Indodian.com – Banjir dan macet parah kembali membuat warga DKI mengeluh. Sejumlah titik lokasi di Jakarta terpantau diselimuti banjir. Menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta, ada 5 RT beserta 7 ruas jalan di Jakarta Selatan terdampak banjir. Seperti diketahui, hujan deras disertai angin kencang mengguyur wilayah DKI Jakarta pada siang hingga sore hari, Kamis (6/10/2022).
Terkait ini, pakar tata kota dan pengembangan wilayah dari Indonesia Center for Society and Culture (ICSC) Dr. Hendrawan Saragi menyoroti, “Banjir, macet, dan segala masalah terkait infrastruktur publik menjadi klasik karena pengelolanya bermasalah,” (Jakarta Selatan, 7/10/2022). Menurutnya, kejadian banjir di ibukota memberi suatu pelajaran bahwa yang gagal dalam pemerintahan provinsi.
“Dalam peristiwa ini menjadi jelas di mana sebagian besar kerusakan bukanlah pekerjaan alam, melainkan mereka yang ditugaskan untuk mencegah terjadinya bencana seperti ini,” ujar Saragi. Sistem pembuangan air, drainase dan tanggul-tanggul yang dimiliki oleh pemerintah seharusnya beroperasi efektif. Jikalau beroperasi efektif maka ketidaknyamanan, ketakutan, kerusakan barang, dan kehilangan nyawa dapat dihindari, terang alumni ITB itu.
Ia menambahkan, kegagalan adalah hal yang lumrah karena manusiawi, tetapi yang perlu dipertanggungjawabkan di depan publik adalah bagaimana sebenarnya mekanisme sistem yang bekerja antara fungsi dan kualitas infrastruktur yang dibangun dengan biaya yang terkait pemeliharaan dan jaminannya terhadap kegagalan operasional.
“Siapa yang akan dipuji jikalau sistem berhasil dan siapa yang akan dihukum bila gagal? Akankah pemerintah provinsi DKI Jakarta membayarkan kerugian yang diderita oleh masyarakat di dalam banjir ini?” tanya Saragi. Pria yang pernah studi di Rotterdam, Belanda itu menerangkan, mekanisme umpan balik seperti ini hanya bisa didapatkan di perusahaan swasta.
“Apakah sudah saatnya pengelolaan infrastruktur banjir ini diserahkan kepada swasta? Hanya di pengelolaan swastalah ada kemungkinan kesesuaian antara biaya pengeluaran dan kinerja, antara risiko dan tanggung jawab, antara pekerjaan yang perlu dilakukan dan sarana untuk mencapainya,” katanya.
Saragi berargumen, di dalam sistem pengelolaan pemerintah tidak mungkin ada perhitungan rasional untung-rugi, akuntansinya adalah membelanjakan anggaran dan terkadang rasa krisis sudah lenyap. Pemanfaatan sumberdaya tidak akan pernah optimal dan rawan korupsi. Namun, di dalam pengelolaan swasta, operasional dan efisiensi bisa meningkat karena ada insentif di mana mereka harus mendapatkan keuntungan dengan cara menggunakan segala pengetahuannya mengenai pasar, berinisiatif, dan berkompetisi sehingga kinerja meningkat.
Ia menambahkan, privatisasi adalah satu-satunya jalan kembali ke hari-hari tenang di mana sistem infrastruktur pengendali banjir dianggap sebagai suatu keajaiban ilmu teknik. Masyarakat tidak lagi harus merugi, putus asa karena harus mengalami mimpi buruk akibat banjir yang semestinya dikelola oleh pemerintah.
“Faktanya, ada masa yang sangat bagus di berbagai kota di belahan dunia ketika infrastruktur pengendali banjir di bawah pengelolaan pihak swasta. Sejarah membuktikan bahwa pasar lah yang secara konsisten memberikan layanan yang lebih baik daripada pemerintah. Infrastruktur pengendali banjir dapat dan perlu diserahkan kepada sektor,” pungkas Saragi.
Sementara itu, Ketua ICSC Dedy Mahendra mengatakan, banjir di Jakarta mungkin saja karena lonjakan curah hujan yang tak mampu dibendung, tetapi seharusnya kepiawaian tata kota mampu memitigasi awal sebelum terjadi musibah.
“Banjir kan sudah sering terjadi, kenapa masih belum bisa diatasi oleh Pemprov? Kasihan warga, jadi Pemprov sudah seharusnya bekerja maksimal untuk memperbaiki situasi ini. Saya kira wajar jika ada wacana manajemen banjir diserahkan pada swasta,” kata Dedy.
“Penanganan masalah banjir bisa saja diserahkan pada swasta jika mereka memang lebih mampu, karena selama ini pemerintah provinsi belum mampu,” pungkas Dedy.
*Tim Publikasi ICSC