Indodian.com – Saya ingin memulai omong kosong ini dengan deklarasi yang tidak berpotensi mengejutkan siapa-siapa: Saya seorang penggemar berat Real Madrid dan haters abadi Barcelona.
Potong tubuh saya dan kebenaran yang rumit itu akan telanjang di depan matamu, sama seperti bayi-bayi ketika mereka dilahirkan ke bumi.
Seluruh lapisan daging dan jaringan tubuh saya adalah cinta pada Madrid. Darah yang mengalir dalam nadi-nadi saya pun, hulu dan hilirnya adalah Madrid.
Akan tetapi, tanpa konsentrasi pun engkau akan menemukan, di bagian dalam, hampir di pusat kesadaran, satu lapisan yang berbeda dan mencolok. Pada lapisan itulah kebencian saya pada Barcelona diproduksi dan dialirkan ke seluruh tubuh, terutama ke otak, lidah, dan sepuluh jari tangan.
Barcelona adalah tim terbaik dunia, ditakuti di mana-mana dan Camp Nou adalah horor serta mimpi buruk bagi siapa saja yang berkunjung. Mereka adalah yang terbesar, raksasa, hampir tanpa kelemahan, dan bertahun-tahun menjadi sine qua non-nya sepak bola Spanyol.
Kalau kita berbicara stadion sebagai panggung, sepak bola sebagai seni, dan permainan sebagai keindahan, maka Camp Nou, tiki-taka, dan Barcelona menjadi tak tersentuh—selain oleh Bayern Munich, tentunya.
Akan tetapi, enam ratus dua puluh lima kilo meter dari Camp Nou, berdiri megah Santiago Bernabeu, rumah tokoh utama film laga berjudul La Liga. Dalam kisah besar La Liga, Barcelona, tentu saja, hanyalah segerombolan antagonis: yang terbesar dan harus selalu ada.
Ketika satu dua tahun terakhir ini, kehancuran mendatangi Camp Nou seperti segerombolan lebah, saya telah terlebih dahulu menganggap schadenfreude (senang melihat orang lain susah) sebagai kewajiban moral.
Semenjak terbiasa menjadi bulan-bulanan Bayern Muenchen, semenjak mendepak Luiz Suarez dan ditinggal pergi Lionel Messi, Barcelona lebih sering menjadi sasaran olok-olokan ketimbang menjadi tim sepak bola yang paling ditakuti di seluruh daratan Eropa.
Melihat mereka hancur, mulanya, memberikan sensasi dan kenikmatan yang hampir tiada duanya: seperti menemukan kepingan terakhir puzzle yang sedang engkau susun. Nikmatnya lagi, Barcelona terseok-seok saat Real Madrid menemukan kembali identitasnya di bawah Anceloti.
Akan tetapi, lambat laun, ketika Barcelona kehilangan taring, saya, dalam posisi sebagai penggemar sejati Real Madrid, juga kehilangan debaran mahal-langka-estetis: bit-bit tak teratur ketika Messi merangsek masuk ke kotak gawang Courtois, atau ketika Ansu Fati menusuk melalui sisi kiri pertahanan Madrid.
Selain kepergian mengejutkan Lionel Messi ke PSG, pengelolaan tim yang buruk dan keputusan lapangan Ronald Koeman yang kerap kontroversial adalah penyebab lain dari kehancuran yang menggerogoti Barcelona dari dalam.
Siapa yang pernah menyangka, Laporta yang pernah dielu-elukan sebagai sosok yang mampu mengembalikan kejayaan Barcelona, justru tidak mampu mempertahankan Messi, dan sedikit banyak menyebabkan kapten Timnas Argentina itu hijrah ke Paris.
“Saya tak tahu, yang pasti saya telah melakukan semua yang saya bisa,” ucap Messi dalam pidato perpisahannya, “Laporta mengatakan kami tak bisa melakukannya (memperpanjang kontrak) karena terbentur aturan liga. Saya bisa beri tahu Anda bahwa saya telah melakukan semua yang saya bisa agar bisa bertahan, karena saya ingin bertahan.”
Akhirnya, Messi pergi, Koeman didepak dan Laporta memanggil Xavi. Peristiwa pertama adalah seburuk-buruknya kabar, dan dua peristiwa lainnya adalah seindah-indahnya berita.
Di mata Barcelona yang katanya “lebih dari sekadar klub” itu, siapakah Xavi Hernandez? Hanya sekadar mantan jenderal lapangan tengah mereka atau manajer yang sedang merintis karir kepelatihannya?
Tentu saja, tidak. [Ingat, para penggemar Barcelona adalah salah satu komunitas manusia paling percaya diri di muka bumi].
Xavi Hernandez adalah alegori untuk harapan. Suporter Barcelona, seperti halnya semua penggila bola di seluruh dunia, adalah jenis manusia ambivalen yang tersesat di antara frustrasi dan ekpektasi.
Kedatangan Xavi Hernandez menyalakan api kepercayaan diri mereka untuk kembali menargetkan kejayaan—terlepas dari kenyataan bahwa Xavi sejatinya hanyalah pelatih yang jam terbangnya masih tergolong minim.
Perlahan-lahan, Camp Nou menyalakan obor: api penanda yang mengonfirmasi identitas mereka sebagai raksasa sepak bola dunia. Kembalinya Xavi berarti kembalinya tiki-taka yang pernah mengangkat Barcelona ke level tertinggi.
Dalam era kejayaan beberapa tahun silam, Xavi menjadi jiwa permainan Barcelona. Bersama Lionel Messi dan Andres Iniesta, ia membentuk trio maut yang menakutkan. Tapi perlu diingat, kegemilangan sebagai pemain tidak serta merta menjamin keberhasilan sebagai pelatih.
Pada usia empat puluh satu tahun, Xavi pulang ke Camp Nou, stadion yang telah membesarkan namanya sejak 25 Oktober 1998 silam. Bak pahlawan perang, ia disambut dengan sorak-sorai, gegap gempita memenuhi seluruh stadion.
“Kita adalah klub terbaik di dunia,” katanya pada seluruh penggemar yang berjubel di tribun penyambutan, “dan kami akan bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan. Barca tidak boleh kalah atau seri, hanya menang.”
Pekerjaan rumah Xavi adalah kembali menjadikan Barcelona sebuah tim, membuat mereka menemukan identitas dan kepercayaan diri. Dan yang terpenting adalah membuat publik Camp Nou dengan penuh kepercayaan diri boleh menyanyikan mars kebanggaan mereka dari tribun merah biru itu.
Bagi seorang penggemar berat Real Madrid macam saya ini, apa yang dinanti dari sosok Xavi Hernandez?
Saya kira, tidak ada. Tidak ada yang saya nantikan selain debaran-debaran kecemasan itu: bit-bit tak teratur, yang sejujurnya, mengintimidasi. Sebab, seperti sebuah film yang terbentuk dari perseteruan tokoh utama dan tokoh antagonis, demikianlah keabadian El Clasico terlahir dari Madrid dan Barca yang selalu sama-sama spektakuler