Ia orang Papua, lahir-besar di Timika, bapa mamanya orang Jawa. Sekarang ia tinggal dan bekerja di Jakarta.
Tumbuh dalam “Pengalaman traumatis masa kecil,” ia pernah begitu membenci tubuhnya sendiri. Kebencian itu tidak hanya membuat dia berkali-kali menyayat tangan kirinya, tetapi lebih dari itu, ia tujuh kali melakukan percobaan bunuh diri.
Pada kegagalannya yang ketujuh, dengan berderai air mata, ia bertanya pada Tuhan, “Sampai segininya Kau memperjuangkan hidup saya, Tuhan?”
Ia pernah bermimpi menjadi pengacara; ia menyukai cara mereka menolong orang-orang yang menginginkan keadilan dan jauh di kedalaman hati. Ia sebenarnya ingin memerangi ketidakadilan yang menjerat hidupnya selama bertahun-tahun.
Pada satu titik terendah dalam hidupnya, saat ketidakadilan yang sama meruntuhkan mimpi itu dengan kejam, ia memilih memimpikan sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih rumit dan mulia: menjadikan kegetiran hidupnya bernilai bagi orang lain.
“Aku ingin, aku punya value bagi orang-orang di luar sana, siapa pun itu.”
Ia cerdas, kuat, dan enak didengar saat bercerita. Ia mempunyai cerita berharga yang sangat layak didengar banyak orang, bukan saja oleh orang-orang yang punya hati untuk peduli, melainkan juga—terlebih—oleh para penegak hukum kita.
Yohana Kusmaning Arum—ia suka disapa Yoan—tumbuh dalam pengalaman traumatis yang merampas sebagian besar kebahagiaan masa mudanya.
Saya, sama seperti Yoan juga, seorang pengikut Kristus yang percaya bahwa angka tujuh adalah simbol kesempurnaan. Manusia diciptakan pada hari ke tujuh. Kita mengampuni tujuh puluh kali tujuh kali. Basuh diri tujuh kali di Sungai Yordan …
Saya selalu percaya angka tujuh itu sakral. Tetapi sejak mendengar cerita Yoan, saya memandang angka tujuh dengan sudut pandang yang sama sekali tidak pernah saya pikirkan sebelumnya.
Setiap memikirkan angka tujuh dan hubungannya dengan Yoan, ada satu makna baru yang muncul: Angka tujuh adalah batas akhir negosiasi dengan takdir; penuh horor dan sebaiknya jangan dilanggar—terutama oleh Yoan sendiri.
Saat ini Yoan berumur dua puluh empat. Dalam rentang usia yang masih sangat muda itu, dia pernah tujuh kali mencoba bunuh diri. Pada kegagalannya yang ketujuh, ia bertanya pada Tuhan, “Sampai segininya Kau memperjuangkan hidup saya, Tuhan?”
***
Kegetiran hidupnya dimulai pada usia sembilan. Dari beberapa bagian yang ingin disimpannya sendiri, memori-memori kelam dalam rentang waktu ini adalah salah satu yang paling ingin disimpannya rapat-rapat.
Saat ditanya mengenai apa yang telah terjadi, Yoan memilih menggambarkannya
dalam empat kata, “Pengalaman traumatis masa kecil.”
Pada usia sembilan, ketika “Pengalaman traumatis masa kecil” itu terjadi, tidak pernah terlintas dalam pikirannya yang polos bahwa semua itu akan sangat mempengaruhi keputusan-keputusannya di masa depan.
Mimpi buruk yang sebenarnya, datang bersamaan dengan kesadaran akan keluhuran tubuhnya sebagai seorang perempuan. Pelajaran biologi dasar di sekolah menengah sudah cukup membuatnya berpikir, “Pengalaman traumatis masa kecil” itu merusak tubuhnya, merampas martabatnya sebagai seorang perempuan.
Yoan mulai merasa jijik dengan tubuhnya sendiri, merasa terhina, ternoda, dan tidak lagi berharga. “Ternyata gue semenjijikkan itu ya, gue sekotor itu ya…”
Perasaan itu hadir hampir bersamaan dengan mimpi buruk lain, mimpi yang jauh lebih kejam dari semua mimpi buruk yang menghantui masa kecilnya yang tidak bahagia: orangtuanya cerai saat ia kelas enam SD.
“Di situlah awal mula saya punya prinsip hidup sendiri, dengan aturan sendiri,
pengen ngerasain dunia kaya apa.”
Ia melewati tiga tahun masa SMP dalam dua dunia yang berbeda. Dunia sekolah dan dunia luar sekolah yang keras dan—sorry, Yoan—liar. Tuntutan bertahan hidup—hari ini mau makan apa—tekanan batin, perasaan bersalah, dan pandangan negatif tentang diri sendiri, menghantar Yoan pada pilihan hidup yang benar-benar sulit dimengerti.
Pada usianya yang masih sangat belia, ia pernah menjual obat-obat terlarang dan menjadi pihak ketiga yang menghubungkan pria-pria hidung belang dengan calon korban mereka.
“Yaa lumayan dapat cepe lima puluh, malam minggu siapa mau kasih,” ucap Yoan dengan bibir tersenyum getir dan tatapan kosong.
Pelarian tidak pernah menenangkan, apalagi menyembuhkan. Di waktu-waktu mendatang, mungkin Yoan harus meminta maaf pada tangan kiri yang beberapa kali disayatnya—cutting.
“Saya tidak pernah mengizinkan tangan kanan saya terluka.”
Dia beberapa kali menyayat tangan kirinya dan menikmati setiap detail rasa sakit yang muncul setelahnya. Yoan mau tunjukkan satu hal, tidak ada lagi rasa sakit yang mampu membuatnya terganggu.
Waktu berlalu, Yoan bertambah dewasa, tapi kemalangan hidup datang sili berganti. Waktu SMA ia jatuh cinta pada seorang pria yang membatasi hampir seluruh ruang geraknya.
“Kenapa kamu mau saja diatur-atur sama lelaki toxic kaya dia?” “Aku hanya punya dia! The one and only. Ga punya siapa-siapa lagi.”
Pertengahan tahun 2017, Yoan terbang ke Jogja. Dia kuliah satu semester di Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Di akhir semester itu dia mendapat IPK 3.7, suatu pencapaian yang sangat luar biasa mengingat peristiwa- peristiwa mengerikan yang terjadi sepanjang semester.
Di Jogja, Yoan kehilangan kontak dengan ibunya di Papua. Entah mengapa, ibunya sangat sulit dihubungi. Sama sekali hilang kontak.
Bersamaan dengan itu, kekasih yang dianggapnya sebagai “the one and only” itu mengkhianatinya dengan kejam.
Beberapa hari lalu, dengan tawa dan tatapan yang tak lagi menyimpan rasa sakit, Yoan bercerita bahwa ternyata laki-laki itu diam-diam menduakan dirinya—suatu sayatan lain lagi tercipta, bukan di tangan kiri, tapi jauh di dalam hati.
“Gue anggap dia itu satu-satunya. Tapi ternyata gue bukan satu-satunya dia.”
Dalam situasi itu—dikhianati, kehilangan kontak dengan ibu, kecemasan akan kondisi keuangan—memori masa kecilnya kembali menghantui dan dia mulai mencoba bunuh diri.
Sayat tangan kiri (cutting), telan racun serangga, minum ramuan obat-obatan keras, dan yang nyaris terjadi, gantung diri. Yang terakhir ini sangat dramatis: tali sudah di leher, hp di tangan bergetar, dan tubuhnya menolak untuk mati.
“Yoan, saya sudah transfer seratus, buat makan.” Itu pesan singkat di hp yang bergetar itu, dari salah satu temannya. Dia langsung terkapar di lantai dan menangis, “Sampai segininya, Tuhan …”
Setelah terpaksa berhenti kuliah dan menguburkan cita-cita menjadi pengacara, pada awal 2018 Yoan merantau ke Jakarta.
Tanpa uang, tanpa jaminan pekerjaan.
Di Jakarta ia tinggal dengan kakaknya dan (untungnya) bekerja di sebuah laundry di ibukota—ibukota yang kemudian dianggapnya sebagai ayah yang tegas: untuk makan, kau harus bekerja.
***
Salah satu kesialan terbesar dalam hidup manusia adalah terulangnya sejarah hidup, terutama sejarah yang benar-benar buruk.
Di Jakarta, Yoan tiga kali mengalami pelecehan seksual: di KRL, diajak sama “orang daerah” yang sedang lakukan perjalanan dinas ke Jakarta, dan ditawar dua juta semalam sama oknum pilot salah satu maskapai ternama.
Tiga peristiwa ini terjadi saat Yoan berada dalam titik terendah dalam hidupnya. Namun, pada titik inilah Yoan justeru menunjukkan pada orang-orang ini—pada kita semua—bahwa dia adalah seorang perempuan berkelas, perempuan yang harga dirinya tidak bisa ditawar dengan apa pun.
***
Pada titik itu, Yoan tahu kemana ia mesti berlari: pada Tuhan, melalui agama yang diwariskan ibu dan bapaknya. Yoan seorang Kristen. Dan dia minta bimbingan serta memohon penyembuhan melalui Gereja.
Namun sayang, orang-orang Gereja—yang dianggap Yoan sebagai circle terdekatnya dia—justeru menghakimi dia dalam doa-doa yang terdengar kejam.
Dalam doa-doa itu, Tuhan diminta untuk membebaskan Yoan dari roh pelacuran dan roh narkoba.
“Gue nggak ngel*nte, anj*ng. Kalau loe sayat tangan gue, loe hanya akan temukan dosa di dalamnya, bukan narkoba, apalagi darah pelacur. Gue orang berdosa, iya, gue nggak nyangkal itu. Tapi gue nggak open BO, nggak pake narkoba.”
Sejak saat itu, Yoan memutuskan untuk berhenti percaya pada Gereja. Pada Gereja, bukan pada Tuhan. Imannya tetap kuat, iman pada Tuhan yang membelanya mati-matian untuk tetap hidup, setelah tujuh kali percobaannya untuk mati.
***
Suatu waktu, di Jakarta, ketika sedang bersepeda, Yoan sempat berpikir untuk menabrakkan diri ke kereta yang sedang lewat. Untunglah pikiran itu cepat ditepisnya, sehingga dia tidak jadi melakukan percobaan ke delapan.
Saat Yoan bercerita tentang bagian yang ini, saya merinding, saya tiba-tiba takut. Saya takut, tujuh percobaan pertama sudah cukup dan telah tiba di ambang batas.
Walaupun Yoan tidak lagi percaya pada Gereja, tapi dia tetap percaya pada Tuhan. Tuhan yang mempunyai hubungan erat dengan kesempurnaan angka tujuh. Saya takut, negosiasinya dengan takdir sudah berakhir.
Berakhir di angka tujuh.
“Yoan, kamu berharga. Kamu cantik, kamu cerdas. Berhentilah menawarkan hidupmu pada takdir.”