Misteri Manusia Purba Flores (Homo Floresiensis)

- Admin

Minggu, 13 Maret 2022 - 18:14 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Seorang Pastor Katolik asal Belanda, Theodor Verhoeven, SVD, yang mengajar di Seminari Menengah Mataloko (1949-1966), Kabupaten Ngada telah melakukan penelitian lapangan dan ekskavasi (penggalian) beberapa lapisan tanah berbatu di hampir seluruh daratan Flores (dari Flores Timur hingga Flores Barat). Bersama tim ekspedisinya, Theodor Verhoeven menemukan fosil gajah purba jenis Stegodon pada tahun 1956 di Ola Bula, Mata Menge, Kabupaten Ngada yang berusia 400.000 tahun.


Hasil penemuannya ini mematahkan Teori Wallace Line yang mengatakan bahwa daratan Indonesia Timur, termasuk Flores, tidak pernah bergabung dengan pulau-pulau lain di Indonesia Barat pada zaman glacial atau zaman es yang terjadi sekitar 19.000 tahun yang lalu.


Menurut Verhoeven, pada zaman glacial terjadi penurunan air laut akibat meluasnya wilayah yang tertutup es di kutub Utara dan Kutub Selatan sehingga terjadi proses migrasi manusia dan fauna secara dua arah, baik dari wilayah Indonesia Barat maupun dari wilayah Indonesia Timur.
Di samping fosil gajah purba jenis Stegodon yang dinamakan Stegodon Trigonocephalus Florensis, tim Verhoeven juga menggali lapisan tanah di beberapa gua alam di seluruh Flores, termasuk gua alam di Liang Bua, Kabupaten Manggarai. Tim Verhoeven pada tahun 1965 menggali lapisan tanah di gua alam Liang Bua sedalam 4 meter dan menemukan fosil tengkorak dan kerangka manusia. Setelah diteliti oleh beberapa arkeolog dari Universitas Leiden dan Utrecht di Belanda, dinyatakan bahwa fosil tengkorak dan kerangka manusia itu adalah ras proto Negrito anggota spesies Homo Sapiens atau manusia modern.

Baca juga :  Fosil Budaya Purba Flores (2)


Namun karena Pastor Theodor Verhoeven SVD ini dianggap tidak memiliki latar belakang yang cukup di bidang arkeologi, maka hasil-hasil penemuannya di atas mulai diteliti lagi oleh banyak arkeolog baik dari Pusat Arkeologi Nasional (ARKENAS) maupun dari beberapa Universitas Mancanegara (Australia, Prancis, Kanada dan Jepang)/
Kontroversi Penemuan Lanjutan
Pada tahun 2003, tim peneliti ARKENAS dalam kerja sama dengan Prof. Morwood dari University of New England di Australia dan arkeolog dari Smothosomian Institution melakukan ekskavasi (penggalian) di Liang Bua sedalam 5,9 meter dan menemukan 6-10 kerangka manusia purba.


Ciri-ciri fisiknya tubuh kerdil hanya setinggi 106 centimeter (1,06 meter), dengan bobot 25 kg dan kapasitas otaknya 417 centimeter kubik (seperti pada Simpanse). Tim ini langsung menamakan fosil manusia purba ini sebagai jenis spesies baru dan diberi nama Homo Floresiensis atau sering disebut The Hobbit from Flores
Adapun para peneliti dari Pusat Penelitian ARKENAS EW antara lain Saptomo, Thomas Sutikna, Jatmiko, Sri Wasisto dan alm. Rokus Due Awe. Hasil riset dan ekskavasi tahun 2003 ini dipublikasikan di Jurnal NATURE dan menimbulkan kontroversi atau tanggapan dari banyak pihak.

Baca juga :  Nama-Nama Orang Flores


Sejumlah ilmuwan mengatakan bahwa manusia Hobbit Flores adalah anggota spesies Homo Erectus. Hanya saja mereka mengalami isolasi dan evolusi sehingga badannya menjadi kerdil. Sedangkan ilmuwan lainnya mengatakan bahwa Hobbit Flores adalah spesies Homo Sapiens atau manusia modern, tetapi memiliki otak yang kecil sebesar anggur.
Ilmuwan asal Perancis (Prof. Belzeau) meneliti ulang tulang-belulang Hobbit Flores menggunakan teknologi pemindaian yang tinggi lalu berkesimpulan bahwa manusia purba ini mengidap penyakit tertentu yang berkaitan dengan kelainan genetik, sehingga menyebabkan kekerdilan. Oleh sebab itu, dia berpendapat bahwa spesies manusia ini kemungkinan adalah Homo Erectus atau Homo Floresiensis alias spesies baru, tetapi bukan Homo Sapiens.


Prof. Teuku Jacob dan para peneliti dari Laboratorium Bioantropologi dan Palaeantropologi Universitas Gajah Mada (UGM) mengatakan bahwa Hobbit Flores adalah nenek moyang manusia modern (Homo Sapiens). Rahang bawah dan gigi Hobbit memiliki kesamaan dengan suku pigmi Rampasasa yang tinggal di sekitar Liang Bua.


Sebagian individu menunjukkan kondisi mikrosefalia (bertengkorak dan berotak kecil), sedangkan sebagian yang lain tidak mengalami mikrosefalia meskipun bertubuh kecil. Dan kerangka Hobbit Flores ini mirip dengan populasi Austromelanesia.


Waktu Kepunahan Hobbit Flores
Kapan kira-kira Hobbit Flores ini punah? Berdasarkan usia lapisan tanah yang tertua dan termuda di lokasi penemuan fosil ini, antara 95.000 -12.000 tahun, maka besar kemungkinan kepunahan Hobbit Flores ini terjadi 50.000 tahun yang lalu. Kemungkinan ini diperkuat oleh penemuan beberapa artefak yang digunakan oleh Hobbit ini dan yang berusia paling muda 50.000 tahun.

Baca juga :  Kategori Hasil Penemuan Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores (1)


Berdasarkan kepunahan hewan-hewan purba (Stegodon Pigmi, Burung pemakan bangkai, burung Bangau raksasa Merabu, Komodo) pada 12.000 tahun yang lalu, maka diduga bahwa spesies Hobbit Flores ini juga mengalami kepunahan pada 12.000 tahun yang lalu. Mengapa? Matt Tocheri, Paleonantropolog dari Universitas Lakehead, Kanada mengatakan ada semacam simbiosis mutualisme antara hewan-hewan itu dengan Hobbit Flores sehingga begitu salah satunya lenyap maka yang lain juga turut lenyap.
Di samping itu, taring gigi Hobbit Flores memiliki kesamaan dengan manusia awal di Afrika yang sangat tua, yang merupakan sisa-sisa manusia awal pada era modern (homo sapiens). Jadi kalau Hobbit Flores punah 12.000 tahun yang lalu, maka diduga ada kontak dengan manusia awal modern (homo sapiens) yang datang ke Flores.

Tulisan ini dihimpun dari pelbagai ulasan ilmiah yang dimuat di Flores Pos dan Pos Kupang tahun 2015-2016.

Drs. Ansel Doredae, SVD, MA
Kepala Museum Bikon Blewut Ledalero

Komentar

Berita Terkait

Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16
Nama-Nama Orang Flores
Sepak Bola dan Flores
Asal Usul Nama Kewapante
Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   
Tenggelamnya Kapal O Arbiru, Dili – Bangkok 1973 di Perairan Maumere, Flores
Jejak Portugis di Paga      
Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan
Berita ini 446 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA