Indodian.com – Pemilihan umum (pemilu) adalah sesuatu hal yang penting dalam suatu negara, terlebih khusus pada negara liberal. Pemilu menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin yang berintegritas. Saat ini Indonesia sedang heboh dengan isu tentang para artis yang terjun ke dunia politik. Tak sedikit artis yang terjun ke dunia politik saat ini. Bahkan ada juga artis yang terjun ke dunia politik dan menjadi pemimpin.
Penulis melihat bahwa kemenangan para artis, bukan karena kualitas gagasan tetapi karena diminati oleh masyarakat mengingat profesi mereka yang suka bersandiwara. Banyaknya artis yang terjun ke dunia politik menjadi sorotan publik. Ada satu hal menarik bahwa hadirnya para artis ke dunia politik, mengindikasikan bahwa politik itu menjadi milik publik bukan hanya dimiliki oleh satu orang atau kaum politisi saja.
Dunia politik adalah dunia untuk semua orang tanpa ada ikatan oleh aturan tertentu. Dunia politik adalah milik publik, melalui politik orang bisa mengekspresikan diri mereka, baik pengetahuan, maupun kecerdasan sosial. Ruang politik adalah ruang yang bersifat netral, orang mempunyai hak untuk berlabuh ke dunia politik.
Kemenangan para artis dalam pemilihan daerah, tak lain karena popularitas mereka dalam masyarakat. Mereka memanfaatkan sandiwara mereka di atas panggung untuk memikat hati masyarakat. Masuknya artis dalam dunia politik, berawal dari ketidakpercayaan mereka terhadap pemimpin yang rakus dan secara kasat mata mempertontonkan kebijakan yang tidak adil.
Akan tetapi, kecemasan terbesar penulis melihat keterlibatan para artis dalam dunia politik adalah soal kualitas kepemimpnan dari para artis. Kehadiran para artis ke dunia politik tidak menjadi persoalan, tetapi yang menjadi persoalannya adalah ketika artis yang dipilih menjadi pemimpin itu tidak memiliki kualitas dan integritas. Tentunya dunia politik hanya dijadikan sebagai panggung untuk bersandiwara. Menjadi pemimpin karena popularitas, bukan karena integritas akan menghancurkan suatu bangsa.
Keterlibatan para artis ke dunia politik berawal dari pemilu pada tahun 2004. Saat itu ada 38 artis yang mencalonkan diri untuk berpartisipasi dalam pemilu. Pada tahun 2009 tercatat artis yang ikut dalam pemilu adalah 61 orang. 2014 artis yang ikut dalam pemilu ada 71 orang, pada tahun 2019 ada 91 artis yang mencalonkan diri. Dan pemilu tahun 2024 mendatang tercatat artis yang ikut dalam pemilu adalah 61 orang (Kompas, 22 Mei 2023).
Data di atas menunjukkan bahwa partisipasi artis dalam kontestasi politik mengalami peningkatan yang signifikan. Ini adalah sesuatu hal yang baik, tetapi jangan sampai bangsa ini dipimpin oleh orang yang menjadikan panggung politik sebagai ajang untuk mementaskan sandiwara mereka, dan pemimpin yang tidak memiliki integritas. Di tengah berkembangnya arus globalisasi, yang dituntut adalah skil dan pengetahuan yang mapan, dengan tujuan agar bisa membedah semua persoalan yang datang silih berganti.
Berpijak dari realitas ini, hemat penulis untuk menjadi pemimpin harus memiliki realitas sosial yang baik dan mempunyai integritas yang tinggi bukan popularitas. Sehubungan dengan ini, Rocky Gerung pernah menjelaskan bahwa kualitas yang mendongrak elektabilitas, bukan popularitas. Pemimpin yang bermodal popularitas akan berdampak buruk pada kinerja kepemimpinan, karena tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mapan akan realitas sosial.
Lucky Hakim salah seorang artis yang pernah menjadi pemimpin, ia mengundurkan diri karena tidak bisa menjalankan semua program yang ia sampaikan pada saat berkampanye (Kompas, 07/03/2023). Dari data ini, hemat penulis bahwa popularitas belum bisa menjamin seorang artis terjun ke dunia politik, jika tidak diimbangi pengetahuan. Pengetahuan sangat dibutuhkan dalam ranah politik.
Ada dua hal yang menjadi dasar penulis menilai bahwa para artis belum mampu menjadi pemimpin. Pertama, profesi dari para artis. Artis memiliki tugas utama yaitu sebagai seni dalam melakoni sebuah drama di atas panggung. Hal ini akan berdampak pada sistem kepemimpinan pada suatu bangsa yang hanya menjadikan ruang politik sebagai tempat untuk mementaskan drama. Jangan sampai pemimpin berlabuh di antara dua karang, yang berarti di satu sisi sebagai artis dan di sisi lain sebagai pemimpin. Tentunya ini akan berdampak pada kinerja dari pemimpin, seperti Lucky Hakim yang mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak memiliki integritas.
Kedua, minim integritas. Seorang artis dipilih menjadi menjadi pemimpin hanya karena dikenal oleh masyarakat, dan karena banyak diminati oleh banyak orang. Negara tidak membutuhkan “tong kosong”, tetapi negara membutukan orang yang betul-betul memahami realitas sosial yang tinggi. Popularitas tidak dibutuhkan dalam negara. Banyak orang yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki integritas, itulah yang dibutuhkan oleh negara, bukan semata-mata karena diminati oleh banyak orang. Untuk menjadi pemimpin hal utama yang harus dimiliki adalah integrits, dan popularitas adalah hal yang kedua. Ibarat membangun rumah yang menjadi utama dan pertama adalah dasar (fundasi). Fundasi itu adalah integritas.
Dari problem ini penulis menawarkan dua solusi. Pertama, membatasi para artis yang terlibat dalam dunia politik. Kenapa? Karena artis memiliki profesi yang tetap seperti yang sudah dijelaskan penulis sebelumnya. Yang menjabat sebagai pemimpin diutamakan pada masyarakat yang tidak memiliki popularitas tetapi memiliki integritas.
Kedua, partai politik tidak boleh merekrut para artis. Hal ini akan berdampak pada integritas bangsa. Saat ini tidak sedikit partai politik yang merekrut para artis, sebab para artis memiliki popularitas dari masyarakat sehingga para artis diperalat oleh partai politik untuk meraih keuntungan. Melihat realitas ini, pemerintah harus membuat kebijakan agar partai politik tidak merekrut para artis. Jangan sampai partai politik didominasi oleh para artis dan pemimpin juga didominasi oleh para artis, sehingga yang ada hanya orang buta menuntun orang buta.
Penulis : Febrianus Goa (Siswa SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo)
Editor : Rio Nanto