Indodian.com – Beberapa abad lalu, seorang filsuf Yunani, Diagne le Cynique, menyalakan obor pada siang hari, seraya berjalan di tengah kerumunan manusia. Ketika salah seorang dari kerumunan itu bertanya perihal aksinya itu, sang filsut menjawab “Uffatisu an insanin”. Artinya, “Aku sedang mencari manusia”.
Apa yang dilakukan sang filsuf tadi sebenarnya beranjak dari hasil refleksi yang intens atas kondisi kehidupan manusia pada zaman dan tempatnya, kondisi kehidupan mana sudah terlalu jauh dari alam manusiawi, karena tergilas oleh semangat rationalisme yang cukup tinggi. Oleh semangat rasionalisme yang berlebihan, manusia kala itu lebih tampil sebagai animale rationale ketimbang ens sociale.
Mengamati kehidupan mahasiswa saat ini, barangkali sudah saatnya para rektor di perguruan tinggi (PT) tempat ia belajar mengadakan aksi serupa, sambil berjalan di tengah kerumunan mahasiswa, seraya menyampaikan Uffatisu an Mahasiswa Nusatenggara Timur (aku sedang mencari mahasiswa Nusa Tengggara Timur). Hal ini beranjak dari hasil refleksi intens saya selama beberapa tahun terakhir ini di mana banyak mahasiswa di PT saat ini sedang menjauhi kehidupan kampus yang dicita-citakannya dan dicita-citakan oleh sebuah pendidikan tinggi umumnya.
Mahasiswa yang semestinya menampilkan etos dan semangat ilmiah, justru begitu tumpul di PT. Kultur akademis yang semestinya bertumbu subur, namun justeru tertimpa kemarau panjang. Kehidupan mahasiswa saat ini semakin sepi dan jauh dari kegiatan intelektual yang menjadi tanda khas kehidupan kampus. Itulah salah satu fakta emperis mahasiwa saat ini, mereka cenderung malas berpikir malas membaca, serba gampang.
Sejarah kehidupan kampus awal mulanya mahasiswa mempunyai otoritas penuh untuk menyelenggarakan kegiatan perkuliahan. Para profesor hanya semata-mata atau tak lebih dari ‘pengajar-pengajar pribadi yang bertualang”, yang bebas dari segala macam keterikatan sebuah kampus. Mahasiswa kala itu dengan penuh semangat mendatangkan para profesor ke kampus demi mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya dan sedalam-dalamnya. Pokoknya suasana kampus ketika itu penuh dengan kegiatan ilmiah atau stadium generale.
Persoalan ini memang tidak berdiri sendiri. Seiring dengan munculnya kebijakan pemerintah menerapakan kebijakan satuan kredit smeseter (SKS) pada PT, tradisi kegiatan ilmiah lenyap pula, di mana hubungan mahasiswa dengan kampusnya bersifat “loco parentis”. Dengan pengertian bahwa para mahasiswa ibarat “anak asuhan” dari sebuah PT yang bertanggungjawab atas bimbingan dan perkembangan pribadi mahasiswa.
Bersamaan dengan itu muncullah peran-peran mahasiwa sebagai “santri-santri”, sebagai pelanggan biasa yang mengambil berbagai pelajaran untuk mencari gelar dan selebihnya sebagai “bohemians” (petualang-petualang) atau pemisah diri yang berada di kampus, yang memisahkan dirinya dari kegiatan akademis yang sungguh-sungguh. Peran seperti itu tentu saja memancarkan kadar kehidupan akademis mahasiswa yang berbeda-beda.
Pengkianat Intelektual
Krisis kemampuan berpikir di kalangan mahasiswa dengan mudah dipantau dari kreativitas penelitian dan menulis, karena kemampuan penelitian dan menulis tidak bisa dipisahkan dengan kebiasaan membaca. Maka, jika mahasiswa diserahi tugas penelitian dan menulis, mereka bisa menggunakan jasa orang lain atau bahkan membeli hasil penelitian dan tulisan orang lain, yang dengan mudah kita temukan, di sana terdapat ratus hasil penelitian dan tulisan orang dengan mudah para mahasiswa membeli atau dengan cara foto kopi. Apalagi sekarang ini mudah di akses lewat internet melalui fasilitas google, dengan melakukan “copy and paste”, tanpa malu-malu menyebut sumbernya.
Jelaslah paradoksal (antagonistis) karena bahkan sering bertolak belakang, konon katanya Indonesia penuh dengan PT, namun di sisi lain praktek-praktek seperti ini sering terjadi, karena itu berarti sebuah bentuk pengikisan integritas intelektual serta sebuah bentuk pengingkaran kebenaran. Sesungguhnya, hal demikian erat hubungannya dengan kondisi obyektif sebuah PT, yang tidak pernah memperdulikan segi-segi penalaran atau kualitas mahasiswa.
Dalam terminologi Julien Benda (La Trahison des Clercs 1927), mengatakan, para cendekiawan atau ilmuwan yang mengingkari kebenaran dan keadilan demi kepentingan primordial dan politik bisa disebut sebagai pengkianat moral. Pada hakekatnya cendekiawan atau ilmuwan tidaklah memiliki tujuan-tujuan praktis. Motif kegairahan mereka adalah berbakti kepada kebenaran atau bukan untuk memperoleh keuntungan sosial, politik, dan kebenaran. “Kerajaanku bukanlah di dunia ini”, itulah seharusnya kata hati setiap cendekiawan atau ilmuwan, demikian tulis Benda.
La Trahison des Clercs memang sebuah kritik terhadap kecenderungan dan kegairahan para intelektual atau cendekiwan Perancis awal abad XX untuk masuk dalam kancah politik. Kritik itu masih relevan untuk kita hubungkan kepada mahasiswa kita di saat ini. Kebanyakan mahasiswa kita saat ini sudah keluar dari dasar profesi keilmuan dan menyerahkan diri pada golongan yang berkuasa demi pemenuhan kepentingan sosial dan kebendaan semata.
Maka mahasiswa seperti ini bisa diklasifikasikan, sebagai “mahasiswa pengecut”. Atau meminjam terminologi Julian Benda, apa yang disebutnya sebagai ”Pengkianat Intelektual”. Mereka hanya mau menciptakan sesuatu yang serba gampang, tanpa melalui suatu kerja keras.
Entah besar atau kecil, bahwa kultur akademis mahasiswa telah kehilangan semangat yang dipengaruhi oleh satu kondisi obyektif sebuah PT, yang terwujud dalam beberapa gejala dominan atau berupa komitmen yang diemban atau karakteristik masalah yang dihadapi oleh sebuah PT yang digerogoti banyak penyakit, seperti miskin dana, kompetensi dan kapabilitas dosen masih rendah serta fasilitas kampus yang serba minim.
Demikian pula PT sekarang, lebih mirip dengan sebuah pabrik konsumsi massal, ketimbang lembaga pendidikan profesional, sehingga kualitas lulusannya sangat diragukan. Oleh karena itu, segala apa yang tak perlu untuk penelitian atau demi keterampilan profesional yang dicari semakin tersingkir.
Selain itu, pada diri mahasiswa, hidup senang-senang dan memboroskan waktu adalah hal yang biasa. Dan bahwa di Indonesia masih ada mahasiswa yang sekali-kali menyanyikan lagu kuno “gaudeamus igitur iuvenes dum sumus” (bersenang-senang selama kita masih muda), merupakan suatu ironi besar yang tak disengaja mengingat mereka berada di bawah tekanan sistem SKS dan sekian banyak peraturan lain ( Fanz Magnis Suseno, 1984)
Edward Shils, dalam Dick Hartoko (ed), 1981, menggolong PT (univeritas) ke dalam beberapa kelompok yakni, Univerisitas Massa, Universitas Pengabdian Masyarakat, Universitas Politik, Universitas yang didominasi Pemerintah, Universitas yang mengalami Birokrasi, Universitas yang Miskin Dana, Universitas di bawah Sorotan Publisistis, Universitas Penelitian, Universitas yang Terpecah Belah, dan Universitas yang Kehilangan Semangat.
