Indodian.com – Sebuah pertanyaan yang sering diajukan banyak orang adalah dapatkah Gereja berpolitik? Atau mengapa Gereja mesti terlibat dalam urusan sosial, ekonomi dan politik dunia? Tanpa berpikir panjang, banyak orang dewasa ini, baik orang Kristen, rohaniwan-rohaniwati maupun umat awam Katolik sendiri dengan cepat menjawab “tidak”.
Alasannya adalah bahwa Gereja tidak bersifat politik dan karena itu tidak bisa terlibat dalam urusan-urusan sosial, ekonomi dan politik. Mereka berpendapat bahwa ada pemisahan antara agama dan negara atau antara Gereja dan politik. Gereja dipanggil hanya untuk mengurus hal-hal rohani, sedangkan masalah sosial, ekonomi, dan politik adalah ranah pemerintah negara.
Atas dasar ini, mereka menyerukan agar Gereja berhenti mencampuri kebijakan publik negara khususnya yang berkaitan dengan industri pertambangan dan masalah ketidakadilan, meskipun fakta menunjukkan bahwa proyek ini dioperasikan dengan menghancurkan sumber-sumber hidup – tanah pertanian, hutan dan sungai– secara masif dan permanen, serta penuh dengan mafia penipuan dan ketidakjujuran.1
Pemerintah daerah Flores bersikeras bahwa Gereja, khususnya hirarkinya – para uskup dan pastor dan biarawan-biarawati – mesti hanya mengurusi bidang yang menjadi wewenangnya yaitu hal rohani. Gereja hanya membantu umat Kristen untuk masuk surga dengan mengajarkan mereka berdoa dan melayani sakramen-sakramen suci.
Tuduhan dan pandangan semacam ini, tentu saja, bukan hal unik dialami oleh Gereja di Flores. Hal yang sama merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh Gereja di mana saja di dunia sehubungan dengan misi kenabiannya untuk berdiri di pihak orang miskin yang hak hidupnya dirampas dan menjaga keutuhan alam ciptaan. Sekadar untuk menyebutkan sebuah contoh lain, ketika teologi pembebasan lahir di Amerika Latin pada tahun 1970-an, Gereja di sana juga menghadapi kesulitan yang sama seperti diceriterakan Leo Boff dalam bukunya Church,Charism, and Power: Liberation Theology and the Institutional Church.2
Leo Boff berpendapat bahwa dari kodrat pelayanannya Gereja bersifat politik. Berhadapan dengan fakta ketidakadilan sosial, Gereja mesti bersifat politis dan tidak bisa apolitis. Seperti Leo Boff, Antonio Egiguren OFM, dalam sebuah tulisan yang diterbitkan SEDOS November 2012, juga mengatakan: “Apa yang membuat Gereja menjadi sebuah lembaga non-kredibel adalah keterlibatannya dalam politik dan keberpihakannya dengan kekuasaan … [Tapi kebenarannya adalah bahwa] Gereja perlu berpolitik, memihak orang miskin dengan tujuan untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih baik.”3
Tapi pertanyaannya, bagaimana dimensi politik dari pelayanan Gereja ini harus dipahami dalam kerangka iman Kristen? Mengapa Gereja harus berpolitik atau bersifat politik? Mendiang Uskup Romero, pahlawan orang-orang miskin yang haknya dicabik pemerintah negara El Salvador hingga tahun 1970-an, memberikan salah satu jawabannya.
Berdasarkan pada pengalamannya tentang bagaimana menjelmakan Gereja dalam kehidupan orang miskin dan dengan gigih membela orang miskin yang ditindas oleh struktur ekonomi dan politik yang tidak adil di El Salvador hingga tahun 1980-an, Uskup Romero mengatakan bahwa keyakinan iman dan transendensi nilai-nilai Injil adalah kekuatan yang membimbing dan menopang Gereja untuk berdiri tegak dan terlibat dalam persoalan-persoalan ini. Romero menunjukkan tiga aspek fundamental iman Kristen untuk berinkarnasi di dunia sosial-politik dan ekonomi, yaitu kesadaran baru tentang dosa, kelanjutan dari inkarnasi kasih Allah Yesus Kristus, dan sebuah iman yang lebih dalam akan Allah.
Halaman : 1 2 3 Selanjutnya