Socratic Method
Untuk mencegah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan, barangkali sudah saatnya di setiap PT memperkenalkan sistem perkuliahan Socratik Method (SM). Secara singkat sistem perkuliahan SM adalah dosen bertanya, mahasiswa menjawab. Menurut filsuf Socrates, bertanya adalah berfilsafat.
Dosen menggilirkan kepada mahasiswa dan seterusnya dan terakhir kalinya membuat perumusan yang final. Secara psikologis cara seperti ini baik karena mahasiswa selalu berpacu dan dituntut untuk berpikir secara filsafat, kristis, sistematis, logis, dan runtut.
Dengan selalu sabar menunggu sampai ada jawaban yang benar, semua mahasiswa diajak untuk berpikir, memecahkan masalah, sehingga terjadilah variasi dan diskursus berpikir yang sangat berkembang, di mana mahasiswa mengajukan pendapat-pendapat tertentu.
Yang dipertanyakan bukan saja kasus apa yang benar-benar terjadi, atau apa yang sedang terjadi, dapat juga “hypotheticals”, yaitu kemungkinan yang diselundupkan dalam kasus. Dengan menyelundupkan satu atau lebih elemen hipotetis, ke dalam kasus, maka mahasiswa dipancing untuk menilai, apakah penyelesaiannya berubah atau tidak.
Metode SM, ada juga bahayanya. Seperti apa yang diceritakan oleh seorang mahasiswa dari Yale University, Kennedy. Kennedy, bercerita, “… student see proffesors as people who want to hurt them, proffesors action aften to hurt them deeply” ( Nico Nagani, 1982).
Sepanjang waktu diskusi, dosen bukan saja peserta biasa, tetapi memegang peran utama yang menentukan, dan mengeterapkan aturan main diskusi. Tetapi tidak disangkal metode ini dapat menggairahkan belajar dan sikap tidak mau menyerah di kalangan mahasiswa, apabla dosennya tidak siap. Hal ini ternyata dari cerita Kennedy, “…The thing that specially impressed me was the general intense interest displayed by the whole class in the discussion, event by those who did not remmember that a student, when called could not all gave an adequte answer”.
Meperkenalkan metode perkuliah SM saya pikir adalah salah satu cara untuk menumbuhkan minat dan gairah mahasiswa berpikir kritis, logis, runtut, dan sistematis. Dengan kuliah ini saya maksudkan sedikit mengubah sistem perkuliahan yang kita pakai selama ini, yaitu satu arah, menjadi dua arah. Jadi yang berbicara tidak hanya dosen, tetapi juga mahasiswa.
Dalam kuliah SM ini, setiap mahasiswa atau dosen mempersiapkan materi yang akan disampaikan. Semua materi dibahas, dan lalu menyampaikan keberatan-keberatan atau sanggahan-sanggahan, terhadap pendapat dosen atau teman mahasiswa lain. Sistem perkuliahan ini mengajak mahasiswa masuk ke dapur, mahasiswa harus tahu proses memasak yang benar. Bukan diajak ke meja makan. Dengan demikian mahasiswa, mau tidak mau dipaksa untuk berpikir dan berpendapat untuk menjawab semua permasalahan yang muncul.
Metode ini baik, sekaligus mengetahui, apakah dosen sebagai calo ilmu pengetahuan dan sekaligus mengukur seberapa banyak bacaan seorang dosen, karena akan diketahui dosen itu siap atau tidak. Rekomendasi ini, sudah pasti ada yang tidak setuju. Paling tidak, rekomendasi ini untuk menghambat berpikir kreatif, tidak mau mengubah sudut pandang, enggan menerima perubahan, merasa tidak berdaya, takut ditertawakan.
Sekurang-kurangnya rekomendasi ini untuk memenuhi, Five Minds of The Future (Howard Gardner, 2013), yaitu The Disciplinary of Mind, The synthesizing Mind, Creating Mind, The Respectful Mind, The Ethical Mind. Sekaligus rekomendasi ini untuk memenuhi kompetensi lulusan yang dipersyaratkan oleh dunia kerja, yaitu, mahasiswa bisa berpikir analitis, menguasai ilmu pengetahuan, bisa bekerja mandiri, bisa berkomunikasi lisan, berkomunikasi tertulis, berpikir logis, menguasai teknologi, mampu bekerja dalam tim.***
Ben Senang Galus
Penulis buku, dosen beberapa perguruan tinggi di Yogykarta