Indodian.com – Term tertentu sering kali dimengerti secara diskriminatif. Itulah yang terjadi dengan pemahaman atas term “pelacur”. Term ini direduksi sebagai alat identifikasi untuk kaum perempuan. Ketidakadilan ini dilatarbelakangi oleh budaya, tradisi, dan situasi politik yang sedang berkembang di tempat dan zaman tertentu.
Sebagian besar kebudayaan menghayati tradisi patriarkal, di mana kaum lelaki dianggap “superior” atas kaum perempuan. Istilah “pelacur” sebetulnya merujuk pada siapapun yang melakukan tindakan asusila (amoral), entah lelaki atau perempuan.
Namun, sering kali, pola pikir, tradisi, dan budaya tertentu mengidentifikasi sebuah term secara sempit dan terbatas. Seorang feminis bernama Gadis Arivia bahkan menandaskan bahwa term-term tertentu sering kali mencerminkan mentalitas menindas dan diskriminatif. Akibatnya, pengguna term memahami dan memaknai term tersebut secara serampangan. Hal ini akan berpotensi merusak apabila term yang dimaksud hendak menjelaskan hal-hal yang menyentuh langsung perkara kemanusiaan, keadilan, dan kebaikan.
Sebut saja, term “kebaikan”. Term ini bisa saja direduksi oleh kelompok tertentu secara sempit, sehingga aplikasi atas kebaikan pun cenderung mengorbankan nyawa yang lain. Demikianpun yang terjadi dengan pemahaman atas term “pelacur”. Pemahaman atas term ini mengusung sikap diskriminatif dan menindas atas kaum perempuan di Indonesia.
Istilah “pelacur” sering kali diidentikan begitu saja dengan kaum perempuan. Untuk menganalisis pemahaman masyarakat Indonesia terhadap term “pelacur”, penulis pernah membuat sebuah riset sederhana. Riset tersebut dilakukan dengan membuat pertanyaan dan pernyataan kepada beberapa kenalan penulis. Pertanyaannya demikian: “Ketika Anda mendengarkan istilah “pelacur”, apa yang spontan muncul dalam benak anda?
Penulis menemukan bahwa reaksi spontan beberapa orang yang ditanyai, langsung merujuk pada perempuan yang moralnya tidak baik. Di samping itu, ketika penulis bergurau dengan teman lelaki dengan mengatakan: “Hei pelacur!”, ada teman-teman yang menggerutu: “Hei saya bukan perempuan!”
Analisis sederhana ini setidaknya membuktikan betapa naifnya pemahaman orang Indonesia terhadap term “pelacur”. Dianggap aneh bila kita menyebut seorang lelaki sebagai pelacur. Seolah-olah pelacur melulu dan terbatas pada pada kaum perempuan. Term dalam dirinya sendiri sebenarnya tidak bermasalah. Pengguna termlah yang bermasalah. Harus diakui bahwa identifikasi yang demikian picik sangat dipengaruhi oleh budaya dan tradisi kegamaan yang berkembang di Indonesia.
Pemahaman ini berbanding terbalik dengan fenomena pemerkosaan yang terjadi di tanah air. Hampir pasti, pelaku pemerkosaan adalah kaum lelaki. Kita jarang mendengar berita, di mana seorang perempuan memperkosa lelaki. Kalaupun ada, mungkin prosentasenya tidak mampu mengalahkan jumlah lelaki pemerkosa. Komisaris Komnas Perempuan, Adriana Venny mengatakan bahwa dalam catatan tahunan Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan setiap tahun. Tahun 2017 tercatat 348.446 kasus. Jumlah ini melonjak jauh bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yakni sebanyak 259.150 kasus.
Oleh karena itu, rekonstruksi konsep tentang ‘pelacur’ merupakan suatu kebutuhan mendesak agar publik memiliki pemahaman yang komprehensif dan tidak berat sebelah. Dalam hubungannya dengan usaha ini, penulis juga akan menguraikan sejarah singkat tentang pelacuran dan konsep tentang PSK (Pekerja Seks Komersial).
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah “pelacur” berasal dari kata dasar “lacur”. Lacur itu sendiri diartikan sebagai kelakuan tidak baik (tentang perempuan). Dari kata dasar ini, muncul kata kerja “melacur” yang berarti berbuat lacur; menjual diri (sebagai tunasusila atau pelacur). Subyek yang melacur disebut “pelacur” yang mengacu pada perempuan yang melacur; sundal; wanita tunasusila.
Dalam konteks yang ilmiah, “lacur” berarti penyelewengan dalam dunia pendidikan. Sedangkan dalam konteks keagamaan, lacur merujuk pada ritual keagamaan yang keramat. Menarik bahwa dalam kamus yang sama, juga ditulis kata “tunasusila”. Tunasusila itu sendiri adalah bentukan dari kata “tuna” yang berarti luka; rusak; kurang; dan tidak memiliki, dan “susila” yang berarti baik budi bahasanya, beradab, sopan, dan beradab.
Kemudian, di tempat lain, penyusun kamus yang sama mengartikan kata “tunasusila” sebagai yang tidak mempunyai susila, lonte, dan pelacur: wanita tunasusila. Rupanya, untuk mengartikan kata “tunasusila”, penyusun kamus menambah satu term baru, yaitu: “lonte”. Kata “lonte” dalam kamus yang sama diartikan sebagai perempuan jalang, wanita tunasusila, pelacur, dan sundal.
Lebih lanjut, dalam mengartikan kata “lonte”, penyusun kamus lagi-lagi menambah satu term baru, yaitu “sundal”. “Sundal” diartikan sebagai yang buruk kelakuannya (tentang perempuan), lacur, dan jalang. Sekali lagi, penyusun kamus menambah satu term baru lagi, yaitu: “jalang” yang berarti nakal (tentang perbuatan yang melanggar susila), perempuan jalang atau pelacur.
Berdasarkan penelitian leksikal ini, penulis menemukan bahwa ternyata terdapat begitu banyak istilah yang mengacu pada pada term “pelacur”. Semua term itu sebenarnya mau mengatakan satu hal, yaitu: yang tidak baik susilanya atau moralnya. Dan, semua term yang merujuk pada istilah “pelacur” selalu ditambahi keterangan tentang perempuan yang disematkan dalam tanda kurung setelah term ditulis. Dalam mengartikan term-term tersebut, penyusun kamus juga sama sekali tidak menyinggung soal hal yang spesifik perihal pelacur dan tindakan melacurkan itu.
Yang disampaikan kamus hanya sebatas definisi umum, misalnya ketika kamus mengartikan kata “melacur”. Kamus hanya sebatas menyampaikan bahwa melacur itu berarti berbuat lacur dan menjual diri. Apakah menjual diri di sini dimengerti sebagai penjualan jasa sebagai pencuri, pembunuh ataukah sebagai perampok. Kata “tunasusila” pun diartikan dengan sangat umum, yaitu yang tidak baik susilanya, entah susilanya tidak baik lantaran apa, sama sekali tidak dijelaskan. Yang paling memilukan ialah bahwa dalam mengartikan setiap term yang berkaitan dengan term “pelacur”, keterangan tentang lelaki, luput dari perhatian kamus. Padahal ada banyak lelaki yang melacurkan diri.
Menarik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris yang ditulis John M. Echols dan Hassan Shadily yang disusun oleh John Echols dan Hassan Shadily, kata “lacur” diterjemahkan dengan “immoral”, “indecent”. Kemudian “melacur” diterjemahkan dengan “carry on or perfom prostitution”. Dalam kamus yang sama, kata “jalang” diterjemahkan dengan “wild”, “untamed”, “undomesticated” (of animals). Kemudian kata “lonte” diterjemahkan dengan “prostitute”, “male prostitute”. Dan kata “sundal” diterjemahkan dengan “prostitute”, “lewd”, “whore”, dan “fornication”. Berdasarkan informasi ini, penulis menyimpulkan bahwa dalam bahasa Inggris, term “pelacur” tidak melulu direduksi pada kaum perempuan.
Kita perlu perhatikan baik-baik bahwa dalam kamus Indonesia-Inggris tersebut, kata “jalang” lebih dikaitkan dengan binatang (animal), sedangkan kata “sundal” bahkan diterjemahkan dengan “male prostitute” yang berarti pelacur laki-laki.
Kemudian mengapa dalam kamus besar bahasa Indonesia term “pelacur” dan yang berkaitan dengannnya lebih dihubungkan dengan kaum perempuan? Hal ini membuktikan betapa diskriminasinya kamus orang Indonesia dalam memahami term “pelacur”. Mungkin kenyataan ini belum disadari oleh semua orang. Bahkan pemahaman yang demikian naif telah menjadi pemahaman yang pakem dalam benak orang-orang Indonesia. Konsekuensinya, ketika terjadi kasus perselingkuhan misalnya, orang-orang Indonesia lebih mempersoalkan moralitas kaum perempuan. Seolah-olah kalau lelaki nakal, itu wajar! Kaum perempuan selalu dikambinghitamkan.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya