Indodian.com – Menurut data yang kami peroleh dari banyak informan di Labuan Bajo, Rangko, Bari dan warga masyarakat lainnya yang mendiami wilayah pantai utara Pulau Flores, perburuan tanah sepanjang pantura Flores oleh para oligarki dan pebisnis kaya dari Ruteng, Labuan Bajo, Kupang, Surabaya, Jakarta dan bahkan dari luar negeri berlangsung marak sudah sejak sekitar tahun 2010. Ini merupakan tahun mulai digulirkannya program nasional negara Indonesia untuk membangun Labuan Bajo dan sekitarnya menjadi destinasi wisata premium berkelas dunia.
Rencana nasional ini, seperti biasa, hanya diketahui oleh kalangan terbatas – oligarki dan pebinis kaya. Ia dirahasiakan untuk masyarakat kecuali beberapa tahun terakhir menjelang program ini dieksekusi. Labuan Bajo dan sekitarnya akan disulap menjadi kota yang indah. Jalan-jalan akan diperlebar dan dibuat licin. Puluhan, bahkan, ratusan hotel berbintang akan ditambah. Antara pulau-pulau kecil di Kepulauan Komodo akan dibangun kereta gantung untuk memudahkan wisatawan bergelantungan dari satu pulau ke pulau yang lain. Lapangan Terbang Komodo akan diperpanjang dan diperlebar supaya bisa menjadi lapangan terbang internasional.
Untuk mempercepat pembangunan wisata premium ini, pelbagai event besar dirancang untuk dibuat di Labuan Bajo. Pertemuan G-20 (20 negara dengan volume ekonomi terbesar dunia), misalnya, diselenggarakan di Desa Golo Mori yang terletak 32 km kearah barat dari Labuan Bajo. Jalan raya yang lebarnya hanya 7 meter saat ini akan diperlebar menjadi 20 meter. Wah, ini sungguh-sungguh sebuah pembangunan yang luar biasa!
Dalam rangka proyek besar nasional ini, pemerintah akan membutuhkan banyak lahan dan harus membebaskan lahan-lahan ini dari warga masyarakat miskin di wilayah pantai Pulau Flores di Kabupaten Manggarai Barat. Untuk maksud ini, pemerintah pusat menjaminnya dengan mengganti kerugian warga masyarakat miskin seperti yang diatur oleh UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Akan tetapi dalam pelaksanaannya di daerah, oleh karena kerasukan korupsi yang masih akut, pemerintah daerah melakukan pembebasan tanah dengan menuntut warga masyarakat miskin untuk menghibahkan lahan-lahan pribadi mereka tanpa ganti rugi sendikitpun atau dengan ganti rugi yang sangat tidak sepadan.
Selain pemerintah negara, atau lebih tepatnya, pengusaha-pengusaha yang berpakaian sebagai politisi dan pemerintah negara, juga memburu tanah-tanah luas untuk kepentingan bisnis pribadi mereka. Jauh sebelum berita proyek nasional ini tiba di telinga warga masyarakat, mereka sudah hilir mudik dari satu kampung ke kampung yang lain di Manggarai Barat. Secara pribadi dan secara diam-diam mereka – pebisnis, DPR/D, birokrat, Jenderal, bule – mendatangi tu’a golo atau tu’a gendang dari satu kampung ke kampung yang lain untuk membeli atau minta untuk diberi tanah.
Tangga 6 sampai 10 Agustus 2020 kami mengobservasi beberapa kawasan di sekitar Labuan Bajo seperti Rangko, Gorontalo, Dalong dan Naga Na’e. Kawasan-kawasan ini hanya terletak tidak seberapa jauh dari Kota Labuan Bajo. Di sekitar Rangko, misalnya, di mana-mana sejauh mata memandang masih terlihat hamparan tanah kosong yang luas seperti tanah tanpa tuan. Di mana- mana hanya ada belukar bambu hutan yang sudah kering. Tanpa ragu, para oligarki dan pebisnis dari Jakarta, Ruteng, Kupang, Surabaya atau luar negeri tergiur ketika melihat tanah- tanah kosong seperti tanpa tuan ini.
Karena itu, segala macam cara ditempuh termasuk dengan tipu-tipu warga masyarakat atau memanfaatkan ketidaktahuan mereka akan perkembangan Labuan Bajo seperti apa ke depan. Di Kampung Rangko, misalnya, untuk memuluskan usaha perolehan tanah untuk kepentingan bisnis pribadi, para oligarki dan pebisnis ini, yang kemudian lebih tepat disebut sebagai para mafia tanah, dengan sangat berani melakukan sebuah permainan mengubah sistem sosial- ekonomi dan politik masyarakat tradisional. Pemimpin Kampung Rangko yang selama ini berstatus sebagai Tu’a Riang Rangko (wali, pengaja tanah Rangko) atas nama warga RAG Mbehal diubah menjadi Tu’a Golo Rangko.
Kelompok warga masyarakat Rangko yang tidak setuju dengan permainan ini disisihkan dari jabatannya sebagai Tu’a Riang Rangko. Sebagai gantinya, mereka mengangkat satu warga masyarakat yang setuju dengan konspirasi mereka menjadi Tu’a Golo Rangko dalam diri Bapak Abdullah Duwa. Lalu mereka mengklaim legalitas pembelian tanah dari warga Rangko dengan ditandatangani oleh seorang Tu’a Golo Rangko boneka ciptaan mereka. Padahal semua warga Rangko adalah orang Bonerate dari Sulawesi, Bajo dan Bima yang tidak tahu dan tidak mengerti sistem sosial-ekonomi dan politik suku Manggarai yang dikepalai oleh seorang Tu’a Golo atau Tu’a Gendang.
Penulis : Dr. Alexander Jebadu
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya