Indodian.com – Pada tahun 2024, Indonesia akan melaksanakan pemiliham umum (pemilu) secara serentak untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD dan pemilihan Presiden. Momen pemilu ini menjadi suatu kesempatan yang strategis dalam menentukan pemimpin Indonesia. Dalam perhelatan pemilu tersebut, sebanyak 40 partai politik telah mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai calon peserta pemilu 2024. Dari jumlah tersebut, sebanyak 24 partai politik dinyatakan lolos ke tahap verifikasi administrasi. Pada tahap verifikasi, KPU menyatakan ada 9 partai politik yang di DPR RI lolos dan ada pula 9 partai politik nonparlemen yang lolos ke tahap verifikasi faktual. Sedangkan 6 partai lainnya dinyatakan gugur.
Salah satu partai yang lolos verifikasi adalah partai Golkar. Partai berlambang beringin ini memiliki basis massa yang kuat, ideologi partai yang progresif dan memiliki kader partai militan dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Dalam pemilu 2024, sebagian besar peserta pemilu adalah generasi muda. Hal ini perlu menjadi pertimbangan partai Golkar untuk menarik simpati generasi muda dalam menyukseskan pemilu 2024. Dalam artikel ini, penulis akan mencoba memaparkan peran generasi muda sebagai salah satu penentu kemenangan partai Golkar dalam pemilu 2024.
Pemilu dan Generasi Muda
Pemilu merupakan proses memilih orang untuk posisi politik tertentu. Pemilu menjadi salah satu bentuk partisipasi politik dalam kedaulatan rakyat, karena dalam pemilu rakyatlah yang menjadi pihak yang menentukan proses politik di suatu wilayah pada saat pemungutan suara. Secara teoretis, pemilu dianggap sebagai tahapan paling awal dalam beberapa rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis. Oleh karena itu, pemilu adalah motor penggerak sistem politik Indonesia. Untuk saat ini, pemilu dianggap sebagai peristiwa penting kenegaraan. Melalui pemilu, semua pihak bisa mengakomodasi apa yang mereka inginkan dan cita-citakan agar kehidupan dapat terpenuhi.
Dalam politik, mayoritas yang terlibat dalam urusan pemerintahan adalah generasi baby boomers yang berusia lebih dari 40 tahun. Baby boomer adalah kelompok manusia yang lahir setelah perang dunia kedua. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok ini biasanya dianggap sebagai orang tua yang memiliki banyak pengalaman hidup. Baby boomers umumnya dididik oleh orangtua yang disiplin dan keras, serta berpegang teguh pada loyalitas dan dedikasi. Maka tidak heran jika kita sering melihat orangtua yang masih menjalankan pekerjaan di bidang yang sama.
Berbeda dengan generasi Y dan Z dimana mereka memiliki karakter kreatif, informatif, produktif dan bisa bersahabat dengan teknologi. Generasi ini sudah terbiasa menggunakan teknologi dalam segala bidang kehidupan. Mulai dari mengakses portal pendidikan, belanja online dan lain sebagainya. Teknologi juga membuat generasi ini memiliki pandangan politik dan ekonomi yang terbuka sehingga mereka cenderung lebih reaktif terhadap perubahan yang terjadi.
Generasi muda dalam lintasan sejarah senantiasa mengambil peran strategis dalam menentukan nasib suatu bangsa. Mereka merupakan salah satu faktor penentu kemajuan dan keberhasilan demokrasi baik di tingkat daerah maupun nasional. Setiap peristiwa signifikan tanah air adalah bentukan anak muda. Proklamasi sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 menjadi tonggak penting dalam sejarah pergerakan pemuda seluruh Indonesia.
Ingatan akan sumpah pemuda sebagai penggerak persatuan dan kesadaran kebangsaan di nusantara, yang pada akhirnya bermuara pada gerakan kemerdekaan bangsa, tidak pernah hilang. Selain itu, ada kejadian di Rengasdengklok ketika sekelompok anak muda nekat mendesak Bung Karno untuk segera memproklamirkan kemerdekaan. Dan juga reformasi 1998 di mana anak muda secara serentak bergerak dan berhasil membalikkan sebuah era kepemimpinan dan melahirkan harapan baru.
Pentingnya generasi muda sebagai akselerator pembangunan juga memiliki peran dan tugas strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Generasi muda seringkali dianggap sebagai kelompok masyarakat yang paling apatis dengan persoalan politik. Mereka cenderung memilih menjadi golput dalam pemilu. Menurut Haris sebagaimana dalam (Heryanto, 2021:254-255), beberapa penelitian menunjukkan bahwa generasi muda memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi dalam pemilu. Penelitian tersebut menyatakan bahwa generasi muda adalah kelompok yang dinilai paling peduli terhadap isu-isu politik. Generasi muda yang dimaksud adalah generasi Y dan generasi Z.
Generasi Y atau milenial mengacu pada kaum muda yang lahir sekitar 1981 hingga 1996, sementara generasi Z adalah mereka yang lahir tahun 1997 hingga 2012. Dalam skema ini, kaum muda diberikan peran dan identitas diri yang memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dan mempertahankan pendapatnya. Bisa dikatakan golongan anak muda adalah suatu kelompok yang akan memengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh tim Riset dan Analitik Kompas Gramedia Media bersama dengan Litbang Kompas menunjukkan bahwa kaum milenial (lahir tahun 1981-1996) dan generasi Z (lahir tahun 1997-2012) memiliki antusias untuk mengikuti Pemilu 2024. Sebanyak 86,7 persen menyatakan bersedia untuk berpartisipasi dalam pemilu. Sementara 10,7 persen masih mempertimbangkan dan 2,6 persen lainnya menolak mengikuti ajang pemilu (Rahayu, 2022). Tentu tidak semua anak muda harus aktif berpolitik, tetapi demokrasi yang berkualitas di Indonesia akan tercapai bila anak muda Indonesia menggunakan hak politiknya dengan baik yaitu memilih dan menyampaikan aspirasinya.
Partai politik pada hakikatnya merupakan sarana pendidikan untuk menyadarkan masyarakat akan peran politiknya. Namun, sepertinya partai politik melupakan sesuatu, pencerahan politik yang dilakukan terkadang tidak sampai ke generasi muda. Pertumbuhan partai politik di Indonesia tidak diimbangi dengan kemampuan memahami kepentingan generasi muda. Bila dicermati lebih dalam, generasi muda bisa memberi manfaat dan kontribusi yang berarti bagi partai jika mendapat dukungan dan masukan yang intensif tentang pendidikan politik.
Generasi muda akan memiliki kesadaran politik yang tinggi dan semakin kritis terhadap proses politik saat ini. Penting di sini untuk bertanya, bukan saja bagaimana memenangkan Golkar dalam pemilu mendatang melainkan sehubungan dengan itu, bagaimana Golkar memenangkan hati generasi muda dengan program-program kerja inovatif berbasis kerakyatan dan isu-isu politik yang transformatif dan berpihak pada perjuangan hidup mereka. Bagi partai Golkar reformasi politik sejak dini ke arah itu tak bisa ditunda-tunda lagi. Jadi, bagaimana Golkar menarik simpati dan memenangkan hati generasi muda?
Ada beragam cara untuk mewujudkan hal itu. Norris dalam (Bambang, 2015:16-39) menggarisbawahi pentingnya kampanye politik. Ia memandang hal itu sebagai suatu proses komunikasi politik atau konstituen di mana individu berusaha mengomunikasikan ideologi atau program kerja yang ditawarkan. Di zaman penuh perubahan karena kemajuan IPTEK ini, cara yang sudah lazim ini perlu diboboti lagi dengan penggunaan teknologi informasi. Kampanye khususnya melalui media sosial membuka ruang diskusi dan perdebatan untuk masyarakat luas.
Cara ini dinilai lebih efektif dan efisien dari pada media di luar ruang seperti spanduk, umbul-umbul, dan baliho. Oleh karena itu pemilih tidak percaya dengan pesan yang disampaikan dalam alat peraga kampanye tersebut, tetapi lebih pada informasi yang berasal dari media sosial. Untuk memperluas ruang diskusi publik, selain penggunaan media massa konvensional maka dalam pemilihan kepala daerah juga digunakan media sosial untuk memengaruhi pemilih muda.
Selain melalui kampanye, penting untuk dipertimbangkan ialah pola pendekatan dan figur pemimpin. Sekitar 1,5 tahun menjelang Pemilu 2024, partai politik mulai bekerja keras mengubah pendekatannya baik dalam politik maupun pola komunikasinya. Partai politik perlu mengubah strateginya untuk menjangkau pemilih generasi Z dan Y yang lebih kritis dan nyata. Seperti yang kita ketahui mayoritas pemilih adalah generasi muda, yang tentunya memiliki karakter, keinginan, perilaku maupun harapan yang berbeda dari baby boomers dan generasi X. Generasi muda yang dinamis menginginkan pemimpin bangsa yang sederhana, kreatif, inovatif, energik, supel, apa adanya, dan semuanya terhubung dengan teknologi informasi komunikasi.
Generasi muda lebih memilih pemimpin nasional yang paham digital, tidak gagap teknologi, dan berperilaku kekinian. Untuk menarik perhatian generasi muda, para calon pemimpin nasional perlu berpaling dari “jadul”, meninggalkan era manual, mengubah pola pikir negatif tentang teknologi informasi menuju era digital, serba online, serba dunia maya, dan akrab dengan media sosial. Semua program, kegiatan, visi, misi, maupun platform pemimpin nasional bisa memanfaatkan media online, media sosial agar secara cepat menjangkau generasi muda.
Mereka akan mudah mengenali para calon pemimpin nasional yang menggunakan media sosial baik dalam sosialisasi, kampanye, maupun memperkenalkan berbagai aktivitas sehari-hari. Oleh karena itu, tak diragukan lagi, kunci untuk memenangkan perebutan kepemimpinan nasional saat ini adalah merebut hati dan pikiran generasi muda yang menjadi calon pemilih dalam pemilu 2024.
Generasi muda perlu diyakinkan agar mendukung kepemimpinan nasional karena mereka merupakan motor penggerak perubahan. Gaya komunikasi politik yang digunakan tentu tidak seperti sekarang. Banyak sistem politik yang terkesan dibuat-buat, tidak alami dan dinaskahkan. Menurut saya, hal itu mungkin akan memudahkan tokoh politik tersebut tetapi tidak untuk kelompok anak muda yang sudah familiar dengan hal setingan. Berbicara apa adanya di depan mereka dengan menawarkan program-program yang realistis, konkret dan dapat diwujudkan akan lebih memikat dan meyakinkan. Dengan kata lain, sistem politik yang digunakan kiranya yang tidak terlalu berlebihan dan mudah dipahami oleh generasi muda.
Generasi Muda: Penentu Kemenangan Partai Golkar
Generasi muda adalah generasi yang memiliki akal, pikiran, dan otak yang cerdas sehingga dapat dikategorikan sebagai pemilih yang rasional, yaitu pemilih yang mendasarkan pilihannya pada aspek rasio, akal, pikiran, otak dan mempertimbangkan kalkulasi untung rugi dalam menggunakan hak suaranya pada setiap pesta demokrasi, baik pada pilpres, pileg, maupun pilkada. Generasi muda sulit untuk didikte dan didoktrin, karena mereka hidup di alam kemerdekaan. Dan karena itu mereka mampu membuat perhitungan sendiri, dan mendasarkan pilihan pada apa yang konkret, yang dilihat, dialami, dan diketahui, yang umumnya berasal dari media sosial.
Hal ini mungkin karena generasi ini akrab dengan teknologi informasi, internet, dan smartphone. Dari medsos mereka mendapatkan informasi, pengetahuan, dan pemahaman tentang kepemimpinan nasional, partai politik, maupun tokoh politik tertentu. Guru utama mereka bukan lagi orang tua, guru di sekolah, maupun dosen di kampus, melainkan media online dan media sosial.
Informasi dan pengetahuan yang mereka peroleh tersebut kemudian terakumulasi dan menimbulkan persepsi dan opini tentang pemimpin bangsa seperti apa yang mereka inginkan, partai politik apa yang ingin mereka pilih, dan tokoh politik seperti apa yang mereka sukai, tanpa adanya tekanan maupun paksaan dari pihak lain. Keputusan politik, referensi politik, dan fanatisme politik tumbuh secara otomatis dalam hati generasi muda saat mereka mendapat wawasan di media sosial.
Dalam perspektif perilaku pemilih, pemilih muda tergolong rasional, bukan pemilih yang emosional atau transaksional. Generasi muda memiliki kedaulatan sendiri dalam menentukan kepemimpinan nasional di masa depan. Isu-isu primordialisme bukan lagi menjadi kendala bagi mereka untuk menentukan hak pilih dalam setiap kompetisi politik. Generasi muda lebih praktis dan pragmatis dalam mempertimbangkan pilihan politik mereka, di mana pemimpin nasional yang dipilih adalah yang memenuhi kebutuhan hatinya, sesuai selera milenial, dan cara pandang yang “modern”.
