Pelangi di Mataku

- Admin

Sabtu, 17 Juli 2021 - 20:21 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hidungnya yang mancung, kulit yang tipis, eksotis, dan lembut, perawatan maksimal, wangi bak cendana, dan tutur kata yang santun, membuat dia begitu sempurna.

“Jangan melihatku dari tampak luarnya saja.”

“Wah, kok begitu nona?”

“Iya, terkadang kita melihat sesuatu atau seseorang dari tampak luar. Ibarat pelangi yang terlihat indah dari jauh.”

“Kan itu pintu masuk menuju ke kedalaman to?”

“Halahhhh, itu lain cerita kak.”

“Huh, saya tidak mengerti nona.”

“Begitu juga saya kakak.”

Putaran waktu tanpa henti. Obrolan kami terhenti di menit ketiga puluh pukul empat. Kaki langit menyembulkan rona merah kekuningan. Hari baru datang lagi.

Mukanya lelah. Tak bertenaga.  Seperti semalaman berolahraga.

“Kakak, saya capek dengan semua ini.”

“Terus gimana dong?”

“Bawalah saya kemana pun kakak pergi!”

Saya terdiam lagi. Merenungkan bagaimana kelak kesan tetangga dan keluarga?

Ah, bodo amat. Dalam hitungan detik saya menstarter motor. Berdua satu tujuan.

Sepanjang perjalanan mata orang-orang tak pernah berkedip. Seakan-akan mereka mengenal betul siapa yang bonceng di belakangku. Tapi mereka membuang muka ketika saya menyapa.

“Adakah sesuatu yang buruk tentang mereka?” Saya membatin.

“Kawan, kau tidak salah ka?” Tiba-tiba Radus, kawan sekompleks yang sedari tadi membuntutiku hingga pintu rumah bertanya.

“Apa ada yang salah, kawan?”

“Tidak juga, cuma…”

“Cuma sehari kok. Saya cuma mau beri dia tumpangan, kawan.”

“Widih, siapa yang kau bawa hah?” Tanya Bibi saudariku.

“Sebagai perempuan kamu harus lebih memahami dia diks.”

Baca juga :  Kota dan Rindu yang Setia

“Halah, mekanisme pembelaan diri lagi.”

“Sssttt, diam saja!”

“Kakak!!” Tiba-tiba Pelangi memanggil saya.

“Apa yang bisa dibantu diks?”

“Kak, saya sekarang tidak punya siapa-siapa lagi. Saya betah di sini.”

Saya tidak menjawabnya. Dalam hati saya hanya berdoa, agar diberi kebijaksanaan dalam membuat keputusan singkat di jalan sempit. Bahwasannya setiap keputusan punya risiko. Ini pertarungan suara hati dan budaya.

“Tapi….”

“Tapi apa, kakak?”

“Ah, sudahlah. Minum kopi dulu. Biar rileks!”

Dia melengkungkan harapannya pada langit biru. Menghiasi gumpalan kabut dan gerimis-gerimis yang membentur dunia seberang lautan. Menggantung asa pada kobaran neraka pemusnah harapan.

Baca Juga : Kisah Yuliana Mijul, Gali Pasir dan Menenun Demi Menyambung Hidup Keluarga
Baca Juga : Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran

Minggu ini orang-orang sekompleks tak seperti biasanya. Mereka hanya melintas tanpa memberi salam. Sebabnya kabar tersiar hingga sudut kompleks bahwa saya membawa penghuni Sophisticated.

“Nona, maukah kau ke suatu tempat?”

“Asyik! Ke pantai ya?”

“Bukan. Kita ke pastor paroki.”

“Apaan itu?”

“Ikuti saja.”

“Baiklah, jika itu pilihan terbaik.”

Saya lalu menstarter motor butut. Memboncengi Pelangi. Melalui perjalanan satu kilometer ke pusat paroki.

Dia memeluk saya erat-erat. Seolah-olah ini pelukan tererat sepanjang masa. Semacam pelukan baka. Bukan lagi pelukan Yudas.

“Permisi, apa ada pastor paroki?” Saya menanyai tukang kebun paroki yang sedang memangkas bunga.

“Dia sedang melakukan kunjungan pastoral sejak kemarin. Karena jauh, dia baru tiba satu jam lagi,” jawab bapak paruh baya, yang kemudian saya ketahui bernama Fernando.

Baca juga :  Kita adalah Sepasang Luka

“Bisakah kami tunggu?”

“Terserah. Apa ini urgen?”

“Sepertinya begitu!”

“Silakan tunggu saja. Bisa sambil melihat kompleks pastoran.”

“Terima kasih.”

Matahari sore mulai menapak di atas bubungan gereja. Membentur candi dan salib yang menghadap ke barat.

Tapi dari seratus meter terdengar suara motor tua. Oh, puji Tuhan. Itu pastor paroki.

Saya melihat roman muka pastor ini menyimpan tanya. Entah keheranan atau ada yang tidak beres pada saya?

“Sabar dulu. Ini kawan Teusu kan?”

“Wah, ini panggilan semasa SMA saya. Tapi siapa yang pastor maksudkan?”

“Betul. Teman SMA saya di seminari menengah.”

Saya mengingat-ingat ke masa di mana kami dijuluki petualang intelektual muda. Musafir kecil nan dipenuhi kerikil-kerikil kecil bernama pubertas.

“Tapi…”

“Saya Pastor Rikardo.”

“Wah, sorry pastor. Saya hampir lupa setelah puluhan tahun tak bertemu. Pun bertukar kabar.”

“Hmm, begitulah sobat.”

Dia mulai bercerita saat mana saya menjadi sasaran olok-olokan akrab khas komunitas anak asrama. Saya adalah anak-anak paling kecil. Kurus kerempeng. Bahkan saking kecilnya, saya kerap ditakuti dengan ancaman sembunyi di dalam piring nasi.

“Hahah, masih ingatkah kau kawan?” katanya.

“Pastor, itu semua nostalgia.”

“Hahah, betul kita dulu menyukai gadis yang sama,” katanya menyebut gadis di sekolah tetangga kami.

Lalu tawa kami membahana di ruang tamu pastoran.

Baca juga :  Teriakan-Teriakan Lia

“Pastor, saya kemari bukan untuk reuni.”

“Mau konsultasi pernikahan kah?”

“Mmmm, past….”

“Aeh, akhirnya kau laku juga.”

“Huhh…, bukan begitu juga pastor.”

Saya menceritakan duduk perkaranya. Mulai dari perkenalan dengan si perempuan malam, yang saya kenal saat bulan tak menampakkan tawa hingga dibunuh mentari pagi.

Baca Juga : Kota dan Rindu yang Setia
Baca Juga : Menjadi “Gentleman”?: Silang Pendapat Locke dan Rousseau tentang Pendidikan

Saya yakin bahwa Pastor Rikardo memberikan solusi terbijak. Di satu sisi dia adalah teman baik, kawan lama yang sudah mengetahui latar belakang saya. Tetapi di sisi lain, dia adalah gembala umat beriman di paroki kami. Maka saya tidak sungkan-sungkan menceritakan hubungan saya dan Pelangi yang aneh dan singkat. Butuh semalam untuk membuat komitmen sepanjang hayat dengannya.

“Pulanglah kawan. Lalu kau buat komitmen untuk berubah.”

“Terima kasih pastor.”

“Ya, bukankah semua manusia punya masa lalu?”

“Kalau begitu pastor setuju hubungan saya dengan…?”

“Saya!” Sambung Pelangi.

“Hmmm, tergantung kalian berdua.”

“Kalau begitu saya bertobat dan relakan saya dibaptis,” jawab Pelangi.

Pastor Rikardo memilih nama baptis perempuan eksotis ini, setelah sepintas membaca riwayat hidup santo-santa.

“Saya usul nama Magdalena Rosariana Pelangi kalau dibaptis.”

“Sepakat!!” Jawab saya dan Pelangi serempak.

Lalu kami pulang dengan damai. Lega rasanya setelah bertukar pikiran dengan kawan lama yang baru seminggu menjadi pastor paroki kami. Ini seperti sebuah perutusan.

Komentar

Berita Terkait

Suami Kekasihku
Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Berita ini 404 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA