Fosil Budaya Purba Flores (2)

- Admin

Senin, 11 April 2022 - 09:52 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Penggalian (ekskavasi) secara sistematis oleh Tim Ekspedisi I dan II Verhoeven pada rentang waktu tahun 1951-965 di hampir semua gua-alam di Flores (Liang Bua, Liang Momer, Liang Toge, Mata Menge) telah berhasil menemukan tengkorak dan rahang serta tulang-belulang manusia purba.   

Hasil-hasil penemuan ini dikirim ke Universitas Utrecht, Nederland, untuk diuji dan dianalisa oleh Prof. Dr. Huizinga dan Prof. Dr. von Koeningswald yang kemudian menetapkan bahwa kerangka manusia yang berbentuk pipih dan pendek itu tergolong dalam ras Negrito, sedangkan kerangka manusia yang kepalanya berbentuk “dolichocephal” dan yang memiliki bentuk geraham yang amat besar itu tergolong  dalam ras Proto-Negrito. Hasil penemuan ini ternyata dapat memberikan jawaban atas persoalan penyebaran ras-ras di kepulauan Indonesia. 

Untuk pertama-kalinya dibuktikan oleh penemuan ini bahwa “ras Negrito adalah juga pendukung kebudayaan gua di Indonesia atau kebudayaan bertingkat epi-paleolithis”, selain ras Austro-Melanesoid   di Jawa dan Sumatera serta ras Wedoid di Sulawesi Selatan. Oleh sebab itu antropolog, Paul Schebesta SVD menegaskan bahwa ras Negrito ini benar-benar terbukti pernah hidup di pulau Flores, dan tentunya telah pula tersebar lebih jauh lagi ke Asia Selatan dan Tenggara, walaupun kehadiran ras ini di Jawa dan Sumatera serta Kalimantan belum pernah bisa dibuktikan.

Temuan di Bidang Paleontologis

Pertama, Fauna Gua Bertingkat Sub-fosil

Tim Ekspedisi II Verhoeven menemukan bahwa dalam lapisan-lapisan gua-gua alam di Flores terdapat banyak sekali rahang dan gigi serta tulang-belulang dari berjenis-jenis binatang sebagai remah-remah makanan dari manusia purba penghuni gua-alam. Sub-fosil Fauna Gua ini dikirim kepada Dr. P. A. Hooyer dan Dr. L. D. Brongersma di Universitas Leyden-Nederland untuk dipelajari dan dianalisa. Hasil studi dan kajian para Sarjana ini ditetapkan sebagai berikut:

  • Jenis Tikus Raksasa. Penemuan ini membuktikan bahwa pada masa pleistosen-awal (600.000-100.000 tahun yang lampau)10 telah hidup di daratan Asia Tenggara banyak jenis tikus besar.
  • Sub-fosil Landak, Babi rusa, Kijang, Anjing, Kera, Kalong, pelbagai jenis Kerang dan Siput. Penemuan ini membuktikan bahwa jenis-jenis binatang tersebut di atas ini merupakan makanan dari manusia purba Flores penghuni gua-gua alam, yang hidupnya berburu binatang-binatang kecil baik di daratan maupun di dalam air. Itu berarti bahwa binatang-binatang tersebut telah hidup di Flores pada zaman pleistosen-awal.
Baca juga :  Jejak Portugis di Paga      

Kedua, Fauna Daratan Pre-historis Bertingkat Fosil

Lewat bantuan penduduk lokal dan para ahli arkeologi dari Bogor, pada bulan Desember 1956 Tim Ekspedisi II Verhoeven berhasil menemukan fosil sejenis Stegodon pada lapisan pleistosen di daratan Ola Bula dan Mengeruda (Kabupaten Ngada, Flores Tengah) sebagai “subspecies baru” dari golongan Gajah. Penemuan terpenting di bidang Paleontologis ini dibenarkan oleh Dr. Dirk von Hooijer, yang memberi nama bagi subspecies baru ini sebagai Stegodon Trigonocephalus Florensis.

Fosil-fosil dari Stegodon ini ditemukan di tepi sebuah sungai besar sepanjang 10 km pada lapisan-tanah sedalam 1-3 meter. Bentuk Stegodon Florensis ini lebih kecil dibandingkan dengan yang hidup di pulau Jawa, tetapi memiliki puncak geraham yang lebih tinggi.

Species ini diperkirakan hidup di Flores pada zaman pleistosen-tengah dan akhir (400.000-8.000 tahun yang lampau). Diduga bahwa Stegodon Florensis ini berpindah dari pulau Jawa melalui rangkaian pulau Bali dan Lombok serta Sumbawa pada zaman Quartair atau “the ice ages” ketika permukaan air laut menurun, sehingga pulau-pulau di Nusa Tenggara  dapat saling dihubungkan oleh jembatan-jembatan tanah (land bridges) yang dapat dilalui oleh binatang-binatang itu.

Baca juga :  Sejarah Penggalian Gua-Gua Alam di Flores


Penemuan fosil Stegodon Florensis ini telah turut menggoncangkan “teori Wallace-line” untuk segera direvisi dan dikaji-ulang. Menurut Alfred R. Wallace, garis-batas antara fauna Asia dan fauna Australia itu berjajar antara Kalimantan Timur dan Sulawesi lalu diteruskan ke selatan antara Bali dan Lombok. Namun dengan penemuan fosil Stegodon Florensis ini, tampak dengan jelas bahwa pulau Flores pun termasuk daerah fauna Asia. Jadi besar kemungkinan bahwa garis-batas fauna Asia semestinya masih lebih ke Timur lagi. 

Hasil penemuan fosil gading gajah purba Stegodon dan fosil kerangka tulang-belulang manusia purba Flores ini dipublikasikan di majalah ilmiah ANTHROPOS volume 53Tahun 1958 di Modling-Austria. Publikasi ini dalam waktu singkat menarik perhatian dan mendapat tanggapan para ilmuwan dan arkeolog dari seluruh pelosok dunia, karena ada yang menyangsikan hasil-hasil temuan Verhoeven.

Kendatipun demikian, Verhoeven tetap berusaha mencari hubungan antara hewan purba dan manusia purba di Flores, sehingga pada tahun 1963 Verhoeven SVD bersama Mommersteeg SVD dan J. Maringer SVD dibantu masyarakat lokal melakukan lagi ekskavasi di Mata Menge dan Boa Leza, wilayah cekungan Soa-Kabupaten Ngada, dan menemukan lagi fosil kerangka gajah purba jenis Stegodon dan pelbagai artefak batu yang telah berusia 750.000 tahun. Temuan artefak batu ini mengindikasikan bahwa di wilayah ini pernah hidup sekelompok manusia purba, karena ada semacam simbiosis mutualisme antara hewan purba dan manusia purba. 

Menghadapi tanggapan negatif dari beberapa arkeolog mapan dan ilmuwan yang menyangsikan hasil-hasil temuannya, pada tahun 1965 Verhoeven SVD dibantu oleh Rokus Due Awe (anak angkatnya) bersama masyarakat lokal melakukan ekskavasi besar-besaran di Liang Bua, kini bagian dari wilayah Kabupaten Manggarai, hanya sedalam 4 meter dan berhasil menemukan fosil pigmi gajah Stegodon, artefak batu, dan tulang-belulang manusia purba yang diduga dari species Homo Erectus dengan tinggi badan 103 centimeter.

Baca juga :  Kategori Hasil Penemuan Fosil dan Artefak Budaya Purba Flores (1)

Berdasarkan seluruh hasil ekskavasi dan temuan ini, Verhoeven SVD merumuskan satu kesimpulan teoretis bahwa species Homo Erectus telah menghuni pulau Flores pada 750.000 tahun yang lampau karena species ini adalah penghuni gua-gua alam dan makanan-utamanya adalah beberapa jenis hewan purba. 

Satu kejutan baru terjadi lagi pada tanggal 11 Juli 1998, ketika Tim Ekspedisi Museum Bikon-Blewut (P. Piet Petu SVD dan P. Ansel Doredae SVD) menemukan satu fosil tengkorak manusia raksasa (a mythical gigantic skeleton) di Lia Natanio (Kabupaten Ngada, Flores Tengah), yang terletak hanya 12 km dari lokasi penemuan fosil-fosil gajah Stegodon Florensis. Fosil ini sedang dipelajari atas dasar hipotesis bahwa besar kemungkinan fosil tengkorak manusia raksasa ini mempunyai kaitan – historis dengan fosil gajah Stegodon Florensis.

Temuan Artefak “Lower – Paleolithic

Dengan bantuan para arkeolog dan geolog dari Bandung, pada tahun 1959-1960 Verhoeven juga menemukan fosil-fosil vertebrata lainnya dan fosil tumbuh- tumbuhan serta beberapa jenis siput. Di antara fosil – fosil ini terdapat juga tektit-tektit yang, menurut Prof. von Koeningswald, sudah ada di pulau Flores pada masa akhir Pleistosen – Tengah (400.000 – 18.000 tahun yang lampau) dan juga artefak – artefak paleolithicum – bawah (Lower – Paleolithic) seperti misalnya “chooper” dan “chooping tools” atau alat-alat batu tua.

Artefak-artefak zaman lower – paleolithic ini menunjukkan “kesamaan periode waktu” dengan artefak-artefak Budaya Sangiran dan Pacitan di Jawa Timur. Hal ini membuktikan bahwa sejarah zaman batu tua (paleolithicum) di Flores ternyata lebih tua dari pada yang diperkirakan.

Komentar

Berita Terkait

Bubuk Mesiu di Pulau Flores Abad 15-16
Nama-Nama Orang Flores
Sepak Bola dan Flores
Asal Usul Nama Kewapante
Pengaruh Portugis di Kabupaten Sikka   
Tenggelamnya Kapal O Arbiru, Dili – Bangkok 1973 di Perairan Maumere, Flores
Jejak Portugis di Paga      
Pulau Timor, Satu Ruang Dua Tuan
Berita ini 216 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA