Indodian.com-Masa suksesi selalu rawan politisasi. Setelah sekian banyak hal dan peristiwa, sejak Senin (30/10/2023) di Istana Merdeka, Jakarta, giliran makan siang yang mendapat label itu. Beredarnya foto dan video yang mempertontonkan suasana makan siang semeja antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan tiga calon presiden (capres) untuk Pilpres 2024 sontak menimbulkan berbagai interpretasi.
Sekurang-kurangnya ada dua ekstrem. Ekstrem pertama cukup sinis. Ada dugaan telah terjadi kompromi. Semua akan jadi pemenang, seperti kisah di 2019, yang berbeda nanti hanya soal posisi. Ektrem kedua tampaknya apresiatif. Makan siang semeja ditafsir sebagai langkah positif Presiden Jokowi untuk “mendinginkan” situasi yang makin memanas. Inisiatif agar persatuan tetap terjaga serta agar kompetisi berlangsung secara sehat dan damai, masuk dalam ekstrem kedua ini.
Sebagai interpretasi, kedua ekstrem tersebut in se tidak keliru. Penjelasan ketiga capres setelah makan siang itu pun tidak detail. Interpretasi tetaplah interpretasi. Penulis tertarik untuk menilik dari sisi lain. Posisi penulis barangkali akan jadi ekstrem ketiga, yakni makan siang seperti itu perlu terus dilakukan.
Pesan “pertobatan”
Dalam bulan-bulan terakhir, eskalasi pertengkaran yang mengerucut pada empat kubu terus meningkat. Membela Anies-Muhaimin dan menghantam yang lain, mendukung Ganjar-Mahfud dan menolak yang sisa, menjagokan Prabowo-Gibran dan mendepak di luarnya, serta tidak memihak pada siapa pun karena semuanya bukan merupakan opsi. Di tengah kemelut normatif ini karena memang bukan hal baru dalam tiap masa suksesi, makan siang di Istana Merdeka hadir.
Makan siang tersebut sekurang-kurangnya menghantam langsung dua hal. Pertama, argumentasi Rocky Gerung bahwa jika ingin bangsa ini selamat dan tetap tumbuh, elite politiknya harus saling membunuh. Makan siang semeja di Istana Merdeka tidak hanya menolak kemungkinan elite politik saling membunuh, tetapi malah membuat mereka makin sehat dan bugar.
Kedua, fakta sosial yakni pertengkaran karena beda pilihan yang sedemikian hebatnya mewarnai kehidupan bangsa ini. Makan siang semeja di Istana Merdeka tidak hanya “menertawakan” pertengkaran itu, tetapi malah mengirim nasihat untuk makanlah dahulu sebelum bertikai secara langsung di warung-warung kopi atau secara tidak langsung di grup-grup WhatsApp. Makan siang semeja di Istana Merdeka adalah ironi.
Jalan tengahnya sederhana. Kisah di 2019 tampaknya belum mampu membawa “pertobatan”. Fakta “beli 1 dapat 2” dalam Pilpres terakhir tak memberi efek apa-apa. Jika elite politik tak mungkin saling membunuh, berhentilah memancing pertikaian. Jika petugas partai dan para kader tidak mampu “bertobat”, berhentilah tegak lurus dengan cara yang bengkok. Jika loyalis dan akar rumput tidak diajarkan cara “bertobat”, berhentilah seolah-olah paling tahu dan benar.
Ada banyak pesan dari acara makan siang semeja di Istana Merdeka tersebut. Salah satunya, hemat penulis, pesan “pertobatan”. Pesan yang sungguh sangat tidak sederhana, tetapi bagi orang beriman, pesan serupa ini mesti terus digaungkan.
Masa depan Indonesia
Pesan “pertobatan” yang terpancar dari acara makan siang semeja di Istana Merdeka tidak hanya menyangkut “pertobatan politik” semata. Demi masa depan Indonesia yang cerah dan gemilang, kita membutuhkan juga “pertobatan ekonomi”, “pertobatan sosial”, “pertobatan pendidikan”, “pertobatan budaya”, “pertobatan pertahanan-keamanan”, “pertobatan dari korupsi”, dan sebagainya. Demi masa depan Indonesia yang diimpikan, kita memang benar-benar membutuhkan “pertobatan dalam semua lini kehidupan”.
Ada dua alasan mengapa kita membutuhkan “pertobatan dalam semua lini kehidupan” demi masa depan Indonesia, yang bagi penulis, penting sekaligus mendesak. Pertama, dinamika lingkungan strategis yang membutuhkan kesiapsiagaan tiap saat. Perang Rusia-Ukraina, kisruh di Laut Cina Selatan, lahirnya pakta pertahanan AUKUS yang disinyalir sebagai upaya tandingan atas dominasi Tiongkok di Asia-Pasifik, sampai yang teraktual kembali memanasnya konflik Palestina-Israel, semuanya mendesak kita untuk selalu dalam posisi mantap. Fakta bahwa dinamika lingkungan strategis itu sangat mempengaruhi Indonesia, menjadikan “pertobatan dalam semua lini kehidupan” sebagai keharusan yang tidak bisa ditawar lagi.
Kedua, visi Indonesia Emas 2045. Untuk alasan kedua ini, “pertobatan dalam semua lini kehidupan” tidak perlu dijelaskan panjang-lebar. Persiapan yang matang dan penataan dalam semua aspek sangat dibutuhkan dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045.
Sudah saatnya, masa suksesi utamanya menuju 2024 yang selalu rawan politisasi, diubah menjadi stabilisasi. Penulis tidak sependapat dengan Gerung. Selain utopis, elite politik yang saling membunuh itu terlalu berisiko bagi bangsa dan negara. Kita tidak sedang berada pada rel demokratisasi yang mana kemungkinan itu berdampak positif. Sebagai ganti, elite politik memang harus terus makan siang semeja.
Pesan “pertobatan” yang terpancar dari makan siang semeja rasanya penting bagi kita. Kita memang harus terus mengurangi konflik dan gesekan internal karena dinamika lingkungan strategis menuntut persatuan dan kesatuan serta visi Indonesia Emas 2045 dapat dicapai jika dan hanya jika kita tidak terpecah-belah. Ikhtiar ini sangat tidak sederhana, tetapi kita masih punya waktu untuk “bertobat”.
Penulis : Reinard L. Meo