Indodian.com – Formasi lingko sekaligus bangunan Mbaru Gendang Manggarai dipentaskan dalam Festival Golo Koe di Labuan Bajo. Festival ini merupakan bagian dari upaya Gereja Keuskupan Ruteng, bekerja sama dengan Pemda setempat dalam mewujudkan wisata holistik.
Wisata holistik merupakan wisata yang menyentuh seluruh aspek kehidupan orang Manggarai, termasuk pertanian/agraria dan budaya tentunya. Dalam hal ini wisata yang diusung Gereja Keuskupan Ruteng tidak terbatas pada ritual budaya dan keagamaan seperti dalam pementasan Festival Golo Koe. Itu hanya bagian kecilnya sebagai pemicu “gerakan sosial” pemberdayaan masyarakat Manggarai.
Festival Golo Koe nantinya akan menjadi cerita “omong kosong” kalau tidak dilanjutkan dengan tindakan praktis pemberdayaan dan advokasi masyarakat Manggarai. Ya, tidak berbeda dengan pesta-pesta lainnya yang menghabiskan uang, bombastis, dan hanya nama besar.
Kita tentunya sangat mengapresiasi gebrakan Gereja Manggarai dan Pemda setempat atau berbagai pihak yang telah sukses menyelenggarakan festival akbar tersebut. Mudah-mudahan nilai-nilai yang dihidupkan dalam Festival Golo Koe dapat dibumikan melalui kebijakan publik pemerintah, misi pastoral gereja, dan kehidupan sosial budaya setiap gendang di Manggarai.
Saya sangat tersentuh dengan formasi lingko yang ditampilkan dalam festival tersebut. Formasi tersebut secara konkret dapat kita lihat dalan sistem pembagian tanah dan corak atap rumah adat (mbaru gendang) Manggarai. Di rumah adat setiap ngando (penyangga atap) bertemu pada satu kayu besar yang disebut siri bongkok (Pilar Utama). Berbentuk kerucut sama seperti lingko. Contoh yang paling familiar adalah Mbaru Niang Todo dan Wae Rebo.
Kesamaan antara bentuk lingko dan gendang tidak terlepas dari filosofi orang Manggarai Gendang One Lingko Peang. Gendang atau rumah adat ada di sebuah tempat menegaskan bahwa warga yang terikat dengan gendang tersebut memiliki lingko atau tanah ulayatnya. Bukan ungkapan semata, tetapi sesuai dengan apa yang hidup dalam masyarakat Manggarai.
Filosofi ini tentunya mengajarkan kepada orang Manggarai bahwa mbaru gendang sangat erat kaitannya dengan tanah. Tidak mungkin ada gendang tanpa ada tanah dari mereka yang terikat dengan gendang. Artinya, tidak ada gunanya bicara tentang gendang kalau tanah dari warga tidak ada, apakah karena dijual atau karena “dirampas” pihak lain.
Belakangan ini masalah tanah begitu marak terjadi di Manggarai, terutama ketika bumingnya wisata premium Labuan Bajo. Masalah tanah ini tidak hanya terjadi di Labuan Bajo tetapi juga di tempat lain di Manggarai. Akar persoalannya sama, tanah dijual oleh warga karena masalah ekonomi (bisa karena kalah judi) dan juga “dirampas” atas nama pembangunan. Masalah klasiknya adalah perebutan lingko antara kampung yang sangat erat dengan gendang.
Masalah tanah, terutama tanah ulayat adalah masalah kolektif masyarakat lokal yang disebut Masyarakat Adat Manggarai. Bila tanahnya habis karena terjual dan karena alasan pembangunan maka keberadaan Masyarakat Adat Manggarai terancam, paling kurang nilai sosial dan kekeluargaannya. Hal ini sudah mulai tampak di Labuan Bajo, Ruteng, dan sekitarnya.
Pemda di Manggarai, Gendang, Gereja, dan lembaga agama atau lembaga lainnya harus duduk bersama (lonto leok) membahas masalah tersebut, supaya Masyarakat Adat Manggarai tidak tercerabut dari akar budayanya dan pada akhirnya terpinggirkan dari tanah kelahirnnya Nucalale.
Pembahasan soal tanah lebih mengarah kepada pemberdayaan ekonomi masyarakat, khususnya bidang pertanian yang sangat erat dengan lingko. Masyarakat Manggarai harus mencintai pertanian dan menjadikan itu peluang ekonomi di tengah gelombang pariwisata dan fenomena globalisasi lainnya.
Bagaimana masyarakat Manggarai mencintai pertanian (lingko-nya)? Pemerintah memberikan perhatian penuh terhadap pertanian, mulai dari pengolahan lahan, akses jalan raya, pemasaran hasil pertanian, penyedian pupuk, pelatihan dan lain sebagainya.
Selama ini belum tampak upaya masif dan terorganisir dari pemerintah setempat dalam mengelola pertanian. Mungkin karena pertanian tidak seksi bagi pemerintah, bukan lahan strategis untuk mengumpukan pundi-pundi. Tidak ada proyek besarnya.
Program yang masif hanyalah pertambangan. Walaupun masyarakat menolaknya tetap saja dipaksakan untuk diwujudkan, karena tambang sangat seksi bagi pemerintah dan pihak terkait untuk mendapatkan lebih banyak cuan alias fulus. Selain tambang, akhir-akhir ini yang masif adalah proyek pariwisata. Infrastruktur pariwisata dibangun di mana-mana, termasuk kebijakan kenaikan tiket. Dipaksakan, karena sangat seksi bagi pihak tertentu untuk mendapatkan pundi-pundi yang banyak.
Padahal pertanian adalah aspek utama penyokong pariwisata sekaligus memperkuat kehidupan ekonomi dan sosial budaya masyarakat Manggarai. Dalam kaitannya dengan pariwisata, sayuran dan beras misalnya sangat dibutuhkan untuk di berbagai restoran dan hotel di Labuan Bajo. Masyarakat Manggarai tentunya bisa menghasilkan sayur dan beras dalam jumlah yang banyak kalau ada perhatian serius dari pemerintah.
Pemerintah dan masyarakat seharusnya bekerja sama menyiapkan sayur dalam jumlah yang besar dalam kurun waktu satu tahun untuk beberapa hotel dan restoran. Harus ada kesepakatan antara pemerintah, pemilik hotel atau restoran dan masyarakat setempat. Kesepakatan bisnis. Petani tidak menjual sayurnya tunggu sayurnya ada yang sifatnya musiman. Hotel pasti menolaknya.
Lahan pertanian yang besar, kelompok tani, pengawasan dari pemerintah harus sejalan dalam mewujudkan hal tersebut. Selama ini para petani berjalan sendiri, dan pemerintah tampak tidak berdaya dalam menghidupkan pertanian berskala besar. Kalau anggaran infrastruktur pembangunan pariwisata begitu masif, terorganisir, dan terencana, mengapa pertanian sebagai penyokong pariwisata tidak demikian?
Pertanyaannya, apakah selama ini sayuran, beras, dan lauk untuk kebutuhan di hotel dan restoran juga kapal, berasal dari masyarakat Manggarai? Ataukah Manggarai hanyalah tempat bergerilianya pebisnis sayur, beras, dan lauk pauk yang berasal dari luar Manggarai? Lalu Manggarai, tanah yang subur, luas, dan mayoritas masyarakatnya adalah petani untuk apa? Berdoa, berpasrah, dan berpesta sajakah: pesta politik, pesta festival, dan pesta-pesta lainnya?
Lingko yang kapasitasnya besar seharusnya bisa diberdayakan untuk pangan kebutuhan pariwisata. Masyarakat Manggarai berguna untuk pariwisata premium dan pariwisata premium berguna untuk masyarakat Manggarai dan juga Gereja Manggarai. Ada uang kolekte untuk pembangunan Gereja Manggarai dari hasil pertanian. Kalau pemilik satu lingko, pemerintah, gereja, dan berbagai pihak bekerja sama dalam bidang pertanian demi meningkatkan ekonomi masyarakat maka di sana ada ikatan sosial untuk mempertahankan tanah ulayat yang disebut lingko.
Sebaliknya relasi antarwarga dan antara warga dengan pemerintah juga gereja makin renggang karena kepentingan pembangunan yang jauh dari asas keadilan dan munculnya ego setiap pihak maka filosofi gendang one lingko peang, kope oles todo kongkol, lonto leok, dan lain sebagainya tidak bermanfaat. Festival holistik pada akhirnya hanyalah omong kosong (bombastis) untuk kepentingan pihak tertentu saja.
Berbagai lembaga yang disebutkan di atas juga harus duduk bersama dalam mendiskusikan dan menyepakati regulasi yang tepat mencegah konflik tanah di Manggarai, supaya masalah tanah tidak mengganggu proses pembangunan dan ikatan sosial anatarmasyarakat dan antara masyarakat dengan pemerintah, atau mungkin juga dengan lembaga agama seperti Gereja Keuskupan Ruteng. Simbol atau formasi Lingko yang ditampilkan dalam Festival Golo Koe kiranya tidak sebatas “pementasan” tetapi dipraktekan dalam kebijakan publik pemerintah dan menjadi konsen misi Gereja Keuskupan Ruteng kemarin, sekarang, dan selama-lamanya. Masyarakat adat Manggarai bersama gendang sekaligus lingkonya pun tetap ada selama-lamanya