Keempat, visi dan misi menjadi zombi
Perlu diingat bahwa tujuan utama zombi sebagai makhluk yang kita anggap sakit itu, bukan mencari obat tapi cari manusia lain untuk diinfeksi. Seperti poin kedua, obat dan vaksin bukan hal yang terlalu penting. Tujuan utama yakni integrasi masyarakat ke dalam sebuah sistem besar yang dapat dirajai oleh seorang “komandan zombi”.
Dalam konteks pandemi, proses zombinisasi ini penting dianalisis persis ketika tata kelola pandemi bukan lagi dilihat sebagai problem yang menyerang institusi kesehatan dan ekonomi melainkan telah menjadi problem yang menyerang secara langsungg spesies manusia pada umumnya. Jadi, targetnya spesies, bukan kelas.
Baca Juga : Menyapa Aleksius Dugis, Difabel Penerima Bantuan Kemensos RI
Baca Juga : Kisah Jurnalis di Manggarai Timur yang Setia Melayani ODGJ
Kelima, kelas ahistoris
Konsekuensi menjadi zombi adalah terputusnya hubungan kita dengan sejarah hidup kita sebagai manusia. Itulah mengapa dalam film, zombi dilukiskan sebagai gerombolan mahkluk yang tidak lagi memiliki kenangan. Hanya dengan sekali gigitan, manusia menjadi ahistoris. Hanya dengan sedikit sentuhan kedaruratan dan politik ketakutan, sesegera mungkin manusia melupakan arti persahabatan dengan tetangga, saling menyalahkan diantara sesama masyarakat, melupakan makna persekutuan dalam kehidupan gereja, menangguhkan pentingnya dimensi tatap muka dalam proses pendidikan, dan seterusnya, dan seterusnya.