Betapapun PT mempunyai masalah tersendiri, semua PT di manapun juga mempunyai misi yang tetap sama yakni mempertahankan kampusnya sebagai pusat riset, pusat studi, pusat pengembangan intelektual, wawasan, kepribadian dan peradaban. Dengan demikian, kampus tidak hanya menghasilkan kaum cerdik cendikia, tetapi pribadi-pribadi yang utuh, yang seimbang intelektual dan mental.
Salah satunya adalah mahasiswa harus mampu membangun kehidupan akademis yang baik dan bermutu dalam suasana diskusi atau seminar-seminar, memecahkan persoalan bangsa, ketimbang bersantai ria di mall atau berjoget ria di kafe, atau utak atik HP, atau sering kumpul-kumpul yang tidak produktif.
Budaya Akademis
Mahasiswa tidak cukup sekadar menghadiri kuliah. Lebih dari itu mahasiswa harus memiliki naluri intelektual memadai yang harus tampak dalam semangat scientific bewareness dan semangat scientific inquiry. Kedua semangat ini merupakan faktor kuci bagi tumbuhnya suatu budaya akademis dalam kehidupan kampus seorang mahasiswa.
Perkualiahan hanyalah satu elemen penting, namun bukan satu-satunya jantung utama yang menggerakkan kemajuan akademi mahasiswa. Sang humanis Seodjatmoko menegaskan bahwa jantung kehidupan kampus umumnya dan kehidupan akademis mahasiswa khususnya bukanlah terletak pada proses belajar mengajar. Menurutnya ada tiga elemen penting yang menjadi modal pertumbuhan kehidupan akademis mahasiswa.
Pertama, perpustakaan atau sering juga disebut “ intelectual machine”, sebagai mesin yang menggerakkan sendi-sendi kehidupan intelektual mahasiswa. Namun saat ini banyak perpustakaan kampus jarang dikunjungi mahasiswa, karena mahasiswa lebih sering memanfaatkan jasa orang lain untuk menyelesaikan tugasnya.
Kedua, laboratorium, sebagai tempat untuk melatih mahasiswa dalam berbagai keterampilan dan untuk kepentingan pengamatan dan penelitian demi menunjang kegiatan akademis secara keseluruhan. Ketiga, hubungan kooperatif dosen-mahasiswa. Antara mahasiswa-dosen perlu dikembangkan relasi partnership demi terwujudnya suatu hubungan koperatif yang harus dilandasi oleh semangat keterbukaan, dialog, jujur dan saling pengertian yang tinggi.
Edward Shils mengatakan bahwa kebesaran sebuah kampus tidaklah ditentukan oleh lancar dan tertibnya seluruh peraturan akademis dan proses perkuliahan, tetapi sejauhmana seluruh warga kampus itu, menegakkan dan menjunjung tinggi etika akademis, yang ditandai oleh semangat dan kejujuran ilmiah. Budaya bermalas-malasan, belajar dengan moral minimalis, budaya plagiat atau budaya foto kopi merupakan bentuk pengkianatan intelektual menurut terminologi Julian Benda.
Ketakberdayaan mahasiswa dalam mengembangkan tradisi diskusi-diskusi, sama artinya mahasiswa sedang melakukan satu proses pauperisasi atau proses pemiskinan intelektual. Maka pada gilirannya proses pauperisasi ini akan melahirkan sarjana-sarjana serba tanggung, yaitu sarjana yang serba tebatas kapasitas keterampilannya, serba terbatas wawasannya dan serba terbatas lingkup ilmiahnya, sarjana yang tidak mampu berkompetisi.
Kehidupan mahasiswa saat ini lebih tampak dalam kegiatan massal yang cenderung rekreatif ketimbang kreatif, seperti study tour, menalukkan gunung, kemping, pertandingan olahraga, main kartu, minum-minum, pesta-pesta.
Berbagai masalah sebagai sebab “loyonya” kehidupan akademis mahasiswa saat ini saya dapat menduga dari beberapa kemungkinan berikut ini, (1) budaya ketergantungan intelektual yang tinggi, (2) inner-dynamic yang lemah, (3) belajar dengan moral minimalis, (4) kebiasaan melecehkan waktu, (5) minat baca masih rendah, (6) sosialiasi diri masih rendah, (6) minat menulis rendah, (7) minat diskusi rendah, (8) minat berinovasi masih rendah.
Oleh karena itu tradisi-tradisi seperti berikut ini sudah saat dikembangkan oleh mahasiswa di PT. Pertama, kembalikan jati diri anda ke “habitusnya”, yakni sebagai musafir pencerahan intelektual, mengembangkan kejujuran intelektual, mengembangkan tradisi keilmuan.
Kedua, membangun privat habit untuk menumbuhkan kehidupan akademis, yang pada gilirannya akan memberi sumbangan bagi public habit, mahasiswa sudah dibiasakan belajar dalam paradigma perspektif. Maksudnya ialah mahasiswa tak cukup belajar sebatas ilmunya atau bidangnya sendiri. Mahasiswa dituntut oleh perubahan yang tak menentu untuk belajar berbagai hal lain sebagai tindakan antisipatif untuk menyongsong perubahan tadi.
Hal inipun dilandasi oleh satu kenyataan bahwa selepas belajar di PT mahasiswa akan menghadapi satu masa transisi, bahkan masa krisis yang tak kalah sulitnya dengan belajar. Keterampilan di luar bidang ilmu sendiri, dapat menciptakan pekerjaan sementara, sebelum mencapai pekerjaan permanen.
Tugas mahasiswa (cendekiawan) saat ini memang makin tidak gampang. Dewasa ini kehadiran mahasiswa (cendekiawan) harus bersuara kuat seperti Socrates dan memegang teguh etika dan kejujuran intelektual. Sebab negara kita dalam urutan ketiga besar di dunia kasus korupsinya (laporan Tranparecy International, triwulan pertama 2017), kita ini terlalu riuh oleh aneka kejahatan yang melembaga (KKN), dan didukung birokrasi dan oleh banyak orang.
Bila mahasiswa tidak kuat dan jujur ia akan beralih profesi, tidur bersama birokrat dan banyak orang dalam pengabaian nilai-nilai luhur manusiawi. Kita harap kehadiran mahasiswa tampak semakin jelas dalam latar belakang negara yang semakin gelap, dalam maraknya KKN, merosotnya moralitas pemimpin kita. Untuk itu perlu ketangguhan moral dan pribadi sang mahasiswa (cendekiawan), karena jika tidak tidak demikian, peristiwa Socrates terjadi lagi “lalat liar” dipukul mati di NTT. Dan seperti Socrates, pada saatnya cendekiawan mengambil sikap bahwa kehadiran fisiknya tidak penting lagi, yang penting kehadiran “gangguan” itu.
Gangguan itu membuat penguasa tidak tenang dalam melanjutkan tidurnya. Saya yakin hal itu bukan sesuatu yang sia-sia. Karena sang cendekiawan bukan memasukan sesuatu yang asing, yang berasal dari luar, ke dalam diri sesama melainkan menyadarkan sesama apa yang terlekat dalam martabatnya sebagai manusia. Manusia pada hakekatnya baik. Ia mencintai apa yang baik, adil, indah….. Harap oleh hidup dan karya sang cendekiawan masyarakat menyadari bahwa ia tidak dapat hidup lebih lanjut kalau tidak mengubah cara hidupnya sekarang. Semoga!!
*) Ben Senang Galus, penulis buku ”Demokrasi Bumi dan Air”, tinggal di Yogyakarta