara hidup membiara, “satu tipe keberadaan yang sangat bahagia”, karena mereka yang hidup membiara hidup dari yang transendental.
Menurut Han, “hidup tanpa transendensi direduksi menjadi suatu kepuasan belaka atas kebutuhan-kebutuhan. Hidup konsumtif seperti ini, hidup tanpa transendensi adalah suatu hidup tanpa kebahagiaan, suatu hidup miskin, malang, terlarat, kering. Dengan demikian, bukanlah kehidupan manusia, melainkan kehidupan kawanan. Hari ini kita semua telah menjadi kawanan. Kawanan konsumsi, kawanan komunikasi, kawanan data, kawanan informasi, dan seterusnya.”
Pengharapan itu tampak dalam keyakinan dan iman kita akan Tuhan Yesus. Kalau Yesus tidak bangkit, kita tidak perlu berharap pada-Nya. Emily Dickinson mengungkapkan pengharapan itu dalam puisinya ini:
You love the Lord — you cannot see —
You write Him — every day —
A little note — when you awake —
And further in the Day.
An Ample Letter — How you miss —
And would delight to see —
But then His House — is but a Step —
And Mine’s — in Heaven — You see.
Kapitalisme neoliberal menghapus dan merampas ruang gerak Tuhan. Sebaliknya kapitalisme neoliberal mengintensifkan kejahatan, ruang produksi, wilayah konsumsi, dan perusahaan pornografi. Tubuh teologis manusia diprofankan dalam perusahaan pornografi. Di sana tidak ada keheningan, ketenangan, dan kedamaian, kecuali perampasan, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan—masyarakat telanjang.
Di sana pengharapan para korban ada, dan memanggil kita untuk membebaskan mereka. Kita tidak perlu takut untuk bangkit dari keterpurukan, sebab kita tidak sendirian. Namun, apakah kita berani bangkit kembali? Tuhan menciptakan mata di depan kepala untuk melihat masa depan, bukan masa lalu.
Penulis : Melki Deni (Tinggal di Madrid, Spanyol)