Tag: Barcelona

  • Menanti Xavi Hernandez yang Datang Saat Schadenfreude Terlanjur Menjadi Kewajiban Moral

    Menanti Xavi Hernandez yang Datang Saat Schadenfreude Terlanjur Menjadi Kewajiban Moral

    Indodian.com – Saya ingin memulai omong kosong ini dengan deklarasi yang tidak berpotensi mengejutkan siapa-siapa: Saya seorang penggemar berat Real Madrid dan haters abadi Barcelona.

    Potong tubuh saya dan kebenaran yang rumit itu akan telanjang di depan matamu, sama seperti bayi-bayi ketika mereka dilahirkan ke bumi.

    Seluruh lapisan daging dan jaringan tubuh saya adalah cinta pada Madrid. Darah yang mengalir dalam nadi-nadi saya pun, hulu dan hilirnya adalah Madrid.

    Akan tetapi, tanpa konsentrasi pun engkau akan menemukan, di bagian dalam, hampir di pusat kesadaran, satu lapisan yang berbeda dan mencolok. Pada lapisan itulah kebencian saya pada Barcelona diproduksi dan dialirkan ke seluruh tubuh, terutama ke otak, lidah, dan sepuluh jari tangan.

    Barcelona adalah tim terbaik dunia, ditakuti di mana-mana dan Camp Nou adalah horor serta mimpi buruk bagi siapa saja yang berkunjung. Mereka adalah yang terbesar, raksasa, hampir tanpa kelemahan, dan bertahun-tahun menjadi sine qua non-nya sepak bola Spanyol.

    Kalau kita berbicara stadion sebagai panggung, sepak bola sebagai seni, dan permainan sebagai keindahan, maka Camp Nou, tiki-taka, dan Barcelona menjadi tak tersentuh—selain oleh Bayern Munich, tentunya.

    Akan tetapi, enam ratus dua puluh lima kilo meter dari Camp Nou, berdiri megah Santiago Bernabeu, rumah tokoh utama film laga berjudul La Liga. Dalam kisah besar La Liga, Barcelona, tentu saja, hanyalah segerombolan antagonis: yang terbesar dan harus selalu ada.

    Ketika satu dua tahun terakhir ini, kehancuran mendatangi Camp Nou seperti segerombolan lebah, saya telah terlebih dahulu menganggap schadenfreude (senang melihat orang lain susah) sebagai kewajiban moral.

    Semenjak terbiasa menjadi bulan-bulanan Bayern Muenchen, semenjak mendepak Luiz Suarez dan ditinggal pergi Lionel Messi, Barcelona lebih sering menjadi sasaran olok-olokan ketimbang menjadi tim sepak bola yang paling ditakuti di seluruh daratan Eropa.

    Melihat mereka hancur, mulanya, memberikan sensasi dan kenikmatan yang hampir tiada duanya: seperti menemukan kepingan terakhir puzzle yang sedang engkau susun. Nikmatnya lagi, Barcelona terseok-seok saat Real Madrid menemukan kembali identitasnya di bawah Anceloti.

    Akan tetapi, lambat laun, ketika Barcelona kehilangan taring, saya, dalam posisi sebagai penggemar sejati Real Madrid, juga kehilangan debaran mahal-langka-estetis: bit-bit tak teratur ketika Messi merangsek masuk ke kotak gawang Courtois, atau ketika Ansu Fati menusuk melalui sisi kiri pertahanan Madrid.

    Selain kepergian mengejutkan Lionel Messi ke PSG, pengelolaan tim yang buruk dan keputusan lapangan Ronald Koeman yang kerap kontroversial adalah penyebab lain dari kehancuran yang menggerogoti Barcelona dari dalam.

    Siapa yang pernah menyangka, Laporta yang pernah dielu-elukan sebagai sosok yang mampu mengembalikan kejayaan Barcelona, justru tidak mampu mempertahankan Messi, dan sedikit banyak menyebabkan kapten Timnas Argentina itu hijrah ke Paris.

    “Saya tak tahu, yang pasti saya telah melakukan semua yang saya bisa,” ucap Messi dalam pidato perpisahannya, “Laporta mengatakan kami tak bisa melakukannya (memperpanjang kontrak) karena terbentur aturan liga. Saya bisa beri tahu Anda bahwa saya telah melakukan semua yang saya bisa agar bisa bertahan, karena saya ingin bertahan.”

    Akhirnya, Messi pergi, Koeman didepak dan Laporta memanggil Xavi. Peristiwa pertama adalah seburuk-buruknya kabar, dan dua peristiwa lainnya adalah seindah-indahnya berita.

    Di mata Barcelona yang katanya “lebih dari sekadar klub” itu, siapakah Xavi Hernandez? Hanya sekadar mantan jenderal lapangan tengah mereka atau manajer yang sedang merintis karir kepelatihannya?

    Tentu saja, tidak. [Ingat, para penggemar Barcelona adalah salah satu komunitas manusia paling percaya diri di muka bumi].

    Xavi Hernandez adalah alegori untuk harapan. Suporter Barcelona, seperti halnya semua penggila bola di seluruh dunia, adalah jenis manusia ambivalen yang tersesat di antara frustrasi dan ekpektasi.

    Kedatangan Xavi Hernandez menyalakan api kepercayaan diri mereka untuk kembali menargetkan kejayaan—terlepas dari kenyataan bahwa Xavi sejatinya hanyalah pelatih yang jam terbangnya masih tergolong minim.  

    Perlahan-lahan, Camp Nou menyalakan obor: api penanda yang mengonfirmasi identitas mereka sebagai raksasa sepak bola dunia. Kembalinya Xavi berarti kembalinya tiki-taka yang pernah mengangkat Barcelona ke level tertinggi.

    Dalam era kejayaan beberapa tahun silam, Xavi menjadi jiwa permainan Barcelona. Bersama Lionel Messi dan Andres Iniesta, ia membentuk trio maut yang menakutkan. Tapi perlu diingat, kegemilangan sebagai pemain tidak serta merta menjamin keberhasilan sebagai pelatih.

    Pada usia empat puluh satu tahun, Xavi pulang ke Camp Nou, stadion yang telah membesarkan namanya sejak 25 Oktober 1998 silam. Bak pahlawan perang, ia disambut dengan sorak-sorai, gegap gempita memenuhi seluruh stadion.

    “Kita adalah klub terbaik di dunia,” katanya pada seluruh penggemar yang berjubel di tribun penyambutan, “dan kami akan bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan. Barca tidak boleh kalah atau seri, hanya menang.”

    Pekerjaan rumah Xavi adalah kembali menjadikan Barcelona sebuah tim, membuat mereka menemukan identitas dan kepercayaan diri. Dan yang terpenting adalah membuat publik Camp Nou dengan penuh kepercayaan diri boleh menyanyikan mars kebanggaan mereka dari tribun merah biru itu. 

    Bagi seorang penggemar berat Real Madrid macam saya ini, apa yang dinanti dari sosok Xavi Hernandez?

    Saya kira, tidak ada. Tidak ada yang saya nantikan selain debaran-debaran kecemasan itu: bit-bit tak teratur, yang sejujurnya, mengintimidasi. Sebab, seperti sebuah film yang terbentuk dari perseteruan tokoh utama dan tokoh antagonis, demikianlah keabadian El Clasico terlahir dari Madrid dan Barca yang selalu sama-sama spektakuler

  • Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat

    Kemenangan Barcelona di Mata Seorang Madridista Setengah Moderat

    Indodian.com, Ulasan ini ditulis ketika rekan kerja saya, dia mencintai Barcelona melebihi Joan Laporta dan Lionel Messi, memutar Mars Barcelona untuk keduapuluh tiga kalinya pada hari ini (Minggu, 18/04/2021). Itu perayaan yang pantas atas kemenangan spektakuler Barcelona beberapa jam sebelumnya.

    Di pertengahan penulisan, saya berusaha dengan tingkat keseriusan maksimal melepaskan diri dari kenyataan bahwa dalam nadi saya mengalir cinta yang luar biasa pada Real Madrid. Tujuannya agar tulisan yang dihasilkan benar-benar objektif.

    Tapi ternyata tidak bisa. Maka dalam judul ulasan ini terdapat satu unsur yang hampir serupa pengakuan dosa: “Kemenangan Barcelona di mata seorang Madridista.” Alasan penambahan dua kata terakhir akan ditampilkan pada bagian paling akhir nanti.

    Baca Juga : Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja
    Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid

    Profisiat untuk Barcelona dan seluruh penggemarnya di dunia, teristimewa mereka yang menghuni bentangan tanah dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Hari ini (Minggu, 18/04/2021) Barcelona bermain—maaf, melanggar tata bahasa Indonesia yang baik dan benar—dengan sungguh sangat, sangat, sangat indah dan luar biasa.

    Beberapa waktu lalu, saya menulis bahwa bagi Barcelona, sepak bola adalah karya seni, serupa pertunjukkan teater di panggung seluas lapangan bola. “Barcelona adalah klub bola hebat yang menghayati sepak bola dengan segenap jiwa dan seluruh badan. Bagi Barcelona, sepak bola bukan hanya sekadar memindahkan bola dari kaki ke kaki sebelum menjaringkannya ke gawang lawan. Lebih dari pada itu, sepak bola merupakan sebuah karya seni: seni menggetarkan jala.”

    (Sumber: Handout via Reuters, 2021)

    Kita agak susah berbicara tentang Barcelona tanpa berbicara tentang keindahan mengolah bola. Menonton Barcelona berlaga hampir serupa dengan menyaksikan pertunjukan seni tari atau teater di panggung raksasa seukuran stadion sepak bola.

    Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
    Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

    Selanjutnya, dalam tulisan yang sama, saya menunjukkan bahwa klub bola (mereka menyebutnya lebih dari sekadar klub) bernama Barcelona selalu identik dengan keindahan itu sendiri. Dari segi namanya saja, Barcelona sudah indah.

    “Dalam jangkauan ruang pendengaran saya, ada tiga nama klub bola terindah sepanjang masa. Selain nama “Barcelona”, ada nama Fiorentina dan Atletico Ultramas. Klub bola terakhir ini berasal dari negara di ujung timur Pulau Timor: Republik Demokratik Timor Leste.”

    Atas nama keindahan dan cinta yang luar biasa pada dunia sepak bola, saya mengakui bahwa Barcelona adalah satu-satunya yang pantas mengangkat Piala Copa del Rey musim ini. Untuk sampai pada laga final, mereka telah melewati perjalanan panjang dan pernah tersandung sebelum kemudian bangkit lagi (tidak seperti Madrid yang terjungkal di kandang klub kasta ketiga).

    Untuk para pendukung, tidak perlu terlalu ambil pusing dengan cibiran-cibiran iri hati dari kami yang sering kalian sebut “tetangga sebelah.” Cibiran seperti, “Itu piala kasta kedua. Tidak usah terlalu lebay,” atau “Lawan di final bukanlah yang sepadan,” atau “hanya garing saat lawan klub kecil.” Tidak usah pusing dengan cibiran semacam itu. Itu hal biasa, biasa dalam sepak bola dan juga biasa kalian lakukan.

    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko
    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

    Hari ini Barcelona adalah yang terhebat. Bukan hanya karena piala tapi terlebih karena gol dan proses-prosesnya yang menawan. Mereka menyimpan penampilan terbaik mereka di laga final. Laga yang digelar ketika mata dunia tertuju pada mereka (tidak terkecuali mata Madridista yang selalu menyimpan harapan Barcelona kalah).

    Bermain di bawah tuntutan mutlak mengangkat piala kemenangan, Barcelona memanjakan mata kita dengan pertunjukan yang lebih dari sekadar partai final. Mereka menyajikan ruang imajinasi, impian, jagat raya petualangan, bakat, daya juang, kerja sama, soliditas—keindahan pada level tertinggi.

    Cristiano Ronaldo membangkitkan antusiasme tapi lionel Messi membangkitkan kekaguman, tulis Luca Caioli dalam buku biografi Cristiano Ronaldo berjudul “Cristiano Ronaldo, The Obsession for Perfection.”

    Dalam laga final Copa del Rey kali ini, melebihi laga-laga sebelumnya, Lionel Messi benar-benar membangkitkan kekaguman kita.

    Menit 66’. Kapten Timnas Argentina itu berada di pinggir garis lingkaran tengah lapangan di area Barcelona. Mendapat sodoran bola dari belakang, sang messiah langsung meneruskannya ke Serginho Dest di sisi kanan. Bola sempat direbut pemain Athletic yang kemudian tanpa sengaja meloloskannya di antara kedua kaki Dest. Namun sayang bola justeru kembali ke Messi. 

    Baca Juga : Merawat Simpul Empati
    Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

    Semuanya berawal dari situ. Messi berlari kencang di pinggir lapangan diikuti oleh tiga pemain Athletic. Solo run yang sangat mengagumkan. Beberapa meter sebelum memasuki kotak enam belas, dia menyodorkan bola ke De Jong.

    Dengan satu gerakan cantik, mantan pemain Ajax Amsterdam itu memantulkan bola kembali ke Messi kemudian Messi mengembalikannya lagi pada pemain bernomor punggung 21 itu. Detik-detik itu De Jong sudah dikerumuni pemain bertahan Athletic.

    Namun dengan tenang dia menahan bola sekitar tiga atau empat detik. Tiga detik adalah waktu yang cukup bagi De Jong untuk membaca arah pergerakan Messi. Bola kemudian disodorkan beberapa meter ke ruang kosong di depan Messi yang secepat kilat memasuki kotak enam belas meter.

    Kotak enam belas adalah tempat di mana tiga per empat pemain Athletic berkumpul. Di sekitar Messi ada lima orang pemain. Tapi ini Messi dan bagi seorang Messi itu bukanlah halangan yang berarti. Satu gerakan, satu tendangan dan satu gol. Anak-anak Seminari Mataloko bilang, “Messi ni bosss”

    Hampir tak bisa dipercaya. Komentator pertandingan berteriak seperti orang gila. Dan saya yakin Cules di seluruh dunia juga berteriak. Sungguh suatu proses yang sangat mengagumkan. Gol itu adalah gabungan paling sempurna dari kecerdasan, ketepatan, kecepatan, kerja sama, feeling, dan naluri. Itu gol ketiga dalam laga ini.

    Sepuluh menit setelah laga berakhir, seorang teman mengirimi saya tangkapan layar sebagian kecil proses gol Messi itu dan menulis, “Minimal sudah pula gelar musim ini. Tetangga kami belum tentu punya gelar.”

    Kemudian saya buat tangkapan layar atas pesan itu dan menjadikannya story di whatsapp dengan caption, “Gelar yang hanya cocok untuk medioker.”

    Sepanjang hari story-story di whatsapp hampir selalu tentang kemenangan Barcelona. Dan saya kemudian saya menulis lagi di whatsapp, sebuah olok-olokan yang memalukan, “1.1 Latar belakang: Hari ini media sosial dipenuhi warna merah-biru-kuning. 1.2 Rumusan Masalah: di manakah mereka pekan lalu?”

    Ah, kapan seorang Madridista seperti saya ini bisa sepenuhnya moderat?

    Penulis : Tommy Duang

  • Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja

    Perjalanan Panjang El Barca Sebelum Buka Puasa di La Cartuja

    Indodian.com, Barcelona baru saja memeluk trofi Copa del Rey untuk ke tiga puluh satu kalinya usai sukses membantai Athletic de Bilbao di Estadio La Cartuja, Sevilla (18/04/2021) dengan skor 4-0. Copa del Rey menjadi trofi pertama Barcelona musim ini sekaligus mengakhiri puasa gelar selama 721 hari.

    Barcelona tampil buruk musim lalu sehingga mengarungi musim tanpa meraih satu trofi pun. Mereka harus merelakan trofi La Liga yang sudah dipertahankan selama dua musim berturut-turut jatuh ke pelukan sang rival, Real Madrid.

    Baca Juga : Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid
    Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita

    Kedatangan Antonie Griezman dan Frenkie de Jong belum mampu memberikan gelar apa-apa. Padahal, klub sekaliber Barcelona dituntut harus mampu mempersembahkan gelar setiap musim.

    Sebenarnya La Blaugrana mempunyai kesempatan untuk mengakhiri puasa gelar lebih cepat kala melakoni final Cuper Copa de Espana. Namun hal tersebut gagal mereka manfaatkan karena takluk di tangan Athletic de Bilbao.

    Musim ini pun Barcelona berpeluang mendapatkan 2 trofi, yaitu La Liga dan Copa del Rey. Copa del Rey sudah dalam pelukan dan La Liga masih dalam perebutan. Sedangkan mimpi mereka untuk menjadi kampiun Liga Champions telah pupus setelah kandas di tangan PSG.

    Perjalanan Menuju Copa del Rey

    Perjalanan Barcelona dalam meraih gelar Copa del Rey sempat terseok-seok. Bersua tim kasta ketiga Liga Spanyol, Cornella, La Blaugrana dipaksa harus bermain di babak extra time sebelum memenangkan pertandingan dengan skor 0-2.

    Kemudian mereka dijamu Rayo Valecano di putaran kedua. Dembelle dkk menang dengan skor 1-2—kurang meyakinkan.

    Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi
    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Pada perempat final, perjalanan Barcelona hampir terhenti di tangan Granada. Hingga menit ke-88’ Granada masih unggul 2:0 atas tim tamu. Untungnya, passion sebagai kampiun Copa del Rey terbanyak muncul di menit-menit akhir pertandingan.

    Kedudukan berimbang setelah Antonie Griezman dan Jordi Alba masing-masing mencatatkan namanya di papan skor pada menit ke-88’ dan 90+2’. 

    Foto: Marcelo Del Pozo/Reuters, 2021

    Pertandingan dilanjutkan ke babak extra time dan mereka memaksa Granada mengakui keunggulan mereka dengan skor akhir 3-5. Antonie Griezman, Jordi Alba, dan Frenkie de Jong secara bergantian membukukan nama di papan skor.

    Di babak semifinal, Barcelona keok pada partai pertama melawan Sevilla. Ivan Rakitic, mantan pemain Barca, menyumbangkan satu gol pada laga itu. Ia memaksa sahabat dekatnya, Marc Andre ter Stegen memungut bola dari gawangnya sendiri. Satu gol lainnya dilesakkan oleh Julies Kounde pada menit ke-25. Sevilla 2-0 Barcelona.

    Beruntung bagi Barcelona, babak semifinal dimainkan dalam dua pertandingan. Masing-masing tim secara bergantian menjadi tuan rumah. 

    Kala berkunjung ke Camp Nou, Sevilla bermodalkan dua gol. Peluang untuk lolos ke final terbuka sangat lebar. Bermain imbang atau kebobolan satu gol saja sudah sangat cukup untuk melenggang ke partai puncak.

    Pada partai leg kedua, Barca mencetak gol cepat melalui aksi Ousmane Dembele pada menit ke-12. Gol itu memantik semangat para pemain Barca untuk terus menekan tim tamu. Jual beli serangan tidak dapat dihindarkan. Tembakan demi tembakan dilancarkan oleh kedua tim.

    Penalti diberikan kepada Sevilla setelah Lucas Ocampos dilanggar Oscar Mingueza pada menit ke-73’. Untung saja ter Stegen berhasil membaca arah bola dan menggagalkan penalti Ocampos itu.

    Barcelona kembali diuntungkan injury time. Gol telat Gerard Pique pada menit ke-90+3 membuat pertandingan dilanjutkan hingga babak extra time. Setelah gol Martin Braithwaite, kemenangan 3-2 secara agregat untuk Barcelona dikunci hingga peluit akhir dibunyikan. El Barca melenggang ke partai final.

    Partai Puncak-Buka Puasa

    Pada partai puncak, pasukan Ronald Koeman dihadapkan dengan Athletic Bilbao. Selain meraih trofi, laga ini membuka peluang bagi Lionel Messi dkk untuk membalas dendam karena beberapa waktu lalu Bilbao merebut trofi Super Copa de Espana dari mereka.

    Barcelona tampil mendominasi selama pertandingan. Serangan demi serangan dilancarkan tanpa henti. Formasi 3-5-2 yang dipakai Koeman berhasil menerapkan total football.

    Kembalinya Gerard Pique menambah kekuatan di lini belakang. Turun sebagai starter, Pique tampil apik sebelum akhirnya digantikan oleh Ronald Araujo. Kepiawaiannya mengontrol barisan pertahanan sangat baik.

    Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci
    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko

    Hal ini membuat ter Stegen terlihat seperti hakim garis di bawah mistar gawang. Sementara di pihak lawan, Unai Simon sibuk menghalau beberapa tembakan yang mengarah ke gawangnya. Barcelona bisa saja unggul di babak pertama jika tendangan Frenkie de Jong tidak membentur tiang gawang pada menit ke-5.

    Athletic Bilbao bergantian memberikan serangan pada menit ke-12. Sebuah tendangan bebas yang diarahkan tepat ke dalam gawang gagal dimaksimalkan. Sentuhan pemain Bilbao hanya melebar sepersekian senti meter di samping kanan gawang.

    Barcelona kembali menyerang di bawah koordinasi sang kapten, Lionel Messi. Beruntung bagi Bilbao, sepakan jarak dekat Messi masih bisa dimentahkan oleh Unai Simon. Pada menit ke-41 skema serangan balik Athletic Bilbao hampir saja membuahkan gol.

    Inaki William memberikan umpan ke kotak pinalti Barcelona. Namun ter Stegen dengan sigap memotong arah laju bola. Hingga turun minum, skor kaca mata masih belum berubah.

    Pada menit ke-48, Messi memberikan umpan kepada Sergino Dest yang menyisir sisi kiri pertahanan lawan. Dest menyambut umpan Messi dengan menyodorkan bola langsung kepada Griezman. Lagi-lagi Unai Simon menggagalkan sepakan Griezman dengan kaki kirinya.

    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan
    Baca Juga : Merawat Simpul Empati

    Pedri dan Busquets bergantian memberikan serangan pada menit ke-52’ dan 53’. Namun belum membuahkan gol. Unai Simon selalu saja lebih cepat menghalau bola keluar dari gawangnya. Aksinya kali ini benar-benar membuat Busquets sangat frustasi.

    Akhirnya Griezman memecah kebuntuan pada menit ke 60’. Ia berhasil mencetak gol usai memanfaatkan assist Frenkie de Jong. Kedudukan berubah mejadi 1-0 untuk Barcelona.

    Tak butuh waktu lama, El Barca menggandakan keunggulan lewat gol diving Frenkie de Jong. Ia berhasil lolos dari kawalan pemain Bilbao untuk memanfaatkan assist Jordi Alba. Pada menit ke-68’, El Barca kembali mengukir gol lewat kombinasi apik Messi-de Jong. Messi memberikan tembakan terukur yang membuat kiper Bilbao mati langkah.

    Gol keempat berawal dari aksi Pedri yang memberikan umpan jauh kepada Alba yang berdiri kosong di sisi kiri lapangan. Setelah pass to pass dengan Griezman, Alba berlari secepat kilat menuju area pertahanan lawan. Lagi-lagi menyodorkan bola ke area penalti, ke arah Messi yang berlari menyambutnya. Unai simon yang sempat membaca arah bola gagal menepisnya keluar.

    Athletic Bilbao belum menyerah. Tendangan pojok Raul Garcia hampir saja berujung gol pada menit ke-84’. Namun gawang ter Stegen tetap aman ketika bola masih melesat di atas mistar. Hingga peluit akhir dibunyikan, kedudukan tetap 4-0 untuk keunggulan skuad asuhan Ronald Koeman.

    Lionel Messi menjadi man of the match pada pertandingan ini. Tapi Frenkie de Jong adalah salah satu pemain yang paling bersinar. Ia berhasil menciptakan dua assist dan satu gol. De Jong juga menguasai hampir seluruh lapangan. Kinerjanya bersama Pedri dan Busquet menjadikan lini tengah Barcelona tetap solid. 

    Penulis : Wandro J. Haman

  • Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid

    Catatan Pendek Pasca Pekan Berat Real Madrid

    Indodian.com, Real Madrid baru saja melewati pekan mahaberat. Dalam kurun waktu delapan hari mereka dua kali bersua Liverpool pada ajang Liga Champions. Di antara kedua laga tersebut, mereka masih harus menjamu Barcelona dalam partai pekan ke 29 Liga Spanyol.

    Jadwal padat dan lawan berat itu diperparah oleh badai cedera yang menghantam para pemain penting Los Blancos. Madrid kehilangan tiga bek utama: Sergio Ramos, Raphael Varane, dan Dani Carvajal. Di lini depan, Zinedine Zidane telah terlebih dahulu mencoret nama Eden Hazard.

    Baca Juga : Masyarakat Risiko, Terorisme, dan Kemanusiaan Kita
    Baca Juga : Colin Crouch tentang Post-Demokrasi

    Di tengah hantaman badai cedera, lawan berat, dan jadwal amat padat itu, Real Madrid dituntut untuk menyapu bersih ketiga laga tersebut. Sebab bila tidak, harapan memeluk dua piala akan pupus hanya dalam kurun waktu delapan kali dua puluh empat jam.

    Banyak orang memprediksi Madrid akan tumbang pada salah satu, atau dua, atau bahkan pada ketiga laga tersebut. Para pendukung Liverpool, baik yang murni maupun yang dadakan (biasanya Cules) ramai-ramai menulis: Ini laga balas dendam atas malam pahit di Kiev 2018 silam.

    Dalam euforia atas kemenangan 3-1 Real Madrid di Alfredo di Stefano melawan Liverpool, saya mengunggah di whatsapp sebuah gambar yang menyerupai gabungan logo Liverpool dan Barcelona. Menyertai gambar itu, saya menulis, “You’ll Never Walk Alone. Keluarga Besar Barcelona Indonesia bersamamu.” 

    Liverpool dan Real Madrid akan memperebutkan satu tiket ke semifinal Liga Champions. (AFP/GABRIEL BOUYS)

    Seorang teman, dia Cules garis keras, bereaksi. “Tunggu saja hari Minggu.” Saat Messi dan pasukannya pulang dengan baju-celana basah kuyup dan tangan hampa dari Alfredo di Stefano akhir pekan kemarin (11/04/2021), saya membalas pesan provokatif itu, “Ini Minggu pagi. Apa yang harus saya tunggu?” Sampai sekarang pesan whatsapp itu hanya centang biru dua.

    Baca Juga : Menikmati Wisata Kopi Detusoko
    Baca Juga : Tubuh Dan Persetubuhan Itu Suci

    Dalam rentang waktu empat hari antara Minggu dini hari sampai Rabu malam, para penggemar Madrid, sekurang-kurangnya saya, dihantui kemungkinan melemahnya lini belakang El Real pasca cedera Lucas Vazques (Dia cedera dalam laga El Clasico karena berbenturan dengan Sergio Buzquest).

    Dalam rentang waktu yang sama, Cules yang terluka dan Liverpooldian yang masih menyimpan sejumput harapan kembali membanjiri media sosial dengan satu ekspresi keyakinan: Liverpool adalah Raja Comeback. Namun sama seperti pada leg pertama dan El Clasico, harapan ini pun tak kunjung menjadi kenyataan.

    Akhirnya seorang teman facebook saya,  penggemar berat Real Madrid, balik mengolok-olok: “Jurgen Klopp beralih profesi menjadi dokter di FTV yang selalu bilang, ‘Maaf, kami sudah berusaha semaksimal mungkin.’”

    Dan dia benar. Baik Koeman dan Klopp maupun Messi dan Salah “sudah berusaha semaksimal mungkin.” Hanya saja Zidane dan Benzema tak tertaklukkan oleh usaha maksimal itu. Sama seperti para dokter FTV yang hampir selalu gagal menaklukkan kematian yang mendatangi pasien mereka, Koeman dan Klopp gagal menaklukan Zidane dan pasukannya yang datang menghantam tim mereka.

    Baca Juga : Ancaman Cerpen Tommy Duang
    Baca Juga : Merawat Simpul Empati

    Bermain dengan skuad seadanya, Real Madrid memetik dua kemenangan dan satu hasil imbang. Mereka menggeser Barcelona dari posisi kedua klasemen Liga Spanyol dan mendapatkan satu tiket ke empat besar Liga Champions. Apa resep Zidane sehingga bisa melewati pekan mahaberat ini?

    Resepnya hanya satu. Adaptasi dengan keadaan.

    Pada awal muncul Covid-19, orang-orang pintar menasihati kita: yang mampu bertahan hidup bukan dia yang kuat, melainkan dia yang bisa beradaptasi. Kemampuan beradaptasi adalah hal penting yang membuat manusia dapat hidup di mana saja di belahan bumi ini.

    Kemampuan itulah yang membuat Zidane dan Madridnya mampu bertahan dan menjadi tim yang paling ditakuti di Liga Champions saat ini.

    Sudah cukup lama Zidane menanggalkan keindahan olah bola dalam tubuh dan permainan Madrid. Sebagai gantinya, manajer berpaspor Prancis itu menerapkan taktik sepak bola sederhana dan praktis—banyak analis bola menyebut Zidane sebagai pelatih yang miskin taktik.

    Pragmatisme itu bukanlah opsi yang lahir dari situasi keterpaksaan, melainkan sesuatu yang dibidani oleh kesadaran untuk berubah. Permainan indah yang telah bertahun-tahun didapuk sebagai milik Barcelona hanyalah salah satu dari sekian banyak cara memetik kemenangan. Dan Zidane menolak cara itu sejak tahun pertamanya menukangi Madrid. Ada cara lain yang lebih praktis: terapkan sepak bola sederhana, tapi efektif.

    Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan

    Memang permainan Madrid agak membosankan [coba tanya pendapat penonton netral khususnya tentang menit-menit terakhir dalam laga kontra Liverpool dan Barcelona]. Tetapi mereka mampu mengefektifkan setiap peluang yang ada, sekecil apa pun itu. Efektivitas itu telah terbukti menyelamatkan El Real dalam fase-fase yang menentukan.

    Zidane, sebagaimana para penggemar bola seantero jagat paham bahwa yang dituntut dari Madrid adalah kemenangan, bukan permainan indah—biarkan keindahan itu tetap menjadi milik para aktor teater dari Camp Nou.

    Dalam tiga laga terakhir, permainan Madrid memang sangat jauh dari keindahan. Jangankan bermain indah, bermain bebas, lepas, dan leluasa saja tidak. Mereka hampir selalu terkurung di area pertahanan sendiri. Akan tetapi, dalam situasi semacam inilah efektivitas permainan mereka menemukan sengatannya yang paling berbahaya.

    Zidane menyadari bahwa timnya tengah compang-camping, medioker, dan apa adanya. Tiga bek pilihan utama Zidane dihantam cedera. Untuk mengisi kekosongan itu, dua bek tengah cadangan diturunkan dan pemain sayap kanan seperti Lucas Vasques dan Fede Valverde terpaksa harus bermain sebagai pemain bertahan.

    Jelas trio Nacho-Militao-Vazques/Valverde beda level dengan Ramos-Varane-Carvajal. Menyadari perbedaan itu, tiga pemain tengah Madrid lebih banyak turun membantu pertahanan ketimbang menyokong lini depan. Tidak heran kalau mereka selalu terkunci di area sendiri dalam sebagian besar waktu pertandingan.

    Saat menonton pertandingan leg kedua melawan Liverpool, seorang pendukung The Reds yang frustrasi berteriak: “Bodoh, kalian jangan kurung mereka seperti itu.” Saya sependapat dengan pendukung yang frustrasi ini. Pertahanan yang dibangun para pemain Madrid terlalu rapat untuk dibongkar.

    Seandainya Salah dkk sedikit bersabar, membiarkan para pemain Madrid memegang bola, dan mengorganisasi serangan, mereka pasti bisa memperoleh peluang yang lebih besar.

    Karena dengan sendirinya trio lini tengah naik menyusun serangan, yang kemudian diikuti oleh dua bek sayap—bek kanan Madrid bukan pemain bertahan murni, melainkan winger yang ditarik mundur. Dengan demikian, trio Salah-Mane-Firmino tinggal menghadapi duet semi-amatir Nacho dan Militao.

    Akan tetapi sayangnya baik Barcelona maupun Liverpool tidak cukup sabar menarik para pemain Madrid meninggalkan area pertahanan mereka sendiri. Coba tonton ulang kelima gol Real Madrid dalam tiga laga ini. Semuanya berawal dari skema serangan balik cepat. Sedikit membebaskan diri dari tekanan lalu langsung menikam lawan tepat di jantung.

    Sederhana dan efektif. Sungguh sebuah adaptasi yang mencengangkan.