Pada hari Paskah, keluarga dan beberapa teman mengirimkan ucapan di WhatsApp dan Instagram dalam bentuk puisi, kutipan Kitab Suci dan beberapa harapan agar menjadi manusia Paskah yang berani bersaksi tentang kebenaran dan keadilan. Di antara ucapan tersebut, ada seorang teman mengirim ucapan Paskah yang diawali dengan cerita menarik dan menukik.
Di sebuah Gereja, saat seorang Pastor berkotbah, belasan pria merokok di balik tembok. Anak-anak berkeliaran. Puluhan perempuan bergosip ria. Ketika ditanya mengapa? Seseorang yang tampaknya adalah mantan calon pastor menjawab begini, ”Dosen kami pernah berkata; Kotbah selama 5-7 menit memperdengarkan suara Tuhan, 7-10 menit adalah tambahan suara manusia dan selebihnya adalah suara setan”. Ternyata sang Pastor berkotbah selama 50 menit lebih sedikit. Pantasan.
Kotbah dan Homili
Dalam Gereja Katolik, ada dua istilah yang berbeda, tetapi memiliki kesamaan yakni kotbah dan homili. Pertama, kotbah. Secara etimologis, kata kotbah berasal dari bahasa Latin yaitu praedicare yang berarti berbicara di depan umum, mewartakan atau memberitakan. Dalam liturgi, kotbah dipahami sebagai sebuah bentuk pewartaan iman yang temanya beranekaragam seperti mengenai Kitab Suci, ajaran Gereja, ajaran moral, dsb. Kotbah juga tidak hanya di dalam Gereja, tetapi bisa juga dalam kegiatan keagamaan di luar Gereja (Romo Patris, 2011)
Kedua, homili. Homili berasal dari bahasa Yunani yaitu homilia yang berarti percakapan, pembicaraan yang enak, akrab antar sahabat. Kata homilia dalam bahasa Yunani klasik merupakan bentuk feminin dari homilon yang berarti kumpulan orang banyak (Berthold Anton Pareira, 2010:25-26).
Menurut Martasudjita (2005:139), homili diartikan sebagai suatu bentuk pewartaan Sabda Allah yang bertolak dari Kitab Suci dan memberi komentar dan penjelasan mengenai bacaan Kitab Suci sehingga misteri iman yang dirayakan dalam perayaan ekaristi menjadi relevan bagi hidup umat zaman ini.
Homili menjadi salah satu bagian penting dalam perayaan ekaristi teristimewa dalam menjelaskan isi Kitab Suci kepada umat. Pedoman Umum Misale Romanum Art. 65 secara khusus menjelaskan bahwa homili merupakan bagian liturgi yang sangat dianjurkan, sebab homili sangat penting untuk memupuk semangat hidup Kristen dan haruslah merupakan penjelasan tentang bacaan dari Alkitab ataupun penjelasan tentang teks lain yang diambil dari ordinarium atau proprium misa itu, yang bertalian dengan misteri yang dirayakan atau yang bersangkutpaut dengan keperluan khusus umat yang hadir.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita bisa memahami perbedaan dan persamaan kotbah dan homili. Kesamaannya bahwa homili dan kotbah berisi pewartaan Sabda Allah kepada umat dalam sebuah Misa atau perayaan ekaristi.
Adapun perbedaanya, homili selalu berisi pewartaan isi Kitab Suci atau penjelasan khusus tentang Kitab Suci yang berlangsung pada perayaan liturgi. Homili biasanya dibawakan oleh uskup, imam, frater, suster, prodiakon atau katekis. Dalam homili ini, Kitab Suci menjadi sumber utama yang perlu dijelaskan kepada umat yang hadir agar mereka semakin memahami Sabda Tuhan dan mengamalkannya.
Sementara kotbah bisa bertemakan Kitab Suci, ajaran sosial Gereja, seruan moral atau tema-tema lain yang penting untuk dijelaskan kepada umat. Akan tetapi kita bisa menyimpulkan bahwa apabila suatu kotbah dalam Misa bertemakan Kitab Suci, maka kotbah adalah suatu homili. Dalam tulisan ini, saya menggunakan istilah kotbah dengan merujuk pada pemahaman penguraikan isi Kitab Suci dalam perayaan Misa.
Kotbah, bukan Amarah
Kotbah memiliki posisi yang penting dalam Misa. Dalam kotbah, seorang Pastor menjelaskan isi Kitab Suci dan mengkontekstulisasikan pesan sesuai dengan situasi umat. Harapannya, umat dapat memahami Kitab Suci dan mengamalkannya dalam hidup harian. Perlu diakui bahwa ada Pastor yang berkotbah dengan memukau, berbahasa sederhana, singkat dan bermakna. Umat dapat memahami isi kotbah dengan baik.
Walaupun demikian, cukup banyak juga Pastor yang berkotbah terlampau lama, mononton, tidak relevan dan membosankan. Biasanya umat tidak berani menegur Pastor yang berkotbah terlampau lama. Umat lebih mencintai harmoni dalam relasi daripada berkonfrontasi dengan mengatakan “Kotbah tadi membosankan, Pastor”.
Keluhan mengenai kotbah ini menjadi keprihatinan Paus Fransiskus. Dia mengabadikan sebagian besar pesan Apostolik Sukacita Injil (Evangelii Gaudium) pada tahun 2013 untuk homili (kotbah). Dalam dokumen tersebut, Paus Fransiskus menjelaskan bahwa homili atau kotbah bukan wacana biasa, konferensi atau pelajaran. Tetapi lebih merupakan cara untuk melanjutkan dialog yang telah dibuka antara Tuhan dan umatNya, sehingga menemukan pemenuhan dalam hidup (Elise Harris, 2019).
Paus Fransiskus menambahkan bahwa pastor yang memberikan homili harus sadar bahwa mereka tidak melakukan hal mereka sendiri, melainkan mereka berkotbah, memberikan suara kepada Yesus, mengkotbahkan Dunia Yesus. Karena itu, Paus menegaskan bahwa suatu kotbah harus dipersiapkan dengan baik dan harus singkat. Kotbah yang terlalu lama menurut Paus Fransiskus adalah sebuah bencana. Menurut Paus Fransiskus kotbah harus dibatasi hingga 10 menit saja.
Ada kecenderungan umum bahwa pada hari Minggu atau hari-hari besar keagamaan, Pastor berkotbah terlampau lama. Kalau kotbah menarik, umat pasti antusias mendengarkan. Sebaliknya, ada pastor yang berbicara di luar isi Kitab Suci bahkan mulai marah-marah kepada umat dalam kotbah. Umat sudah lelah bekerja dan ingin mendapatkan inspirasi Kitab Suci, tetapi yang didapati hanya amarah. Ini mungkin alasan umat malas ke Gereja.
Ketika marah-marah, kotbah tidak lagi berisi kabar gembira kepada umat tetapi menjadi sebuah waktu penghakiman. Pastor mulai melitanikan kesalahan umat dan lupa untuk menguraikan isi Kitab Suci. Padahal kotbah sebenarnya berisi kabar gembira Tuhan dan setiap orang yang mendengarkan menjadi percaya dan diselamatkan. Kalau kotbah berisi ungkapan kemarahan, maka betapa tersiksanya umat mendengar kotbah. Umat sudah menerima bencana kotbah yang lama juga dijejali dengan luapan amarah.
Kotbah tanpa Kata
Ada kecenderungan yang kini masih bercokol dalam pola pikir para Pastor bahwa umat seperti tabula rasa yang perlu diindoktrinasi dengan nasihat-nasihat saleh. Umat didikte dengan seruan moral seolah-olah tanpa nasihat Pastor, umat akan kehilangan orientasi hidup. Padahal Pastor sendiri tidak mampu melakukan nasihat-nasihat seperti yang ada dalam kotbah.
Umat dahulu berbeda dengan umat saat ini. Perkembangan teknologi membuat umat memiliki banyak alternatif bahan bacaan dan video kotbah yang menarik di Youtube. Umat bisa memilih tontonan kotbah yang menarik dan menggugah hati di media sosial. Ketika umat menonton kotbah di Youtube, umat akan skip jika menikmati kotbah yang membosankan. Celakanya, umat tidak bisa skip ketika Pastor berkotbah di Gereja walaupun terlampau lama, membosankan dan tidak sesuai dengan isi Kitab Suci.
Selain waktu kotbah yang terlampau lama, ada beberapa alasan kotbah kurang menarik dan membosankan. Pertama, Pastor kurang memiliki saat hening untuk meditasi Kitab Suci. Konsili Vatikan II menegakan bahwa Kitab Suci merupakan sumber utama bagi seorang pengkotbah ketika memberikan homili (SC.Ar. 35).
Gereja menyadari bahwa homili merupakan pemecahan firman Allah sebab manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah (Mat, 4:4). Kitab Suci menjadi sumber inspirasi dalam kotbah dan homili karena melalui Kitab Suci, Allah bergumul dengan manusia dan menyelamatkan manusia lewat dan dalam SabdaNya sendiri.
Pastor yang berkotbah bisa saja berorientasi pada hal-hal lain seperti masalah sosial yang menjadi keprihatinan publik. Akan tetapi masalah sosial tersebut direfleksikan dalam kerangka Sabda Tuhan. Sebab setiap Sabda Allah tidak terlepas dari kehidupan nyata sehari-hari jika seorang pastor mampu menginternalisasikan berbagai nilai kemanusiaan dalam terang Kitab Suci.
Refleksi ini mengandaikan Pastor memiliki waktu hening untuk meditasi Kitab Suci. Seorang Pastor tidak mungkin menjadi seorang pewarta yang menerangkan isi Kitab Suci, tetapi ia sendiri tidak pernah membaca atau menyentuhnya. Pelbagai kesibukan pelayanan umat dan tuntutan mengurus bisnis pribadi seringkali membuat Pastor bermeditasi kalkulasi untung rugi bisnis daripada meditasi Kitab Suci.
Kedua, teknik penyajian kotbah. Dari segi substansi, kotbah para Pastor menyentuh inti Kitab Suci. Akan tetapi, isi kotbah yang menarik perlu dibarengi dengan teknik penyajian kotbah yang menarik. Dalam hal ini, kemampuan public speaking perlu pahami dengan baik agar kotbah menarik dan memikat umat.
Di tengah perkembangan teknologi saat ini, para pastor perlu menyampaikan kotbah tidak saja menyampaikan fakta, data dan kebenaran dalam cara yang aktif. Tetapi perlu mempresentasikannya dalam suatu cara yang bisa diterima masyarakat awam. Dengan kata lain, dalam kotbah, tidak cukup menggunakan bahasa rasional. Eksegese dan fakta-fakta memang dibutuhkan tetapi perlu melibatkan daya emosional. Dalam hal ini, para pastor tidak hanya menekankan rasionalitas teks tetapi mengkomunikasikan pesan Kitab Suci dengan menggunakan persuasi daripada represi.
Ada beberapa Pastor yang berkotbah dengan bahasa ilmiah seperti sedang memberikan kuliah. Umat mengalami kebingungan karena tidak mampu memahami bahasa yang terlampau tinggi untuk konteks masyarakat sederhana.
Para Pastor perlu memberi prioritas terhadap persuasi dan retorika. Kotbah yang baik perlu memang didukung dengan argumentasi rasional dan saintifik. Akan tetapi tetap dibarengi dengan nalar puitik berupa metafor-metafor yang menyentuh daya emosi umat.
Melalui metafor, ide-ide dasar menjadi panduan bagi hidup bersama dapat disampaikan secara konkret, dan dapat dengan mudah menyentuh kesadaran umat. Merujuk pada language game (permainan bahasa) Wittgenstein, para Pastor ditantang untuk berbicara dan menyampaikan kotbah tidak hanya bahasa rasional-ilmiah, tapi juga dalam bahasa puitis, prosais dan imajinatif untuk menggugah emosi umat.
Ketiga, gaya hidup konsumeris. Harus diakui bahwa gaya hidup para Pastor saat ini cukup mewah dan berkecenderungan ke arah konsumerisme. Ada kecenderungan untuk berlomba-lomba menumpuk harta baik dengan cara yang halal dengan menabung maupun dengan memaling uang umat. Uang tersebut dipakai untuk membeli kendaraan mewah di tengah realitas kemiskinan umat.
Di dalam perubahan gaya hidup tersebut, konsumsi tidak lagi dilihat sebagai sebuah kebutuhan dasar manusiawi, akan tetapi menjadi tanda kelas sosial, status atau simbol sosial tertentu. Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang dalam masyarakat.
Dalam konsumsi yang dilandasi dengan citraan dan tanda itu, logika yang mendasarinya bukan logika kebutuhan melainkan logika pemuasaan hasrat. Dalam diri manusiawi hasrat ini tidak akan pernah mengalami kepuasan. Hasrat melahirkan kecenderungan untuk selalu merasa miskin di tengah kegelimangan kekayaan, merasa diri tidak trend jika tidak memiliki handphone atau mobil terbaru atau merasa harga diri membumbung tinggi ketika membeli barang-barang dengan harga miliaran rupiah.
Produk-produk konsumsi menjadi satu medium untuk membentuk citra, harga diri, gaya hidup dan prestise. Alhasil, relasi sosial sehari-hari tidak lagi bertumpu pada relasi sebagai sesama manusia melainkan sebagai fungsi dari kepemilikan barang-barang dan gaya hidup.
Hal ini tentu menyedihkan sebab dalam kotbah, Pastor mengajak umat untuk hidup sederhana. Umat diminta untuk hidup sederhana dengan menanggalkan ketamakan yang tidak terpuaskan sebagai konsekuensi dari budaya konsumsi. Akan tetapi Pastor sendiri menghidupi pola hidup konsumeris.
Jika kotbah terlampau lama, membosankan, selalu ada marah-marah serta hidup Pastor tidak lebih baik dari umat sendiri, bukankah lebih baik misa tanpa kotbah?
Penulis : Rio Nanto