Kapitalisme atau kapitalisme neoliberal bekerja secara ambivalen seperti tampak dalam sistem dan dampak dari sistem itu. Pada satu sisi, sistem ini membawa sejumlah perubahan signifikan pada sekian banyak aspek kehidupan. Perkembangan teknologi, transportasi, atau komunikasi merupakan buah sistem kapitalisme yang bekerja di negara-negara maju dan berdampak pula pada negara-negara berkembang. Ada begitu banyak kemudahan yang diciptakan dalam kerangka ideologi ini. Tentu jasa kita sedang menikmati kemudahan itu.
Meski demikian, pada sisi lain, kapitalisme membawa serta mudarat baik bagi manusia maupun alam sebagai rumah huni (home) bersama. Sejumlah kerusakan alam akibat eksploitasi tambang, timbulnya penyakit pernapasan pada manusia akibat pengepulan asap-asap perusahaan dan emisi karbon, menipisnya lapisan ozon karena efek rumah kaca, lunturnya kebudayaan masyarakat setempat akibat relokasi, dan masih banyak lagi, adalah soal-soal serius yang dipatut diangkat. Sering kali, dampak-dampak ini luput dari pertimbangan hanya demi implementasi pembangunan kapitalistik yang sebenarnya menguntungkan lebih banyak piha-pihak tertentu.
Dalam negara demokrasi, kapitalisme neoliberal sesungguhnya tidak mendapat ruang. Karena ciri eksploitatif, sewenang-wenang, dan orientasi hanya pada akumulasi kapital yang mengabaikan aspek substansial lain, sistem ini bertentangan dengan demokrasi. Profesor John Gray, sebagaimana dikutip Alexander Jebadu, mengatakan bahwa demokrasi dan ekonomi pasar bebas tanpa kendali adalah dua musuh yang saling berlawanan. Dalam kehidupan politik demokratis yang normal, ekonomi pasar bebas selalu berumur pendek karena ongkos sosialnya sangat tinggi.2
Selain itu, Ha-Joon Chang juga menegaskan ketidakmungkinan kedua sistem ini hidup bersama dalam satu negara. “Demokrasi beroperasi dengan prinsip ‘satu orang pribadi, satu suara’ (one person one vote). Ekonomi pasar bebas sebaliknya, beroperasi dengan prinsip ‘satu dolar, satu suara (one dolar one vote).” Oleh karena itu, keputusan-keputusan yang seharusnya demokratis dikalahkan oleh logika ekonomi pasar, karena prinsip satu dolar satu suara memberikan kekuasaan yang lebih besar kepada orang-orang kaya, ketimbang prinsip kesamaan (prinsip demokratis) setiap orang terlepas dari berapa banyak uang yang dimiliki.3
Makanya kemudian, para pemuja sistem neoliberal ini menolak demokrasi, karena selain secara ideologis bertentangan, demokrasi juga berpotensi mematikan ekspansi kapital di suatu negara. Meski demikian, sesungguhnya demokrasi tidak berdaya di hadapan kekuasaan kapitalisme neoliberal yang semakin memengaruhi kebijakan para pemangku kekuasaan di negara-negara demokratis. Di Indonesia, kapitalisme neoliberal justru bekerja “normal”, seakan-akan tanpa cacat. Dengan kata lain, demokrasi hanya sebatas sistem legal-formal tertulis tanpa taring.
Dengan demikian, kita mesti akui bahwa kapitalisme neoliberal memang membawa serta pengaruh positif dalam banyak dimensi, tetapi hasil yang terlihat positif itu ternyata menumbalkan banyak segi substantif, terlebih alam dan sistem budaya manusia. Akibat yang dihasilkannya pun sangat eksploitatif dan sulit dibendung dengan kekuatan demokratis sekalipun. Hal ini beralasan, karena pemegang kekuasaan negara demokratis justru adalah mereka yang berselingkuh bahkan menjadi bagian dari sistem eksploitatif itu.
Halaman : 1 2 3 4 Selanjutnya