Indodian.com – Dari semua kisah indah yang pernah terjadi dalam hidup saya, perjumpaan dengan Alina adalah yang paling indah. Saat itu usianya dua puluh empat dan saya lima tahun lebih tua. Orang bilang, itu jarak usia ideal untuk sepasang kekasih.
Saya pertama kali melihatnya di salah satu ruang rawat inap rumah sakit. Teman kerja saya mengalami kecelakaan sepeda motor dan dilarikan ke sana sebelum meninggal dua hari kemudian. Dia seorang lelaki baik hati, memiliki isteri cantik dan anak perempuan kembar berusia empat tahun. Saya berduka teramat dalam.
Sore itu Alina mengenakan seragam medis berwarna putih dengan sepatu hitam membungkus kedua kakinya. Cup putih di kepalanya bertengger anggun dan rambutnya yang diberi L’Oreal Paris berwarna coklat keemasan disanggul rapi.
Dari balik kacamata bening, kedua bola matanya bersinar lembut. Saya langsung sadar bahwa dia cantik, walaupun sebagian wajahnya ditutupi masker. Mata indah itu sudah cukup mewakili semuanya.
Kami berdiri berseberangan, dipisahkan oleh tempat tidur pasien di mana teman saya terbaring tak sadarkan diri. Saya tidak begitu memperhatikannya sebab kami hanyalah dua orang asing yang kebetulan berada dalam satu ruangan yang sama.
Ada delapan tempat tidur pasien di sana. Semuanya terisi dan ruangan itu penuh sesak seperti pasar. Isteri teman saya duduk di kursi di samping kepala suaminya dan kedua anak mereka meringkuk di lantai.
Tempat tidur itu tepat di dekat jendela. Sinar matahari sore menerobos masuk lewat kaca jendela. Alina, yang berdiri menghadap jendela, tampak menikmati kehangatan cahaya itu.
Ia kelihatan serius mengamati nampan aluminium berisi jarum suntik, kapas, botol infus, dan berbagai macam obat-obatan. Seorang perawat yang jauh lebih tua dan berpengalaman sedang membasuh luka di kaki teman saya dengan alkohol.
Di dekat pintu, seorang laki-laki sedang menelpon sambil marah-marah tapi ekspresi wajahnya kelihatan sedih. Seorang gadis kecil berlari hampir menabrak pria itu.
“Mama …” gadis kecil itu berteriak sambil terus berlari ke arah Alina.
Alina meletakkan nampan obat-obatan itu di atas lemari kecil di samping tempat tidur, membersihkan kedua tangannya dengan cairan pembersih lalu menyambut gadis kecil yang memanggilnya mama itu dengan pelukan dan senyuman khas seorang ibu.
“Tadi jalan sama siapa dari rumah, sayang?”
“Sama opa.”
“Oma?”
“Di rumah. Masak.”
***
“Laki-laki itu menipu saya,” cerita Alina tentang Pram, pada suatu malam selepas acara pertunangan kami. Maria sudah tidur bersama opa omanya dan saya mengajak Alina mengunjungi Gua Maria di kompleks Rumah Sakit tempat ia bekerja.
“Waktu itu saya berumur delapan belas, dua bulan setelah tamat SMA. Dia mahasiswa semester lima. Malam sebelumnya dia datang ke rumah minta izin sama papa dan mama. Malam berikutnya dia rayakan pesta ulang tahun yang ke dua puluh lima. Selepas pesta kecil-kecilan bersama teman-teman kuliahnya, dia mengajak saya nginap.”
Kami duduk di bangku bambu di antara kolam ikan dan gua itu. Suaranya terdengar serak di antara gemerisik air pancuran di tengah kolam. Beberapa perawat nampak tergesa-gesa di koridor salah satu ruang rawat inap. Alina menangis. Saya merengkuh pundak kanannya dan ia menyandarkan kepalanya di bahu saya.
Ini episode terakhir yang ia simpan. Pernah suatu malam dia berjanji akan menceritakan bagian ini pada malam kami bertunangan dan sekarang ia menepati janji itu.
“Tiga bulan kemudian saya bercerita ke mama. Mama menangis, memeluk saya dan mengatakan bahwa dia sudah curiga dari awal. Itu saja. Kami memutuskan untuk membatalkan rencana kuliah. Ayah marah besar tapi tidak bisa buat apa-apa selain menangis.”
Sambil mengusap air matanya, Alina menceritakan bagian paling pahit dari kisah itu. Saat pertama mengetahui dia hamil, Pram menolak matian-matian kalau dia adalah ayahnya dan memberikan sejumlah uang untuk menggugurkan janin tak berdosa itu.
Alina frustrasi dan hampir bunuh diri. Tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya, dia mencoba menggungurkan bayi itu. Berbagai jenis obat-obatan ia jejalkan ke dalam perutnya. Tapi bayi itu bertahan dengan kuat sampai akhirnya Alina menyerah.
Suatu hari ayahnya memanggil Pram. Laki-laki bangsat itu akhirnya mengakui bahwa dia adalah ayah dari bayi yang sedang dikandung Alina. Seminggu kemudian dia dan empat orang perwakilan keluarganya mendatangi rumah Alina.
“Ayahnya wakil bupati saat itu.” kata Alina setelah berhasil menyeka pipinya dengan tisu. “Mereka datang bukan untuk bertanggung jawab, melainkan membawa segepok uang tutup mulut yang disertai ancaman.”
“Ayah ketakutan. Mereka mengancam akan membunuh saya kalau sampai nama anak mereka disebut-sebut dalam kasus kehamilan saya. Kami hanya orang kecil, tidak punya koneksi. Lebih aman lanjutkan hidup dan menanggung aib.”
Halaman : 1 2 Selanjutnya