Indodian.com – Ungkapan dalam bahasa Latin di atas diucapkan oleh St. Agustinus ketika mengomentari Mazmur yang berbunyi: “Dia yang menyanyikan pujian, tidak hanya memuji, tapi memuji dengan sukacita”.
Rumusan asli dari Agustinus sebenarnya adalah “Bis orat qui cantat”- tanpa kata “bene”. Ini mengandung arti: Semua manusia adalah makhluk yang bernyanyi. Orang bisu sekalipun bernyanyi dalam jiwa dan benaknya.
Mungkin bagi Agustinus, menyanyi itu sendiri pada dasarnya memang baik karena mengungkapkan hakekat manusia sebagai makhluk yang bernyanyi (homo cantat). Apakah suara Anda merdu atau berbunyi seperti bambu pecah, bulat atau fals, ketika Anda bernyanyi, nyanyian Anda itu baik karena mengungkapkan keadaan batin Anda dan hakekat Anda sebagai “makhluk penyanyi”.
Kata “bene” (bhs Inggris: well– dengan baik) ditambahkan dari “General Instruction of Roman Missal” sehingga menjadi “Bis orat qui bene cantat” atau “Qui bene cantat bis orat”– whoever sings well prays twice. Siapa bernyanyi dengan baik, berdoa dua kali.
Jadi, bernyanyi sebagai satu bentuk pokok dari doa sesungguhnya adalah tradisi yg sudah sangat tua dalam Gereja.
Apa makna kata “bene” (well, “dengan baik”) dalam ungkapan itu? Apakah berarti bernyanyi secara profesional seperti para penyanyi profesional?
Rupanya tidak. Dalam perayaan liturgi sebagai perayaan bersama, yang dibutuhkan bukan menyanyi secara profesional. Dengan menambahkan “bene” yang dimaksudkan adalah “sing well, with enthusiasm, and conviction, and joy” (menyanyi dengan baik, dengan antusiasme, keyakinan yang mendalam, dan sukacita). Artinya ketika Anda mengikuti perayaan liturgis, Anda harus bernyanyi dengan gembira, penuh antusias dan iman (seperti ketika berdoa), terlepas dari apakah suara Anda baik atau buruk, minor atau bulat.
Itu juga berarti ketika merayakan liturgi, kita tidak sedang masuk ke panggung atau aula konser, di mana ada para penyanyi profesional di atas panggung dan ada penonton yang menikmati penampilan mereka. Nyanyian-nyanyian dalam upacara liturgi seperti perayaan Ekaristi mengharuskan “partisipasi semua umat”.
Selalu ada kecenderungan bahwa dalam perayaan liturgi atau perayaan Ekaristi, yang bernyanyi adalah anggota koor saja. Umat diam. Lagu-lagu yang dipilih juga lagu-lagu yang hanya bisa dinyanyikan anggota koor. Akibatnya, perayaan Ekaristi kehilangan dimensi partisipatifnya, dan menjadi seperti tontonan.
Padahal, liturgi Gereja Katolik mengharuskan supaya semua umat bernyanyi, bernyanyi dengan baik yaitu bernyanyi dengan penuh antusiasme, penghayatan, peresapan, dan dengan penuh iman bahwa lagu-lagu yang dinyanyikan adalah bentuk untaian doa kepada Sang Pencipta yang murah hati.
Perlu diingat bahwa yang dituntut dalam musik liturgi Gereja Katolik (lagu, melodi, syair, dll) bukan saja unsur artistiknya, melainkan terutama “ungkapan doa”. Tentu saja unsur seninya harus ada, tapi yg jauh lebih penting dari itu adalah musik (melodi, nyanyian, dll) membangkitkan sikap iman, bukan hasrat tontonan.
Gereja Katolik sangat ketat dengan musik liturgi. Dan itu menjadi salah satu ciri khas perayaan liturgi dalam Gereja katolik. Di dalam Gereja Katolik, musik liturgi selalu dipandang “menyatu”: musik-liturgis, dan tidak pernah atau tidak boleh menjadi “musik dalam liturgi”. Musik bukan bagian terpisah melainkan terikat satu dengan liturgi itu sendiri. Dia bukan elemen yang bisa dicopot atau ditambahkan begitu saja, melainkan sudah termasuk dalam keseluruhan dan inti dari liturgi itu sendiri.
Karena musik menjadi bagian dari hakekat ekaristi dan menyatu dengannya, tidak sembarang lagu dinyanyikan dalam perayaan Ekaristi. Kita harus bisa bedakan dengan baik “lagu rohani” dan lagu liturgis. Lagu rohani mengungkapkan pengalaman religius seseorang tentang Tuhan. Lagu rohani bisa universal dalam pengertian lagu rohani bisa dimiliki atau dinyanyikan oleh umat beriman dalam agama apapun.
Tapi serentak lagu rohani privat (tak bisa diuniversalkan) karena itu mengungkapkan pengalaman khas seseorang dengan Tuhan yang diyakininya atau pengalaman hidupnya. Lagu “Janjimu seperti fajar” misalnya adalah lagu rohani tentang pengalaman penulis lagu ini akan Tuhan yang tak pernah ingkar janji seperti fajar yang selalu setia terbit setiap hari. Anda bisa mengungkapkan pengalaman tentang Tuhan dengan cara berbeda atau lirik/musik berbeda dalam sebuah lagu.
Dalam Gereja musik rohani tentu ada, tapi tidak dimaksudkan sebagai lagu dalam perayaan-perayaan liturgis. Jadi, seindah apapun, semenyentuh apapun, dan semenarik apapun sebuah lagu rohani, lagu itu tidak bisa serta merta dan dengan gampang menjadi lagu liturgi yang dinyanyikan dalam perayaan ekaristi.
Apa bedanya dengan musik liturgis? Menurut dosen Liturgi saya di Ledalero, P. Bernard Boli Ujan, SVD, musik liturgis adalah musik yang baik teks, maupun melodinya secara khas mengekspresikan misteri iman Gereja yang dirayakan dalam liturgi yaitu tentang apa yang dilakukan Allah (karya keselamatan Allah) dan tanggapan manusia beriman (syukur, pujian, persembahan, sembah sujud, permohonan).
Dengan kata lain, musik liturgi harus berfungsi liturgis: baik teks maupun lagunya mesti sesuai dengan unsur atau tindak liturgis dalam keseluruhan tata perayaan liturgis. Contohnya: dalam liturgi pembaptisan, yang dipakai adalah lagu-lagu liturgis dengan tema pembaptisan, bukan lagu liturgis dengan tema pernikahan. Tidak sembarang lagu liturgis dinyanyikan.
Hal paling penting yg perlu diketahui sebagai kekhasan musik liturgis adalah musik liturgis (lagu-lagu liturgis) diterima secara resmi oleh Gereja melalui proses yang amat panjang. Menurut P. Bernard, proses itu disebut sebagai proses menjadikan suatu musik atau lagu liturgis sebagai “milik bersama”.
Jadi bukan soal suka atau tak suka, menarik atau tidak, sesuai selera atau tidak, atau menyentuh atau tidak menyentuh, melainkan “apakah lagu itu telah menjadi “milik bersama” dari Gereja karena disepakati sebagai musik liturgis. Karena itu, lirik dari lagu-lagu liturgis mesti bereferensi pada “Kitab Suci dan warisan tradisi atau ajaran Gereja”. Ini yang membedakan lagu liturgis dari lagu rohani (apalagi lagu profan).
Lagu-lagu dalam buku-buku nyanyian yang diterbitkan dengan “nihil obstat” dan “imprimatur” pimpinan Gereja adalah lagu liturgis. Misalnya lagu-lagu dalam madah bakti, puji syukur, yubilate atau syukur kepada bapa. Lagu-lagu ini diterima oleh Gereja melalui pertimbangan dan seleksi yang panjang nan ketat. Jika bingung menyeleksi teks untuk perayaan liturgi, pakai saja lagu-lagu itu asal dinyanyikan dengan baik, penuh penghayatan dan dipahami isi dan musiknya.
Dengan uraian dan pemahaman tadi, kita semua sepakat bahwa lagu “Cinta Luar Biasa” (Andmesh Kamaleng) yang dinyanyikan oleh sekelompok orang muda Katolik dalam sebuah perayaan Ekaristi (sebagaimana dalam tayangan viral) itu “tidak benar” dari sudut pandang ajaran liturgi Katolik. Lagu itu boleh dinyanyikan kapan saja, asal jangan dalam perayaan ekaristi dan perayaan liturgi lainnya dalam gereja Katolik.
Secara pribadi, saya lebih melihat hal itu sebagai semacam “blessing in disguise”. Sebab viralnya video ini menunjukkan bahwa sebetulnya banyak umat Katolik belum paham tentang musik liturgi. Umat mungkin tidak salah karena mereka mungkin kurang tahu. Tugas untuk memberi pemahaman itu adalah tugas para pastor paroki, komisi liturgi, dewan paroki, atau orang-orang yang lebih tahu. Dalam hal ini, saya kira, lebih bijak kita tak perlu menghakimi sebab kesalahan-kesalahan seperti ini bukan baru pertama kali terjadi. Mungkin sudah banyak terjadi, di tempat berbeda, dengan gaya kesalahan yang berbeda, tapi tidak terungkap dan tidak disadari sebagai sebuah kekeliruan.
Kalau melihat uraian di atas, sebetulnya entah kita sadar atau tidak, kita sering buat banyak sekali kesalahan seperti anggota koor memonopoli nyanyian dalam misa sehingga umat seluruhnya tidak ikut bernyanyi, ada tepuk tangan jika koor menyanyi dengan gemilang, bahkan ada tepuk tangan untuk pemazmur, lagu-lagu yang dipilih juga mengikuti prinsip “asal suka dan menarik”, dll. Menurut ajaran tentang musik liturgi sebagaimana di atas, semua ini tidak sesuai dengan prinsip musik liturgi.
Jadi rupanya “Qui bene cantat bis orat” dalam gereja Katolik itu bukan saja soal bernyanyi dengan baik, melainkan juga dengan “benar” yaitu lagu-lagu yang dinyanyikan dalam perayaan liturgi haruslah lagu-lagu liturgis, bukan sembarang lagu.***
*Untuk penjelasan lebih lengkap tentang “musik liturgi” bisa baca tulisan P. Bernard Boli Ujan, SVD dalam Majalah Bulanan Kristiani, INSPIRASI, No. 24, Agustus 2006, hlm. 27-29.