Kebangkitan Orang Miskin Lawan Mafia Tanah (2)

- Admin

Kamis, 2 Desember 2021 - 07:37 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Kesatuan Wa’u Tana Pitu Gendang Pitu Tanah Boleng

Menghadapi masalah perampasan tanah secara masif (land grabbing) dari warga masyarakat miskin di Rangko dan tempat-tempat lain di Kedaluan Boleng maupun di tempat-tempat lain di Manggarai Barat oleh para mafia tanah, maka pada tahun 2018 warga masyarakat RAG Mbehal mengambil sebuah inisiatif. Warga RAG Mbehal menginisiasi pertemuan tujuh Tu’a Golo atau tujuh Tu’a Gendang di seluruh Kedaluan Boleng.

Dalam pertemuan ini, mereka menyepakati beberapa hal berikut. Pertama, membentuk sebuah persekutuan seluruh warga masyarakat tujuh RAG di Kedaluan Boleng. Persekutuan ini diberi nama KESATUAN ADAT WA’U PITU GENDANG PITU TANA BOLENG (selanjutnya disingkat KAWPGPTB) yang secara harafiah artinya “Persatuan Tujuh Cabang Keluarga yang Sama dari Tujuh Rumah Adat Gedang Tanah Boleng. Kedua, mengangkat Tu’a Gendang Mbehal, Bapak Yohanes Usuk (80-an tahun), untuk menjadi koordinator dari GPWPTB. Ketiga, peranan utama dari koordinator dari GPWPTB adalah untuk menjaga dan mengamankan tanah- tanah dari seluruh keluarga WPGPTB.

Baca juga :  Berkomunikasi dalam Masyarakat Pasca-Kebenaran

Isi Surat KAWPGPTB

Kesepakatan ini kemudian menjadi sebuah surat pernyataan bersama, tertanggal 29 Maret 2018, dengan judul KESATUAN ADAT WA’U PITU GENDANG PITU TANAH BOLENG.

Kesepakatan ditandatangani oleh 22 Tu’a Golo, Tu’a Gendang, Tu’a Ulayat, Tu’a Mukang, dan Tu’a Riang Rangko dari seluruh Kedaluan Boleng, lalu diketahui dan ditandatangi oleh Bapak Bupati Kabupaten Manggarai Barat yang dilengkapi dengan stempel. Isinya ada tujuh poin:

Pertama, Tu’a Adat Ulayat Mbehal merupakan koordinator atau yang dituakan dalam Kesatuan Adat Wa’u Pitu/Gendang Pitu Tana Boleng sesuai dengan sejarah yang kami pegang teguh bersama.

Kedua, bahwa Bapak Yohanes Usuk adalah Tu’a Adat dan Tu’a Gendang dan Ulayat Mbehal sesuai dengan silsilah keluarga dan struktur adat.

Ketiga, bahwa wilayah ulayat Gendang Mbehal adalah sebagai berikut: a) di utara: berbatasan dengan Laut Flores, b) di selatan: berbatasan dengan Wae Nuwa (wilayah Kempo Kecamatan Mbeliling), c) di timur: Laing Bakok Torong Boleng, Golo Tado, Golo Rungkam, Bungki Em Rampas, Lekes Kira, Golo Ruteng, Tonggong Sita, Boa de Ada, Mata Wae Bobok, Mata Wae Bola, Golo Ngkiong, Golo Ketak, Golo Pau, Mata Bajak Nini, Wae Nuwa dan d) di barat: berbatasan dengan wilayah Kecamatan Komodo yaitu Wae Nuwa, Sunga Sipi, Loleng Wae Sipi, Mata Wae Wangga, Wase Kimpur, Liang Mbako, WatuKatur.

Baca juga :  Akumulasi Hasrat dan Perampasan Ruang di Flores, NTT

Keempat, bahwa Kampung Rangko merupakan wilayah adat ulayat Mbehal yang disebut sebagai Riang dan oleh karena itu Kampung Rangko belum berhak untuk memiliki seorang Tu’a Golo kecuali Tu’a Riang sesuai hukum adat.

Kelima, orang pertama yang meminta lahan Kampung Rangko kepada Tu’a Adat Ulayat Mbehal pada awal mulanya adalah Bapak La Anca yang keturunannya saat ini diakui oleh Ulayat Mbehal dan menjadi Tu’a Riang Rangko adalah Saudara Semahi.

Baca juga :  Generasi Muda: Penentu Kemenangan Partai Golkar dalam Pemilu 2024

Keenam, bahwa Saudara Abdullah Duwa tidak pernah diangkat oleh Ulayat Mbehal untuk menjadi Tu’a Golo ataupun Tu’a Riang Rangko oleh karena Saudara Abdulla Duwa bukan merupakan keturunan dari orang pertama yang tinggal di Rangko yang meminta lahan Kampung Rangko kepada Tu’a Adat Ulayat Mbehal pada awal mula.

Ketujuh, oleh karena itu segala perbuatan dan tindakan dari Saudara Abdullah Duwa sehubungan dengan pembagian, kepemilikan dan penjualan tanah adat Ulayat Mbehal di wilayah Rangko dan sekitarnya adalah tidak benar dan tidak sah serta di luar dari tanggungjawab Ulayat Mbehal terhadap segala akibat yang ditimbulkannya.

Surat ini kemudian diakhiri dengan pernyataan: “Demikian Surat Pernyataan ini kami buat dan dengan menghadirkan saksi-saksi Tu’a Adat dari Wa’u Pitu Gendang Pitu wilayah Boleng. Melengkapi Surat Pernyataan ini kami bubuhkan tandatangan dan capjempol di atas meterai. Mbehal 29 Maret 2018.”

Komentar

Penulis : Dr. Alexander Jebadu

Berita Terkait

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi
Demokrasi dan Kritisisme
Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?
Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?
Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit
Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024
Pemimpin: Integritas, bukan Popularitas
Politik dan Hukum Suatu Keniscayaan
Berita ini 13 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 28 November 2023 - 23:35 WITA

Fakultas Filsafat Unwira Adakan Seminar Internasional sebagai Bentuk Tanggapan terhadap Krisis Global    

Sabtu, 11 November 2023 - 11:33 WITA

Tujuan Politik adalah Keadilan bagi Seluruh Rakyat

Jumat, 23 Juni 2023 - 07:01 WITA

Komunitas Circles Indonesia: Pendidikan Bermutu bagi Semua

Rabu, 17 Mei 2023 - 11:05 WITA

Mencerdaskan Kehidupan Bangsa melalui Kelas Belajar Bersama

Kamis, 4 Mei 2023 - 14:47 WITA

Mahasiswa Pascasarjana IFTK Ledalero Mengadakan PKM di Paroki Uwa, Palue   

Sabtu, 25 Maret 2023 - 06:34 WITA

Masyarakat Sipil Dairi Mendesak Menteri LHK Cabut Izin Persetujuan Lingkungan PT. DPM  

Sabtu, 21 Januari 2023 - 06:50 WITA

Pendekar Indonesia Menggelar Simulasi Pasangan Calon Pimpinan Nasional 2024

Selasa, 17 Januari 2023 - 23:01 WITA

Nasabah BRI Mengaku Kehilangan Uang di BRImo

Berita Terbaru

Pendidikan

Kaum Muda dan Budaya Lokal

Jumat, 15 Mar 2024 - 19:27 WITA

Politik

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Rabu, 21 Feb 2024 - 19:07 WITA

Politik

Demokrasi dan Kritisisme

Minggu, 18 Feb 2024 - 16:18 WITA