Pemilih muda yang bersikap rasional akan resisten terhadap praktek kecurangan, praktek politik uang, dan pelanggaran yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kebenaran. Justru mereka akan bersikap antipati terhadap partai politik maupun tokoh politik yang berbuat curang, dan menyimpang dari aturan dan ketentuan yang ada. Sikap yang demikian menjadi modal bagi masa depan demokrasi di Indonesia.
Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) menunjukkan, generasi muda akan mendominasi pemilu 2024. Mereka diprediksi akan mencapai 60 persen dari total pemilih Indonesia pada 2024. Jumlah tersebut berasal dari penduduk Indonesia berusia 17-39 tahun yang tersebar di 34 provinsi. Data ini menunjukkan bahwa generasi muda adalah potensi yang dapat diandalkan oleh Golkar. Tanpa adanya dukungan mereka, niscaya kemenangan partai, perebutan kursi kepresidenan dan singgasana akan menjadi sulit.
Maka dari itu, untuk menggaet generasi muda partai Golkar perlu kiat dan taktik jitu yang memang lekat dengan generasi muda, menunjuk juru bicara muda, dan memanfaatkan organisasi sayap pemuda. Mereka bisa menjadi anggota partai. Tujuannya untuk mengubah pandangan mereka tentang negatifnya sistem politik di negeri ini. Salah satu cara ampuh yang bisa digunakan adalah media sosial.
Bagaimana mengoptimalkan penggunaan medsos? Hemat penulis, hal itu bisa terwujud melalui penggunaan aplikasi tik tok yang kreatif untuk kampanye dengan gaya dan bahasa yang menarik perhatian. Atau dengan menyelenggarakan seminar politik di kampus-kampus, baik di kota-kota besar maupun pelosok dengan tema yang menggugah minat dan sesuai perkembangan zaman. Dengan demikian, bukan mustahil generasi muda ini akan tertarik menjadi anggota partai Golkar dan bergabung dalam dunia politik.
Pemilu tahun 2024 merupakan ajang persaingan antar partai politik. Setiap partai akan berupaya untuk merebut hati para pemilih di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang didominasi oleh generasi muda akan mendapatkan porsi perhatian oleh para kontestan pemilu. Untuk itu generasi muda akan bangga jika dapat berkontribusi untuk negeri dengan mendukung partai Golkar pada pemilu mendatang.
Memilih bukanlah hal yang mudah, tetapi tidak memilih bukanlah sikap yang bijak. Generasi muda juga berperan dalam politik dan tugas Golkar ialah melibatkan mereka dalam program-program yang terencana dan teroganisir dengan baik. Generasi muda ini bukanlah tabula rasa atau kertas kosong. Mereka adalah potensi yang luar biasa untuk mengubah pola pikir dan polarisasi masyarakat menuju suatu politik dunia dan Indonesia maju.
Editor: Rio Nanto
Daftar Pustaka
Hamdani, Randi, Ari G.H, Antik, Bintari. “Partisipasi Politik Pemuda Dalam Pemilu; Studi Kasus tentang Relawan Solidaritas Ulama Muda Jokowi(Samawi) Pada Pemilihan Presiden 2019 Di Kota Tasikmalaya”, Aspirasi, Vol 11(2), Agustus 2021, hlm. 11-14.
Harbowo, Nikolaus, Kurnia Y.R, Dian D.P, “Pemilih Muda Ingin Pemimpin Anti Korupsi”, Kompas, edisi 27 September 2022, (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/09/26/pemilih-muda-ingin-pemimpin-antikorupsi), diakses 30 November 2022.
Heryanto, G. gun. (2021). Strategi Literasi Politik. Yogyakarta: IRCiSoD.
Nanto, Rio. (2020). Politik Era Milenial. Maumere: Ledalero.
Pusparimba, T.M., Djuyandi, Y., Solihah,R. “Strategi Pemenangan Jokowi dan Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019 Melalui Pencitraan Politik”, Perspektif, Vol 10(2), hlm.555-561.
Rahayu, K. Y. “Mayoritas Kaum Milenial dan Generasi Z Antusias Ikuti Pemilu 2024”, Kompas, edisi 8 April 2022, (https://www.kompas.id/baca/polhuk/2022/04/08/87-persen-milenial-dan-generasi-z-antusias-ikuti-pemilu-2024), diakses 11 November 2022.