Indodian.com – Pada akhir abad ke-20, Anthony Giddens mencanangkan bahwa masalah pokok zaman kita bukanlah isu-isu yang sebelumnya terbaca dengan jelas, misalnya sosialisme dan kapitalisme, melainkan terkait dengan “politik kehidupan” ketimbang politik emansipasi (Alain Badiou, 2003:57). Bentuk sosiologis dari meluasnya politik kehidupan ini dijelaskan secara paralel oleh Zygmunt Bauman dengan istilah politik yang encer (liquid) dalam “masyarakat yang encer”.
Masyarakat didikte oleh perubahan mahacepat di tingkat permukaan – terutama oleh arus media – hingga terbentuk modus kehidupan sosial yang serba individual, semata-mata berorientasi diri dan dangkal (Zygmund Bauman, 2005:1).
Hal ini menjadi nyata dalam masyarakat kontemporer yang diselimuti dengan perubahan yang begitu cepat dalam multiaspek kehidupan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat secara cepat dan instan. Konsumsi di dalam masyarakat kontemporer tidak sekadar sarana pemenuhan nilai utilitas dalam pengertian sempit, akan tetapi merupakan cara membangun nilai-nilai simbolik.
Konsumsi kini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari penciptaan gaya hidup, yaitu gaya konsumsi yang dimuati dengan nilai tanda dan makna simbolik tertentu yang membentuk apa yang disebut gaya hidup konsumerisme (Yasraf Amir Piliang, 2011:238). Tulisan ini berikhtiar menganalisis konsumerisme sebagai model alienasi pada masyarakat kontemporer.
Memahami Karakteristik Konsumerisme
Jean Baudrillard dalam bukunya The Consumer Society menjelaskan bahwa ciri-ciri masyarakat konsumerisme adalah terjadi pergeseran logika konsumsi di dalamnya, yakni dari logika kebutuhan (need) menuju logika hasrat (desire) karena didasarkan pada keinginan dan ketidakpuasan yang tiada habisnya. Aktivitas konsumsi misalnya makan dan minum, bukan lagi sesederhana pemenuhan kebutuhan biologis tetapi menuju kepemenuhan kebutuhan akan tanda-tanda (Yasraf Amir Piliang, 2018:244). Baudrillard menyatakan bahwa yang dikonsumsi oleh masyarakat konsumerisme bukanlah nilai guna dari suatu produk melainkan nilai tanda/citra (sign) yang melekat pada suatu barang konsumsi (John Lechte, 2001: 352).
Masyarakat konsumerisme memandang objek-objek konsumsi sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya (Yasraf Amir Piliang, 1998:250). Masyarakat konsumerisme mengidentifikasi diri dengan barang-barang yang ia konsumsi. Ia ingin dinilai oleh orang lain berdasarkan apa yang ia konsumsi, apa yang ia pakai, apa yang ia kendarai, apa yang ia makan, di mana ia tinggal, di mana ia nongkrong menghabiskan segelas kopi, sampai di mana ia berlibur.
Manusia mengalami perubahan role, selain menjadi subjek, ia juga menjadi objek yang diamati oleh orang lain. Jika dulu Rene Descartes memiliki diktum yang terkenal “cogito ergo sum, sive existo” (aku berpikir, maka aku ada, tepatnya bereksistensi), maka masyarakat konsumerisme menganut semboyan “aku mengonsumsi, aku berbelanja, maka aku ada”.
Di dalam perubahan gaya hidup tersebut, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebutuhan dasar manusiawi, akan tetapi menjadi tanda kelas sosial, status atau simbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang dalam masyarakat. Lebih lanjut, Jean Boudrilard (1988:29) melihat bahwa yang dicari oleh pemuja konsumerisme ini bukan lagi makna-makna ideologis melalui tindakan sublasi, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian objek-objek konsumsi; yang dicari dalam komunikasi bukan lagi pesan-pesan dan informasi, melainkan kegairahan dalam berkomunikasi itu sendiri, dalam bermain tanda, citraan dan medianya.
Dalam konsumsi yang dilandasi dengan citraan dan tanda itu, logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan melainkan logika pemuasaan hasrat. Dalam diri manusiawi hasrat ini tidak akan pernah mengalami kepuasan. Hasrat melahirkan kecenderungan untuk selalu merasa miskin di tengah kegelimangan kekayaan, merasa diri tidak trend jika tidak memiliki handphone atau mobil terbaru atau merasa harga diri membumbung tinggi ketika membeli barang-barang dengan harga miliaran rupiah.
Produk-produk konsumsi menjadi satu medium untuk membentuk citra, harga diri, gaya hidup dan prestise. Alhasil, relasi sosial sehari-hari tidak lagi bertumpu pada relasi sebagai sesama manusia melainkan sebagai fungsi dari kepemilikan barang-barang dan gaya hidup.
Perubahan pola pikir yang yang mengagungkan budaya konsumsi ini adalah akibat dari tenggelamnya mereka ke dalam kondisi ekstasi masyarakat konsumer. Ekstasi itu mengarah pada keterpesonaan, kekayaan dan libido ekonomi yang dipupuk di tengah-tengah rimba kehidupan yang dikitari dengan benda-benda, tanda-tanda dan makna semu; di tengah-tengah kehampaan hidup dan kekosongan jiwa akan makna spiritual dan kemanusiaan; di tengah-tengah dibangunkan kerajaan kegerlapan hidup dan kekayaan ketimbang kedalaman, substansi dan transendensi.
Alienasi pada Masyarakat Kontemporer (dari kapitalisme lama menuju kapitalisme baru)
Dalam kapitalisme lama, alienasi manusia menurut Karl Marx mendeskripsikan hubungan sifat dasar manusia dengan pekerjaan. Marx percaya bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif. Manusia melalui pekerjaanya mampu mentransformasikan kebutuhan material untuk membangun kembali dunia material dan bersamaan dengan itu, merealisasikan beberapa bagian dari hakekat dirinya ke dalam hal-hal yang dikerjakannya itu atau ke dalam produk dari pekerjaanya (Steve Bruce and Steven Yearley, 2006:8). Dalam masyarakat kapitalis, hak milik pribadi dan pembagian kerja atas alat produksi dalam kapitalisme telah mendistorsikan hakikat manusia sebagai makhluk kreatif sehingga menyebabkan manusia mengalami alienasi.
Gagasan Marx tentang alienasi memiliki dua hal penting. Pertama, alienasi adalah hasil dari struktur ekonomi politik manusia. Kedua, alienasi meliputi perasaan (menderita) yang merupakan hasil dari struktur tersebut (Richard Schmitt, 2022:viii). Karl Marx membagi empat sisi alienasi manusia dalam hubungannya dengan kerja. Alienasi pekerja dari produk kerja, alienasi dari aktivitas kerja sendiri, alienasi dari potensi kemanusiaannya sebagai individu, dan alienasi dari lingkungannya. Marx berasumsi bahwa gejala keterasingan yang mengalir sepanjang sejarah mencapai puncaknya dalam masyarakat kapitalis, dan bahwa kelas para pekerja merupakan kelompok yang paling mengalami keterasingan. Konsepsi Marx tentang manusia yang mengalami keterasingan disebutnya sebagai fetisisme komoditas.
Namun, dalam kapitalisme baru, masyarakat tidak mengalami alienasi dengan pekerjaannya sebagaimana terdapat dalam kapitalisme lama Marx. Piliang (2003) mengutip Baudrillard menguraikan bahwa sebenarnya alienasi dan dehumanisasi barisan pekerja dalam proses produksi komoditi sudah tidak lagi relevan. Ia juga menambahkan bahwa masalah alienasi tersebut telah teratasi dalam model produksi simulasi melalui otomatisasi, komputerisasi, dan mikroisasi. Digitalisasi dalam dunia industri mempermudah banyak pekerjaan manusia. Kaum buruh, dalam kapitalisme baru dapat memiliki komoditi dengan cara konsumsi. Kaum buruh telah menjadi kelas baru yang makmur.
Dalam konteks ini, teori Marxian modern mengakui bahwa kapitalisme kompetitif telah bergeser menjadi kapitalisme monopoli. Dalam kapitalisme monopoli, satu atau beberapa kapitalis mengontrol sektor ekonomi tertentu. Persaingan dalam kapitalisme monopoli tidak lagi berdasarkan harga, tetapi beralih ke wilayah penjualan (George Ritzer and Douglas J. Goodman, 2011: 48-49).
Dalam logika monopoli yang menekankan persaingan ini, kaum kapitalis menggunakan strategi periklanan, pengemasan, dan metode lain untuk menarik konsumen potensial. Model komunikasi dalam logika monopoli ditopang oleh sistem bujuk rayu – sebuah sistem komunikasi yang menjunjung tinggi kepalsuan, ilusi, penampakan ketimbang makna-makna.
Rayuan menurut Baudrillard beroperasi melalui pengosongan tanda-tanda dari pesan dan maknanya sehingga yang tersisa adalah penampakan semata. Apa yang diinginkan melalui rayuan bukanlah sampainya pesan dan makna-makna melainkan munculnya keterpesonaan, ketergiuran, dan gelora hasrat. Oleh karena rayuan tidak pernah berhenti pada kebenaran tanda, melainkan beroperasi melalui pengelabuan dan kerahasiaan, maka ia menjadi wacana yang menenggelamkan manusia selamanya ke dalam lembah kesemuan (Piliang, 2011:92).
Persoalan ini selanjutnya menandai pergeseran dari mode produksi ke mode konsumsi membentuk masyarakat yang disebut sebagai masyarakat konsumerisme. Masyarakat konsumerisme tidak lagi mengonsumsi objek-objek material berdasarkan nilai guna, melainkan berdasarkan nilai-tanda (William Pawlett, 2007:40-41). Komoditas mendapat makna dari operasi tanda-tanda simbolis, artinya makna diciptakan melalui periklanan tetapi bukan dipahami berdasarkan nilai guna (sifat intrinsik) suatu barang, melainkan dalam pengertian ekonomi berdasarkan kepada prestise dan kebanggaan simbolik (Richard J. Lane, 2001:38).
Guy Debord menambahkan bahwa masyarakat konsumer sekarang ini tak lain dari masyarakat tontonan, yakni masyarakat yang di dalamnya komoditi menjajah hampir seluruh sisi kehidupan dengan hukum-hukumnnya yang di dalamnya menjadi konsumer ilusi-ilusi. Komoditi, kata Debord pada hakikatnya tak lebih dari ilusi-ilusi, dan tontonan adalah manifestasinya. Semua sisi kehidupan kini menjadi komoditi dan semua komoditi menjadi tontonan (Guy Debord, 1987:47).
Tontonan ini menjadi alienasi pada masyarakat kontemporer karena citraan-citraan direpresentasikan oleh komoditi mempengaruhi massa sebagai suatu kehidupan sosial. Proses ini terjadi dalam alam bawah sadar dan berdampak pada perilaku individu. Ketika individu memproyeksikan diri dalam objek-objek yang merefleksikan “kebutuhan”, semakin ia mengidentifikasi diri dengan imaji-imaji tersebut. Akibatnya ia semakin jauh dari dirinya sendiri. Individu tidak mampu memahami hidup dan keinginannya sendiri. Tindakan dan perilaku (gesture) subjek tidak lagi merefleksikan dirinya sendiri, melainkan gesture orang lain yang direpresentasikan melalui dirinya (Debord, 1967).
Mengenai hal ini, Baudrillard menyimpulkan bahwa logika konsumsi dalam kapitalisme berhasil menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang kemudian ditindaklanjuti dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut dalam dunia signifikansi. Akibatnya individu kehilangan kontrol atas otonomi diri dan ‘menyerah’ pada kode dan aturan-aturan signifikansi.
Bagi Baudrillard, inilah perwujudan aspek kedua dari logika sosial konsumsi yaitu sebagai proses klasifikasi dan diferensiasi sosial. Menurutnya, orang-orang tidak lagi menggunakan objek untuk mengekspresikan diferensi antara mereka, melainkan manusia sekedar menjadi ‘kendaraan’untuk mengekspresikan perbedaan di antara objek-objek (Lury, 1998). Dalam konteks inilah, masyarakat kontemporer mengalami kelumpuhan yang sangat parah, yakni tidak mampu menyadari keterasingan diri akibat dominasi budaya dan eksploitasi kapital.
Upaya Jalan Pulang
Tulisan ini diakhiri dengan sebuah upaya untuk mengembalikan manusia kontemporer pada dunia kedalaman spiritual, kehalusan nurani, dan ketajaman hati di tengah-tengah belantara citraan, bujuk rayu dan kepalsuan masyarakat konsumer. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah ruang pengasahan spiritual dari puing-puing keruntuhannya. Ada dua hal yang perlu menjadi sebuah upaya jalan pulang pada kedalaman makna hidup manusia.
Pertama, menumbuhkan kembali pola hidup sederhana atau kesederhanaan. Dalam Soil, Soul, Society (A New Trinity for Our Time) dikatakan bahwa bumi menyediakan cukup untuk kebutuhan setiap orang tetapi bahkan tidak cukup untuk ketamakan seseorang (Satish Kumar, 2015:20). Setiap orang belajar untuk hidup sederhana dengan menanggalkan ketamakan yang tidak terpuaskan sebagai konsekuensi dari budaya konsumsi. Di sisi lain, pola hidup sederhana memberikan kesadaran akan ketergantunganya pada alam (dimensi ekologis). Dalam kerakusan, manusia kehilangan “jiwa”, ketenangan dan ruang batin mereka dan oleh karena itu kehilangan sesuatu yang memanusiakan mereka.
Dalam konteks ini, kita belajar dari Hans Jonas. Dalam situasi ini perlu sebuah etika baru. Etika baru yang dirancang Jonas berfokus pada tanggung jawab. Intinya adalah kewajiban manusia untuk bertanggungjawab atas keutuhan kondisi kehidupan umat manusia di masa depan. Dasar etika baru itu bukan lagi imperatif kategoris Kant, melainkan sebuah imperatif tanggung jawab, yaitu imperatif untuk bertindak sedemikian rupa hingga kelestarian kehidupan manusia dalam keutuhannya di kemudian hari tidak terancam.
Untuk itu Jonas menuntut sebuah heuristika ketakutan (Frans Magnis-Suseno, 2006:185-186). Artinya, kita membayangkan kengerian situasi di masa mendatang sebagai konsekuensi dari pola konsumsi yang tamak di masa kini. Kengerian itu membuat kita sendiri merasa takut sehingga terdorong untuk mengubah cara pikir dan cara hidup yang sederhana.
Kedua, upaya melepaskan diri dari perangkap identitas artifisial yang dikonstruksi di dalam dunia konsumerisme dan budaya populer yang di dalamnya identitas merupakan bagian dari identitas merupakan bagian dari industri budaya. Identitas dibangun sebagai bagian dari budaya komoditi, yang di dalamnya ada pengaturan sistematik terhadap tanda, citra, gaya dan gaya hidup sebagai pembangun identitas oleh elit-elit kebudayaan (Piliang, 2011:422).
Melepaskan diri dari konstruksi sosial identitas di dalam budaya konsumerisme dalam pengertian menanggalkan segala sifat artifisial, kepalsuan, kesemuan dan ilusi-ilusi yang ditawarkannya – yang tidak memperkuat identitas kemanusiaan, tetapi malah mengancamnya.
Tulisan ini diakhir dengan sebuah kesimpulan bahwa konsumerisme pada masa kini telah menjadi model alienasi pada masyarakat kontemporer. Oleh karena itu perlu meniti jalan pulang dengan pola hidup sederhana dan melepaskan diri dari identitas artifisial yang dikonstruksi dalam dunia konsumerisme. Idealisme ini berusaha mengembalikan masyarakat kontemporer pada kedalaman spiritual, kehalusan nurani dan ketajaman hati di tengah kemabukan ekstasi dan kedangkalan pegangan hidup. Kalau tidak, maka masyarakat kontemporer akan hanyut dalam belantara bujuk rayu, keterpesonaan dan ketergiuran tanpa akhir dan pada akhirnya akan tengelam dalam lembah ekstasi yang ekstrim.
DAFTAR PUSTAKA
Badiou, Alain. (2003). Infinite Thought. London dan New York: Continuum.
Baudrillard, Jean. (1994). Simulacra and Simulation. Michigan: University of Michigan Press.
Baudrillard, Jean. (1998). The Consumer Society: Myths and Structures. London- Thousand Oaks-New Delhi: SAGE Publications.
Baudrillard, Jean. (2006). Ekstasi Komunikasi (diterjemahkan oleh Jimmy Firdaus). Yogjakarta: Kreasi Wacana.
Bauman, Zygmunt. (2005). Liquid Life. Cambridge: Polity Press.
Bruce, Steve and Steven Yearley. (2006). The Sage Dictionary of Sociology. London: Sage Publications.
Debora, Guy. (1987). Society of the Spectable, New Zealand: Rebel Press.
Kumar, Satish. (2015). Soil, Soul, Society (A New Trinity for Our Time). United Kingdom: Leaping Hare Press.
Lane, Richard J. (2001). Jean Baudrillard. London: Taylor & Francis e-Library.
Lechte, John. (2001). 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme Sampai Postmodernitas. Yogjakarta: Kanisius.
Pawlett, William. (2007). Jean Baudrillard: Against Banality, (London-New York: Routledge.
Piliang, Yasraf Amir. (2003). Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Bandung: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. (1998). Sebuah Dunia Yang Dilipat: Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga Dan Matinya Posmodernisme. Bandung: Mizan.
Ritzer, George. dan Douglas J. Goodman. (2011). Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo Marxian. Bantul: Kreasi Wacana.
Ritzer, George. (2012). Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Schacht, Richard. (1970). Alienation. New York: Anchor Books.
Schmitt, Richard. (2002). Alienation and Freedom. Cambridge: Westview Press.
Suseno, Frans Magnis. ( 2004). Etika Abad Kedua Puluh. Yogyakarta: Kanisius.