Mental Koruptif Manusia Indonesia, Bersumber dari Mana?

- Admin

Rabu, 6 Oktober 2021 - 20:02 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Ikhtiar Bersama

Uraian pemikiran ketiga tokoh tersebut tetap tidak menyudahi perdebatan tentang ‘asal usul mental koruptif manusia Indonesia’. Namun, sekurang-kurangnya ketiga pemikir tersebut menyepakati tiga alasan umum yang menjadi akar bagi tumbuhnya mental koruptif manusia Indonesia, yaitu budaya hidup masyarakat itu sendiri, warisan budaya politik kolonial, dan sistem sosial-politik yang memang korup. Bagaimana keluar dari perangkap korupsi?

Menurut Mochtar Lubis, pemberantasan korupsi mesti bermula dari transformasi budaya. Lubis menganggap langkah tegas pemberantasan korupsi di RRC sebagai prototipe. Ia menulis:

Baca juga :  Korupsi dan Ketidakadilan Gender

Pada tahun 1951, di sana [RRC] dilancarkan kampanye besar-besaran tiga anti: antikorupsi, antipemborosan, dan antisikap birokrasi yang kaku. Lalu disusul dengan gerakan masyarakat yang melancarkan lima anti: antisogok-menyogok, antitipu daya menghindari pembayaran pajak, antipenipuan, anti mencuri milik negara, dan antipembocoran rahasia ekonomi negara (Lubis, 1985: xxi).

Baca juga :  Dari Pasifisme ke Pasifisme Proaktif: Perubahan Kebijakan Luar Negeri Jepang

Secara singkat, menurut Mochtar Lubis, akar korupsi itu ada dalam budaya birokrasi-patrimonial yang telah merasuki tatanan sosial, politik, hukum, dan ekonomi. Sebab itu, mengharapkan perubahan pada tatanan tersebut tanpa tranformasi nilai budaya yang hidup di baliknya merupakan suatu kemustahilan. Produk hukum boleh bertambah banyak, tetapi jika lembaga penegak hukum tetap berjiwa patrimonial, korupsi tetap berjalan.

Dalam hal ini, pandangan Mochtar Lubis sejalan dengan Samuel P. Huntington. “The multiplication of laws thus multiplies the possibilities of corruption. … Hence in a society where corruption is widespread the passage of strict laws against corruption serves only to multiply the opportunities for corruption” (Huntington, “Modernization and Corruption”, 2007: 253-254). Mungkinkah korupsi tuntas hanya dengan tranformasi budaya baik budaya politik, sosial, maupun hukum? 

Komentar

Berita Terkait

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan
Berita ini 27 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:05 WITA

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Kelas Belajar Bersama

Kamis, 4 Mei 2023 - 14:47 WITA

Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero Mengadakan PKM di Paroki Uwa, Palue   

Sabtu, 25 Maret 2023 - 06:34 WITA

Masyarakat Sipil Dairi Mendesak Menteri LHK Cabut Izin Persetujuan Lingkungan PT. DPM  

Sabtu, 21 Januari 2023 - 06:50 WITA

Pendekar Indonesia Menggelar Simulasi Pasangan Calon Pimpinan Nasional 2024

Selasa, 17 Januari 2023 - 23:01 WITA

Nasabah BRI Mengaku Kehilangan Uang di BRImo

Berita Terbaru

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA

Politik

Demokrasi dan Kritisisme

Minggu, 18 Feb 2024 - 16:18 WITA