Tag: Gereja

  • Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

    Seni Homiletika: Tantangan Berkhotbah di Era Revolusi Sibernetika

    Indodian.com– Masa kejayaan khotbah sudah berakhir,” demikian suara lirih itu menyeruak di Barat. Apa yang membuat masa kejayaan pewartaan sabda itu meredup? Pertama, karena khotbah sekarang dicap sebagai seni komunikasi yang sekarat. Kedua, khotbah adalah bentuk komunikasi yang sudah ketinggalan zaman, yang dalam waktu dekat ini akan mati dan dikubur. Suara-suara semacam ini disorot oleh John Stott dalam Biblical Preaching: A Pastor’s Look at Homiletics. The Argument against Preaching I: The Cybernetic Revolution.

    Stott tidak sepakat dengan anggapan negatif terhadap khotbah di atas. Meski perlu diakui, di sana-sini memang jamak terdengar keluhan umat terhadap khotbah-khotbah yang mereka dengar, bahkan membuat mereka tidak nyaman ikut ibadah di gereja. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari gejala ini menurut Carey Nieuwhof:

    Pertama, Khotbah tidak jelas: Tidak ada yang mengingat “khotbah yang membingungkan,” ujar Nieuwhof. Umat hanya mengingat khotbah yang jelas. Jika pengkhotbah tidak jelas, jemaatnya pun tidak akan jelas.

    Kedua, Khotbah tidak memuat pesan yang penting: Terlalu sering para pengkhotbah memberi tahu umat apa yang harus dilakukan, tetapi “lupa” memberi tahu mereka alasan mengapa hal itu penting. Itulah sebabnya orang tidak melakukan apa-apa.

    Ketiga, Khotbah tidak memberi pesan praktis untuk dilakukan:Jika pengkhotbah lupa memberi umat petunjuk praktis atau sesuatu yang nyata untuk dilakukan, pesan khotbah akan hilang dengan cepat.

    Keadaan ini terjadi tepat di era revolusi sibernetika yang terus bergulir di fase zaman kita.

    Khotbah di Era Revolusi Sibernetika

    Awalnya, istilah “Cybernetics” atau sibernetika berasal dari kata Yunani kuno “kybernetikos” (ahli mengemudi) atau seni juru mudi kuda atau kereta kuda, di mana sang kusir perlu sebaik mungkin mengendalikan dan “mengomunikasikan” navigasinya kepada kuda yang dikendalikannya. “Kontrol” dan “Komunikasi” menjadi kata kunci di sini.

    Dr. Stott menyederhanakan bahwa revolusi sibernetik adalah “mekanisme komunikasi,” baik di otak manusia maupun komputer (Cybernetics is a pop word for the study of mechanisms of communication, both in the human brain and in the electronic brain. Or, if you prefer, in men and in computers).Atau, “Secara lebih sederhana, sibernetika adalah ilmu tentang “sarana komunikasi” atau “media komunikasi” (More simply, cybernetics is the science of communication means, or the media of communication).

    Jadi, revolusi sibernetika merujuk pada “perubahan radikal dalam komunikasi yang dipicu oleh perkembangan peralatan elektronik dalam generasi kita. Dampak revolusi sibernetika secara tak terelakkan menyelinap ke dalam gaya hidup masyarakat.

    Revolusi ini menyelimuti banyak aspek kehidupan manusia, secara khusus kemajuan pesat dalam teknologi informasi, komunikasi, kesehatan, transportasi, otomatisasi, tenaga kerja, sistem sosial, isu etika, privasi, pendidikan dan pembelajaran, globalisasi, hingga ke bentuk baru interaksi sosial (lahirnya media sosial dan komunitas daring merupakan konsekuensi langsung dari revolusi sibernetika).

    Bagi Dr. Stott, dalam era revolusi sibernetika ini, dunia telah secara radikal mengubah metode komunikasinya dan khotbah Kristiani tidak lagi berkomunikasi dengan masyarakat yang berbasis gambar (di Barat). “Khotbah Kristen berhadapan dengan budaya anti otoritas.Meskipun semua zaman telah memberontak terhadap otoritas, tapi zaman kini tampaknya berhasil mengalahkan semua zaman lainnya,” kata teolog asal Inggris itu.

    Revolusi sibernetika sejalan dengan fenomena terkini yang disebut Nathan Creitz sebagai A Media-Saturated Problem(Masalah Kejenuhan Media). Manusia menjadi “penat” oleh media. Terlalu banyak tawaran informasi dari beragam media yang tersedia. Mungkin ini pula alasan, saya kira, yang membuat film-film Hollywood menemukan formula matematika yang memungkinkan mereka menyesuaikan efek pengambilan gambar dengan rentang perhatian penontonnya. https://phys.org/news/2010-02-hollywood-movies-mathematical-formula.html

    Banyaknya tawaran media di era revolusi sibernetika seperti ini, terang John Stott dalam buku Between Two Worlds, membuat umat menjadi: pertama, malas secara fisik (physically lazy). Kedua, tidak kritis secara intelektual (intellectually uncritical). Ketiga, tidak peka secara emosional (emotionally insensitive). Keempat, bingung secara psikologis (psychologically confused). Kelima, rusak secara moral (and morally disordered)

    Di Antara Dua Dunia

    Dalam situasi seperti ini, Dr. Stott merasa perlu mengangkat isu revolusi sibernetika yang merambah bidang komunikasi itu karena “kekristenan adalah agama komunikasi.” Artinya, aktivitas berkomunikasi merupakan pusat kegerakan iman Kristiani, karena “Allah telah berkomunikasi dengan umat manusia. Dia telah bersabda dan mengundang kita mengomunikasikan kepada orang lain apa yang telah Dia komunikasikan kepada kita” (Biblical Preaching, 5–6).

    Pengkhotbah Kristiani adalah orang yang hidup di dua dunia, sehingga praktik seni homiletika atau berkhotbah adalah sebuah pelayanan membangun jembatan. Tugas pengkhotbah tidak kurang dari menjembatani dua dunia, yaitu “dunia sabda Tuhan” dan “dunia manusia.” Pengkhotbah berada di antara dua dunia ini dan ia tidak boleh mengabaikan salah satunya, ujar John Stott.

    Ada kerumitan kehidupan kontemporer yang perlu mendapat jawabannya dari khotbah Alkitabiah. Menabur firman Tuhan ke dalam hati manusia membutuhkan “konten” Alkitabiah yang bisa menjawab situasi umat, di sini dan sekarang. Untuk itu, selain mempelajari Kitab Suci, Dr. Stott mengajak para pengkhotbah mempelajari karya atau buku sekuler juga, agar dapat memahami pikiran orang-orang di dunia dengan lebih baik. Ini penting bagi persiapan khotbah yang sebenarnya, menurut tokoh Injili terkemuka itu.

    Persiapan khotbah perlu diawali dengan: proses pemilihan teks, interpretasi yang ketat, mempertimbangkan tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, mencari ilustrasi yang sesuai, serta memikirkan aplikasi yang tepat untuk ditawarkan kepada jemaah. Meski di awal tadi disinggung ada yang menganggap era keemasan khotbah sudah berakhir, tapi secara empiris tidak demikian.

    Survei opini Pew Research terhadap 6.364 orang dewasa di Amerika Serikat (2019) menemukan bahwa 90% orang Kristen merasa puas dengan khotbah yang mereka dengar. Jadi, mayoritas umat, setidaknya di AS, masih menikmati khotbah-khotbah yang mereka dengar di gereja. Semoga di Indonesia menemukan hasil survei yang baik pula, bahkan lebih baik. Semoga.

    Khotbah Masih Dibutuhkan

    Meski dunia berubah, terutama dalam aspek sibernetika, tapi khotbah masih dibutuhkan dan didengarkan oleh umat. Ini menguatkan tesis Dr. Stott dalam Biblical Preaching yang menyatakan, “Khotbah sebagai bentuk komunikasi yang terbaik secara permanen” (Preaching is a permanently valid form of communication). Pewartaan sabda dalam bentuk khotbah tetap merupakan cara yang paling baik dalam menyampaikan firman Allah kepada umat.

    Ia mengutip Martin Lloyd-Jones, “Berkhotbah adalah pekerjaan yang teragung, terhebat, panggilan termulia yang dapat dilakukan oleh seseorang” (The work of preaching is the highest, the greatest, the most glorious calling to which anyone can ever be called). “Khotbah adalah tugas utama gereja dan para pemimpin gereja,” seru Stott. “Kebutuhan yang paling mendesak di dalam gereja saat ini adalah khotbah yang benar,” imbuhnya. (I would say that, without any hesitation, the most urgent need in the Christian church today is true preaching).

    “Tidak ada yang sebanding dengan perasaan menaiki tangga mimbar dengan homili yang baru pada hari Minggu, terutama ketika merasa memiliki pesan dari Tuhan dan kerinduan menyampaikannya kepada umat,” seru Dr. Stott. Di sisi lain, secara historis, meski seni homiletika mengintegrasikan pengajaran Alkitab dan retorika (seni berbicara secara persuasif untuk memengaruhi audiens), tapi Karl Barth menegaskan bahwa homili atau khotbah memiliki tujuan yang berbeda dengan retorika.

    Khotbah tidak bergantung pada gaya bahasa atau persuasi, sehingga seni homiletika dan retorika harus dipisahkan. Karl Barth bukan yang pertama menolak integrasi ini. Sejak era Yunani Klasik, ada pula pembedaan semacam ini, yaitu antara sofis dan filsuf. Pada era itu ada pertentangan antara “retorika” dan “dialektika” kata lain untuk permusuhan antara “sofisme” dan “filsafat”

    Bila dialektika/filsafat mencari kebenaran, maka retorika/sofisme melandaskan diri pada “penampakan luar saja” (karena mementingkan efektivitas meyakinkan orang). Jika ditarik ke ranah homiletika, maka khotbah adalah usaha menyampaikan kebenaran, sementara sofisme sekadar usaha meyakinkan orang, dengan pengetahuan sofis yang dangkal.

    Paulus menggambarkan khotbahnya “tidak disampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh” (1 Korintus 2:4). Banyak yang menganggap ini sebagai metode Paulus dalam mewartakan sabda secara sederhana dan tidak beretorika. Dari sini dapat kita simak, tentu khotbah adalah tindakan mewartakan sabda dengan kekuatan Roh, tetapi di saat yang sama ada poin-poin ekselen dalam retorika yang dapat digunakan: etos (etika), patos (gairah), logos (pengetahuan akan kebenaran).

    Beberapa Tawaran sebagai Penutup

    Khotbah di era revolusi sibernetika memang memiliki tantangan tersendiri, dan pengkhotbah Kristiani perlu tetap berusaha mewartakan sabda dengan sebaik mungkin dan jelas. Berikut tips umum yang sudah banyak diketahui, tapi mungkin sekaligus sering dilupakan para pengkhotbah:

    Pertama, mempertahankan mengawali menit-menit pertama khotbah secara jelas dan tidak bertele-tele. Naik ke mimbar perlu persiapan yang matang. Ketika sudah di mimbar, sebaiknya menghindari melakukan kegiatan yang “membuang-buang waktu” seperti melepas jam tangan, minum air putih (lakukan semua hal tersebut sebelum kita melangkah ke tempat duduk atau jangan lakukan sama sekali).

    Kedua, tidak berkomentar yang merendahkan diri sendiri, seperti mengatakan bahwa kita bukanlah pengkhotbah yang hebat atau tidak sebagus orang lain. Hal ini tidak hanya kontraproduktif dengan tujuan dan panggilan kita dalam berkhotbah, tetapi juga hampir pasti berasal dari rasa tidak aman yang berharap untuk ditenangkan. Pula, tidak perlu merendahkan umat atau audiens. Ada orang yang bisa akan segera menarik diri jika mereka tersinggung. Jendela hati mereka akan tertutup

    Ketiga, jika bisa, tulis dan hafalkan atau hampir hafalkan paragraf pembuka khotbah kita. Kata-kata pertama pengkhotbah sangatlah penting, jadi kita diajak menyusun dan memahaminya dengan baik agar kita “dapat hadir” dan mengajak audiens memperhatikan khotbah kita. Dan, yang tak kalah penting, tersenyumlah 😊

    Keempat, memulai berkhotbah sesegera mungkin, dengan pertanyaan yang bijaksana, sesuatu yang menarik, atau pertanyaan unik. Semua hal yang kita lakukan pada menit-menit pertama akan berkontribusi pada kelancaran penyampaian firman Tuhan yang kita lakukan.

    Revolusi Sibernika adalah fenomena yang tak dapat dihindari. Namun, seperti anjuran yang baik dari John Stott, sabda Tuhan adalah prinsip hidup manusia yang dapat dan harus selalu diwartakan. Kita diundang menyampaikan sabda dengan kesungguhan, keberanian, persiapan, dan terus belajar. Selamat berkhotbah!

  • Agama, Politik dan Kemaslahatan Bersama

    Agama, Politik dan Kemaslahatan Bersama

    Indodian.comIndonesia Corruption Watch (ICW) dalam Laporan Pemantauan Tren Penindakan Kasus Korupsi Tahun 2021, memetakan kasus tersangka korupsi berdasarkan aktor. Berdasarkan pemetaan tersebut, ICW mengidentifikasi 28 jabatan yang terjerat dalam kasus korupsi, termasuk pejabat politik dari tingkat lokal sampai nasional.

    Berdasarkan identifikasi tersebut, terdapat 319 pejabat politik yang terjerat kasus korupsi. Di antaranya, Kepala Desa sejumlah 159 orang dan Aparatur Desa 86 orang, Bupati dan Wakil Bupati 20 orang, Ketua dan Anggota Partai 6 orang, Ketua dan Anggota DPR 4 orang, Ketua dan Anggota DPRD 44 orang.

    Persoalaan korupsi ini menjadi salah satu persoalaan yang menjamur dalam perpolitikan di Indonesia. Persoalan lain, seperti adanya “perkawinan” para pejabat politik dengan korporasi, membentang karpet merah terhadap perusahan transnasional yang berdampak pada jauhnya keadilan, kesejahteraan dan budaya demokrasi ditendang jauh.

    Selain persoalan politik, persoalaan agama juga cukup menjamur di bangsa ini.  Berdasarkan identifikasi dari Setara institute pada 6 April tahun 2021, sebanyak 422 tindakan pelanggaran kebebasan beragama terjadi di Indonesia pada tahun 2020.

    Persoalaan politik dan agama di atas bukan karena kerakusan manusia, atau lemahnya hukum tetapi adanya garis pemisah yang tegas antara agama dan politik. Bahwasanya nilai-nilai agama tidak berlaku di ruang publik (politik), sebaliknya nilai politis juga tidak berlaku dalam agama. Oleh karena itu, dalam merespon persoalan politik dan agama ini, diajukan sebuah solusi alternatif, yakni perlunya kerjasama antara agama dan politik.

    Solusi alternatif ini dengan dasar argumentasi bahwa agama dan politik sanggup menciptakan kemaslahatan bersama dalam sebuah komunitas politik. Argumentasi ini tidak bermaksud menghendaki adanya penyatuan antara agama dan politik, tetapi lebih berorientasi pada kerjasama atau berkoeksistensi dalam membangun sebuah komunitas politis yang bermartabat.

    Ketegangan Agama dan Politik

    Agama dan politik merupakan dua entitas yang berbeda dan keberadaanya selalu tarik-menarik. Hal ini karena agama dan politik memiliki kadar sensitif yang sama dan kerapkali dipakai sebagai senjata ampuh untuk menggoreng isu. Agama seringkali dijadikan alat untuk menggalang dukungan politik atau mempertahankan kekuasaan.

    Sementara, aspek politik terlihat dalam kebijakan-kebijakan politis yang mengandung doktrin teologis agama tertentu. Atau yang paling ekstrem, kaum radikal menghendaki Indonesia dijadikan Negara agama. Fenomena lumrah ini berdampak pada opini publik terkait relasi antara agama dan politik di Indonesia. Antara agama dan politik dua entitas yang berbeda dan saling bermusuhan. Keduanya tidak mungkin berdamai dan berkerjasama dalam membangun kemaslahatan bersama.

    Ketegangan agama dan politik ini sejatinya bukan hal baru terjadi di negeri ini. Ketegangan relasi antara agama dan politik ini mewarnai perjalanan bangsa Indonesia. Ketegangan ini terlihat dalam sejarah perdebatan ideologis tentang dasar Negara yang melibatkan pelbagai kepentingan politik, yakni golongan nasionalis sekular (PNI), Golongan nasionalis agama (NU, Muhammadiyah, Masyumi, dan Partai Katolik), dan golongan sekular (komunisme dan Liberalisme).

    Perdebatan ketiga golongan ini merupakan usaha untuk menemukan dasar Negara (Fransiskus Momang, 2021). Selain itu, Nicolas Driyarkara, Filsuf kebangsaan Indonesia, dalam kajian filosofis Pancasila merumuskan pertanyaan yang sangat tajam, apakah Indonesia Negara agama atau sekular atau bukan Negara agama, bukan Negara sekular? Kalau begitu Negara apakah Indonesia ini? (Silvano Keo Bhaghi, 2016).

    Kajian filosofis Driyarkara dan perdebatan ideologis ini bermuara pada pencarian dasar Negara. Indonesia merupakan bukan Negara agama dan sekular, melainkan Negara Pancasila. Negara Pancasila merupakan Negara yang didasarkan pada kelima sila Pancasila. Pancasila sebagai hasil konsensus bersama, bukan hanya terbatas mengakui pluralitas agama, tetapi lebih dari itu terus merawat pluralitas agama dan dijadikan kekuatan bangsa dalam komunitas politis (Negara).

    Kemaslahatan Bersama

    Agama dan politik merupakan dua entitas berbeda yang menjadi bagian integral dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan sama-sama turut berkontribusi dalam membangun kemaslahatan bersama. Bahwasannya nilai-nilai agama dan politis mampu menciptakan kebaikan bersama dalam masyarakat Indoensia yang memiliki pluralitas agama. Perlunya merawat relasi antara agama dan politik, karena setiap warga negara memiliki aspek spritualitas dan politis.

    Kedua aspek ini, tidak bisa berjalan sendiri, tetapi berkolaborasi menjadi kekuatan bangsa. Keseimbangan antara aspek spiritualitas dan politis berdampak kemaslahatan bersama sebagai suatu bangsa. Aspek spiritualitas dan politis mengarahkan para politisi atau pejabat politik untuk mengambil kebijakan politik dengan berlandaskan pada cita rasa kemanusiaan, keadilan, kejujuran dan kebaikan bersama serta dijauhi tindakan korupsi.

    Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam sila pertama Pancasila merupakan penegasan akan pentingnya aspek spritualitas dalam membangun bangsa. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa tidak terbatas pada Indonesia percaya pada wujud tertinggi atau pengakuan pluralitas agama yang sudah menyejarah.

    Lebih dari itu, sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi landasan moral-etis dalam kehidupan berbangsa, yakni perlunya cinta dan kepedulian dalam tindakan politis (Sylvester Kanisius Laku, 2012). Berlandaskan hal ini, kontribusi agama dalam politik merupakan hal yang sangat esensial, yakni segala keputusan politis harus berlandaskan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama tersebut ialah tindakan penuh cinta dan kepedulian serta menjunjung tinggi harkat  dan martabat warga negara.

    Kehadiran agama di sini dalam panggung politik, membimbing para pengambil kebijakan politik agar tetap berlandaskan pada keadilan, demokratis, kejujuran, dan cita rasa kemanusiaan. Hal ini karena inti terdalam setiap doktrin teologis agama ialah mengajarkan kebaikan, keadilan dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Nilai-nilai agama ini pun dituntut untuk tidak terbatas pada ruang ibadah saja, tetapi harus dijadikan landasan dalam kehidupan politik. Dengan demikan segala keputusan politis mengandung nilai kemanusiaan dan benar-benar tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan warga Negara. 

    Selain itu, untuk menciptakan kemaslahatan bersama dalam sebuah Negara, kontribusi politik dalam agama juga menjadi hal yang substansial. Kehadiran agama-agama di Indonesia tidak hanya untuk membangun relasi dengan Wujud Tertinggi atau hanya meningkatkan aspek spritualitas. Lebih dari itu peran agama ialah menjalankan aspek politis atau dengan kata lain agama harus bersifat politis. Di sini agama harus membuka diri terhadap nilai-nilai politis demi pembangunan umat beragama secara universal dalam sebuah Negara. Nilai-nilai politis tersebut ialah, keadilan, demokratis, kesetaraan, kebebasan, kebaikan, kejujuran dan lain sebagainya.

    Secara historis, lahirnya agama di dunia memang didasari atas kondisi masyarakat yang serba chaotic. Agama sebenarnya menjadi dasar kuat untuk melakukan reorganisasi ulang terhadap kehidupan masyarakat tersebut dengan menjadikan nilai dan norma agama sebagai dasar pembangunan masyarakat (Wasisto Raharjo Jati, 2014).

    Dengan itu, peran politis dalam agama semakin diperjelas yakni untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan, nilai keadilan, menyuarakan suara yang terpinggirkan, membela kaum miskin dan menderita, memerangi korupsi, tolak ekspolitasi alam dan lain sebagainya. Dengan itu, agama tidak hanya berurusan dengan menafsir kitab suci, mendekatkan diri dengan Tuhan, tetapi harus turun bersama umat beragama secara universal dalam memperjuangkan nilai kemanusiaan.

    Problem kemanusiaan ini, baik agama maupun politik dituntut untuk satu garis perlawanan. Keberadaan keduanya saling mengisi demi terwujudnya kebaikan bersama dalam komunitas politik. Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa menandaskan, penting dan sebuah keharusan memupuk relasi antara agama dan politik demi tercapainya kemaslahatan bersama. Namun, untuk tercapainya kemaslahatan bersama, antara agama dan politik harus saling membuka diri.

    Dialog antara agama dan politik diperlukan sehingga keduanya sama-sama membangun kebaikan bersama sebagai bangsa yang bersifat heterogen. Selain itu kerjasama dan dialog antaragama perlu digalakkan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dijadikan dasar filosofis mengelola pluralitas di bangsa ini, perlu dihidupkan dan menjadi prinsip utama dalam membangun relasi setiap umat beragama. Dengan itu, persoalaan politik dan agama bisa diatasi demi kemaslahatan bersama di bumi nusantara ini.

  • Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

    Menalar Sikap Gereja terhadap Kaum Homosekual

    Indodian.com-Akhir-akhir ini, ekspresi kaum homoseksual di media sosial kian marak. Anak-anak muda secara terang-terangan mengumbar kemesraan dengan pasangan sesama jenis. Ada yang menggunakan akun media sosial untuk mencari kekasih yang memiliki orientasi seksual yang sama. Mereka secara terbuka menjelaskan identitas sebagai pasangan homoseksual. Bahkan, beberapa pasangan homoseksual di Indonesia memilih untuk menikah dan mengadopsi anak.

    Meski di Indonesia pernikahan sesama jenis dianggap ilegal, sejumlah warga asal Indonesia memilih untuk menikah dengan pasangan sesama jenis di luar negeri. Beberapa pasangan homoseksual yang secara resmi melangsungkan pernikahan di luar negeri antara lain: Erwin Chandra dan Michael Hinz, Jacky Rusli dan Sath Halim, Max dan Yos, Wisnu Nugroho serta Ragil Mahardika dan Frederik Vollert.

    Pada tahun 20011, Belanda menjadi negara pertama yang mengakui dan melegalkan homoseksual atau LGBT. Berdasarkan data The Human Right Campaign (HRC), kini terdapat 32 negara yang melegalkan praktik LGBT ini. Yayasan kampanye Hak Asasi Manusia tersebut melacak perkembangan dalam pengakuan hukum pernikahan sesama jenis di seluruh dunia.[1] Tentunya akan semakin banyak negara yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Pertimbangan HAM menjadi instrumen utama negara-negara untuk mengakui dan melegalkan pernikahan sesama jenis.

    Berhadapan dengan perkembangan pemahaman terhadap kaum homoseksual ini, Gereja sebagai sebuah institusi ditantang untuk memberikan tanggapan teologis. Apakah Gereja masih tetap mempertahankan tafsiran lama sebagaimana tertulis dalam Kitab Suci yang melihat homoseksual sebagai dosa atau terbuka dengan perkembangan baru yang melihat homoseksual sebagai sebuah orientasi seksual yang lazim? Tulisan ini bertujuan untuk menalar sikap Gereja terhadap kaum homoseksual. 

    Homoseksualitas sebagai Sebuah Realitas   

    Kata homoseksual diambil dari bahasa yunani homoios yang artinya “sama” dan bahasa Latin sexus yang artinya “jenis kelamin”. Kedua kata ini adalah pengertian umum yang mencakup berbagai kecenderungan seksual bagi orang dengan jenis kelamin yang sama, atau dengan kata lain adalah suatu keinginan atau hasrat kepada orang dengan jenis kelamin yang sama. Bahasa yunani homotropie; tropos berarti “arah, Haluan.”[2]

    Homoseksual dapat diartikan sebagai tindakan seksual yang dilakukan oleh manusia yang berjenis kelamin sama. Kaum homoseksual memiliki ketertarikan terhadap seseorang yang mempunyai kelamin sejenis dan identitas gender yang sama. Menurut Preston M. Sprike, homoseksualitas menjadi topik yang sering dipertaruhkan dalam diskursus agama dan politik. Berbeda dengan topik lain, homoseksualitas memengaruhi inti kemanusiaan. Homoseksualitas bukan cuma sebuah isu yang diperdebatkan, tapi isu yang menyentuh hati dan kemanusiaan setiap orang.[3]

    Fenomena homoseksualitas ini menimbulkan polemik yang kompleks dalam masyarakat. Pihak yang menolak menganggap homoseksual termasuk dalam kaum deviant (kelompok yang menyimpang). Orientasi seksual yang lazim ada dalam masyarakat adalah heteroseksual, sedangkan homoseksual oleh masyarakat dianggap sebagai penyimpangan orientasi seksual.

    Umumnya, manusia yang hidup dalam hubungan heteroseksual dipandang sebagai suatu hubungan yang kredibel karena mendapat legitimasi dari lembaga agama. Konsekuensinya, setiap tindakan seksual yang berbeda dipandang sebagai penyimpangan seksual. Itulah sebabnya, secara legal-formal-keagamaan, homoseksualitas merupakan bentuk penyimpangan seksual yang tidak dapat dibenarkan.

    Pelarangan tidak sebatas tertuju pada tindakan homoseksual, melainkan pula merambah pada identitas individu bersangkutan. Individu tersebut layak dianggap sebagai pendosa. Hal ini membuat kaum homoseksual diperlakukan secara tidak adil dalam kehidupan bermasyarakat. Isu homoseksualitas tidak saja ditekan dan ditentang, para pelakunya bahkan dibatasi dalam pergaulan sosial. Masyarakat terprovokasi asumsi yang cenderung merendahkan martabat kaum homoseksual.

    Inilah masalah yang harus dikritisi secara etis-Kristiani. Kesalahpahaman terhadap konsep homoseksualitas menyebabkan kaum homoseksual terasing dari lingkungan, tidak terkecuali gereja. Tidak dapat dipungkiri bahwa homoseksual mempunyai sejarah pengalaman yang kelam bersama gereja. Homoseksual dianggap dosa. Dogma dan Kitab Suci menjadi semacam senjata untuk menyalahkan kaum homoseksual.

    Mengenai homoseksualitas ini, Gregory M. Herek membedakan tiga perilaku homoseks berkenaan dengan fungsi sosio-psikologisnya, yakni pertama, experiential, yaitu homoseksual yang diakibatkan oleh interaksi seseorang dengan orang atau orang-orang homoseksual di masa lampau. Kedua, defensive, adalah homoseks sebagai cara mengatasi ‘’konflik internal’’ atau kegelisahan-kegelisahan dalam diri seseorang, dengan jalan memproyeksikan diri sebagai homoseks. Ketiga, symbolic, homoseksual sebagai ungkapan konsep-konsep ideologis yang berhubungan erat dengan gagasan seseorang mengenai ‘’kedirian’’, jaringan sosial dan kelompok referensinya.[4]

    Berdasarkan pembagian homoseksual di atas, kita memahami bahwa homoseksual adalah suatu ‘’realitas terberi’’. Manusia secara personal tidak pernah menghendaki kehadirannya di dunia dalam tempat dan waktu tertentu. Dalam term filosofis disebut faktisitas, artinya kenyataan bahwa manusia hadir di dunia tanpa sepengetahuannya. Manusia baru menyadari kehadirannya setelah ia ada di dunia.

    Martin Heidegger, filsuf kenamaan Jerman dalam bukunya berjudul Sein und Zeit (ada dan waktu) menyebut kenyataan tersebut sebagai ‘keterlemparan’ (gowerfenheit).[5] Hal yang sama juga berlalu untuk kaum homoseksual. Setiap manusia tidak memiliki otoritas untuk memutuskan apakah dirinya akan dilahirkan dengan membawa kecenderungan kea rah homoseksual atau heteroseksual. Realitas itu terjadi begitu saja secara alami sebagai pemberian dari Allah. Berhadapan dengan pemberian semacam ini, manusia hanya bisa menerima tanpa mampu memilih.

    Banyak orang menjadi gay atau lesbian bukan karena memilih untuk menjadi seperti itu, tetapi mereka menemukan dirinya sudah seperti itu adanya. Orientasi seksual mereka harus dibedakan dengan perilaku seksualnya. Dengan keberadaannya, mereka memiliki kebebasan untuk mendefinisikan diri dan memilih ungkapan orientasi seksual mereka. Tiap orang mempunyai kebebasan untuk menentukan pilihan perilakunya dan cara hidupnya.

    Mereka juga mempunyai keinginan untuk mengungkapkan cinta kasih melalui relasi monogamis. Hubungan seperti ini tidak hanya sebatas pada kaum heteroseksual, sebab berbagi kasih dalam hubungan eksklusif adalah kebutuhan dasar manusia. Seorang gay atau lesbian juga memiliki keinginan untuk mempunyai hubungan cinta kasih mendalam, keinginan untuk membangun sebuah keluarga, tetapi keinginan itu hanya dapat dipenuhi dengan pasangan sejenisnya. Orientasi seksual seperti ini bukan semata-mata keputusan berdasar pilihan, melainkan sudah seperti itu adanya.[6]

    Menalar Sikap Gereja Terhadap Homoseksual  

    B.S. Mardiatmadja dalam bukunya Eklesiologi Makna dan Sejarahnya menyebutkan bahwa kata gereja berasal dari bahasa Portugis (igreja), berkaitan dengan bahasa Spanyol (iglesia), bahasa Latin (ecclesia) serta bahasa Yunani (ekklesia). Kata ekklesia ini mempunyai arti sidang, perkumpulan, perhimpunan dan paguyuban.[7] Mardiatmadja mengartikan ekklesia sebagai paguyuban orang beriman atau peristiwa berkumpulnya orang beriman kepada Allah dalam Yesus Kristus.[8]

    Penulis melihat bahwa konsep gereja merujuk pada pengertian sebuah tempat dimana orang beriman berkumpul. Dari penjelasan para teolog, penulis belum pernah menemukan pendefinisian gereja berdasarkan gender atau orientasi seksual tertentu. Gereja terdiri dari pluralitas suku, etnis dan status sosial. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah mengapa keragaman orientasi seksual tidak dapat diterima dalam gereja?

    Dalam bulan Mei 1972, Majalah New York Times menurunkan tukar-menukar pandangan mengenai apa yang terjadi di dalam Gereja Katolik di Amerika Serikat. Majalah itu memuat penilaian seorang teolog Italia, Battista Mondin, yang kurang lebih mengatakan bahwa Gereja di Amerika sedang mengalami keruntuhan. Dua hari kemudian majalah yang sama memuat satu surat pembaca.

    Penulis surat itu mengakui, ’’benar bahwa Gereja tradisional sedang sekarat.” Tetapi kemudian menambahkan, ”hal yang dinyatakan itu merupakan bencana hanya bagi mereka yang sekian terpaku pada paham konservatif dan pada paham otoritas, sampai mereka, karena Hukum Kanon, tidak dapat memahami arti injil Kristus.[9] Diskusi semacam ini terus berlangsung di mana-mana sampai sekarang. Orang-orang Kristen tidak sepakat tentang ukuran kemajuan atau kemunduran Gereja, karena mereka memiliki visi yang berbeda sama sekali tentang Gereja. Mereka tidak sepakat tentang apa sebenarnya Gereja itu.

    Semua itu tidak berarti bahwa keterlibatan umat beriman yang membentuk Gereja tidak ada ciri khasnya. Dalam usaha mereka menegakkan keadilan, umat beriman seharusnya selalu terdorong oleh teladan Yesus yang mempertaruhkan segala sesuatu dan bahkan diriNya sendiri demi pembebasan manusia. Suatu motivasi yang luar biasa untuk membuka diri bagi penderitaan dan harapan sesama manusia, sebab itulah jalan untuk mengikuti Dia.

    Orang beriman seharusnya selalu mengarahkan diri pada ajakan-ajakan dan patokan yang terdapat dalam Injil, yang mendorong sekaligus mempertanyakan usaha kita, juga dalam rangka penegakan keadilan. Injil memang tidak menawarkan pemecahan semua masalah pribadi dan sosial kita. Pemecahan itu perlu kita cari dan perjuangkan sendiri dengan susah payah dan dengan menanggung risiko kekeliruan dan kegagalan. Namun demikian, inspirasi dan pengarahan mendasar yang kita peroleh dalam injil bukan embel-embel, yang ada tidaknya sama saja, melainkan sangat bermanfaat dan semestinya mewarnai seluruh perjuangan kita. [10]

    Hal yang sama kita alami ketika berbicara tentang kaum homoseksual. Kita tidak memiliki ukuran yang sama untuk menilai kelompok ini. Referensi utama ketika berbicara tentang homoseksual selalu terarah kepada Kitab Suci. Akan tetapi, Kitab suci hanya memberikan fragmen-fragmen kecil yang mengarah ke homoseksual. Berhadapan dengan homoseksual ini, Gereja perlu membuka diri untuk mencari suatu model refleksi yang ramah terhadap kaum homoseksual. Hal ini penting sebabhomoseksualitas adalah suatu realitas. Kaum homoseksual ada di sekitar kita dan mereka adalah warga gereja.

    Gereja perlu membangun suatu pengakuan akan keberbedaan dari kaum homoseksual. Pengakuan ini tidak mau menciptakan kembali ruang yang buta terhadap keunikan masing-masing manusia. Pengakuan bertujuan menjaga dan merawat kekhasan setiap manusia sebagai sesama ciptaan Tuhan. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang tentatif tetapi menjadi suatu keharusan yang berlangsung secara terus-menerus.

    Gereja perlu menyadari bahwa homoseksualitas tidak dapat dipahami lagi sebagai bentuk penyimpangan orientasi seksual, melainkan harus dipahami sebagai bagian dari identitas diri. Namun, hal ini bukan berarti bahwa tindakan dan perilaku homoseksual bisa dibenarkan. Praktik homoseksual tetaplah menjadi praktik yang tidak dapat dibenarkan, tetapi terhadap pelaku homoseksual sikap yang harus dikembangkan adalah bukan menolak namun menerima mereka dalam kehidupan bersama di masyarakat.

    Kaum homoseksual di berbagai negara biasanya mengibarkan bendera pelangi. Pelangi memiliki aneka warga. Masing-masing warna merupakan representasi dari variasi orientasi seksual. Gereja hadir dengan pencampuran berbagai warna yang tidak berdiri sendiri-sendiri. Masing-masing warna bercampur menjadi suatu kesatuan.

    Desmond Tutu dalam tulisannya Teologi Pelangi menuliskan bahwa teologi relasi sejenis meletakkan diskusi dalam bingkai membela kemanusiaan dari ancaman dehumanisasi. Teologi kemanusiaan atau relasi kasih menolak diskriminasi terhadap subjek relasi sejenis. Dalam Kitab Suci dan tradisi, Allah mencintai manusia tanpa bertanya lebih dahulu mengenai orientasi seksualnya. Teologi Pelangi mengikhtiarkan subjek relasi sejenis keluar dari ruang gelap dehumanisasi dan menemukan terang keselamatan.[11]

    Gagasan Desmond Tutu ini menginspirasi gereja untuk menghormati dan menghargai keberagaman orientasi gender. Gereja sebagai sebuah institusi perlu menghindari dehumanisasi terhadap kaum homoseksual. Gereja hadir dalam konteks yang terus menerus berubah. Gambaran gereja tidak melalu dipandang buruk. Gambaran gereja sebagai sebuah institusi akan dipandang buruk ketika institusi menghambat gereja untuk terus menerus memperbarui dirinya.

    Sebagai institusi, gereja harus mempertimbangkan bahwa gereja juga terdiri dari orang-orang yang disebut umat. Gereja sudah seharusnya merekonstruksi makna dan hakekatnya. Gereja bukan hanya milik sebagian orang yang terlibat di dalamnya, tetapi milik semua umat termasuk yang memiliki orientasi seksual yang berbeda dari umat pada umumnya.

    Dalam konteks ini, gereja perlu merekonstruksi hakekatnya. Gereja perlu melakukan reformasi internal dalam semangat ecclesia reformata semper reformanda, yang berarti gereja mau terus-menerus diperbarui. Konteks di sekeliling gereja akan terus berubah. Dalam perspektif eklesiologi kontekstual, gambaran gereja tidak lagi monokultur, melainkan multikultur.[12] Kultur yang dimaksud di sini tidak terbatas pada etnis atau ras. Kultur sebagai representasi dari kepelbagaian.

    Menggereja itu sendiri merupakan persekutuan paguyuban-paguyuban. Menurut Pattipeilohy, pembangunan umat adalah refleksi teologis yang akomodatif dalam mempertimbangkan pemberian ruang gerak yang nyaman dan leluasa bagi penghayatan umat. Inilah pembelokan eklesiologis dari tekanan pada jabatan gerejawi kepada umat dan karunia-karunianya.

    Walaupun demikian, pengakuan terhadap kaum homoseksual dengan kepelbagian ciri khasnya tidak menghilangkan sesuatu yang khas dalam teologi Katolik. Gereja melalui Seri Dokumen Gerejawi tentang homoseksualtas telah memberikan suatu pertimbangan yang bijaksana bahwa gereja perlu menghormati kaum homoseksual, tetapi bukan melegalkan perkawinan sesama jenis. Gereja menghormati manusia yang homoseksual dan bukan melegalkan tindakan pernikahan sesama jenis.

    Gereja mengajarkan bahwa hormat bagi orang-orang homoseksual dengan cara apapun tidak dapat mengarah ke persetujuan perilaku homoseksual atau pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual. Kesejahteraan umum menuntut agar hukum-hukum mengakui, mempromosikan dan melindungi perkawinan sebagai dasar hidup berkeluarga, unit masyarakat yang utama.

    Pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual dan menempatkan mereka pada tingkat yang sama dengan perkawinan akan berarti tidak hanya persetujuan atas perilaku yang menyimpang, dengan konsekuensi membuatnya menjadi suatu model dalam masyarakat masa kini, melainkan juga akan menggelapkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam harta warisan bersama umat manusia. Gereja tidak dapat gagal mempertahankan nilai-nilai ini, bagi kepentingan laki-laki dan perempuan-perempuan dan bagi kepentingan masyarakat itu sendiri.[13]

    Dengan demikian, Gereja taat kepada Tuhan yang mendirikannya dan memberinya hidup sakramental, merayakan rencana ilahi kesatuan laki-laki dan perempuan yang saling mencinta dan memberi hidup dalam sakramen perkawinan. Hanya di dalam hubungan perkawinan, penggunaan kemampuan seksual mendapatkan pembenaran moralnya. Maka seorang pribadi yang melaksanakan perilaku homoseksual bertindak secara tidak bermoral. Memilih orang dari jenis kelamin yang sama untuk kegiatan seksual berarti menggagalkan simbolisme dan makna, untuk tidak menyebut tujuan, rancangan seksual Sang Pencipta.

    Aktivitas homoseksual bukan persatuan komplementer, yang mampu meneruskan hidup; maka menghalangi panggilan kepada suatu hidup dalam bentuk pemberian diri yang menurut Injil adalah hakikat kehidupan kristiani. Hal ini tidak berarti bahwa orang-orang homoseksual tidak murah hati dan memberikan diri; tetapi kalau mereka melakukan tindakan homoseksual mereka meneguhkan di dalam diri mereka suatu kecenderungan seksual yang buruk yang pada hakikatnya memanjakan diri.[14]

    Homoseksual menjadi topik perdebatan yang cukup panas dalam gereja Katolik. Pihak yang menolak kaum homoseksual mendasarkan argumentasi pada Kitab Suci. Sebaliknya, pihak yang mendukung homoseksual menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Kaum homoseksual mendukung agar gereja perlu memperbarui diri dengan menerima kepelbagaian orientasi seksual sebab Tuhan tidak pernah menerima umat berdasarkan suku, ras, warna kulit, pendidikan dan orentasi seksual. Gereja diminta untuk menolak tindakan dehumanisasi terhadap kaum homoseksual. Sebagai sebuah perkumpulan umat, gereja mendukung dan menghormati keberadaaan mereka.

    Walaupun demikian, gereja tetap pada pendiriaan bahwa gereja menghormati kaum homoseksual sebagai manusia. Gereja menghargai mereka sebagai umat dan manusia dan tidak melegalkan perkawinan sesama jenis. Sebab sejak awal penciptaan, tujuan utama hidup pasangan suami-istri adalah prokreasi. Gereja mengajarkan bahwa hormat bagi orang-orang homoseksual dengan cara apapun tidak dapat mengarah ke persetujuan perilaku homoseksual atau pengakuan legal hidup bersama orang-orang homoseksual.

    Daftar Referensi


    [1] Avesina Wesda, ‘’32 Negara Melegalkan LGBT dan Pernikahan Sesama Jenis’’, Era.id, edisi 25 Agustus 2022, https://era.id/internasional/101967/32-negara-yang-melegalkan-lgbt-dan-pernikahan-sejenis– diakses 3 Desember 2022.

    [2] Simanjuntak, F., Duha, P. M. S., & Sanjaya, Peranan Orangtua dalam Mengantisipasi Perilaku LGBT di Kalangan Remaja Kristen Kota Batam. Real Didache, 4(1), hlm. 3, 2019.

    [3] Preston M. Sprinkle, People to be Loved: Why Homosexuality is Not Just an Issue (Grand Rapids: Zondervan, 2015), hlm. 1.

    [4] Gregory Herek, ‘’Beyond Homophobia: A Social Psychological Perspective on Attitude Toward Lesbian and Gay Men’’, Journal of Homosexsuality, Vol. 10, Issue 1-2, 1984.

    [5] Fr. Fransiskus Nong Budi, C. P. “You’ll Never Walk Alone (Kamu Tak Akan Pernah Berjalan Sendiri)”, dalam KANA No. 02 Tahun XII April-Mei-Juni 2017, hlm. 6.

    [6] Bambang Subandrijo, ‘’Bagaimana (seharusnya) Sikap Gereja terhadap LGBT’’, dalam Stephen Suleeeman dan Amadeo D. Udampoh, Siapakah Sesamaku? Pergumulan Teologi dengan Isu-isu Keadilan Gender (Jakarta: Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, 2019), hlm. 43.

    [7] B.S.Mardiatmadja, Eklesiologi, Makna dan Sejarahnya (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hlm. 13.

    [8] Ibid.

    [9] Avery Dulles, S.J, Model-Model Gereja (Ende: Nusa Indah, 1990), hlm.16,

    [10] Dr. J. Muller, SJ, “Pewartaan Injil dan Penegakan Keadilan – Tugas Perutusan Gereja di Tengah Masalah-Masalah Sosial’’, dalam Eduard R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 51.

    [11]Desmond Tutu, Teologi Pelangi – Relasi Sejenis, Dosa Sodom dan Sabda Vatikan, dalam Mutiara Andalas (Ed.), Lahir dari Rahim (Yogyakarta: Kanisius, 2009).

    [12] Stella Yessy Exlentya Pattipeilohy, “Merawat Kehidupan – Sebuah Eklesiologi dalam Krisis”, dalam Josef M.N.Hehanusa dan John C. Simon (Ed), Gerrit Singgih dalam Pergulatan Gereja dan Masyarakat (Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2015), hlm. 141.

    [13] Departemen Dokumentasi dan Penerangan Konferensi Waligereja Indonesia, Seri Dokumen Gereja No 69, Homoseksualitas, 29 Desember 1975, hlm. 11.

    [14] Ibid., hlm. 25.

  • Apakah Gereja Seharusnya Berpolitik?

    Apakah Gereja Seharusnya Berpolitik?

    Indodian.com – Sebuah pertanyaan yang sering diajukan banyak orang adalah dapatkah Gereja berpolitik? Atau mengapa Gereja mesti terlibat dalam urusan sosial, ekonomi dan politik dunia? Tanpa berpikir panjang, banyak orang dewasa ini, baik orang Kristen, rohaniwan-rohaniwati maupun umat awam Katolik sendiri dengan cepat menjawab “tidak”.

    Alasannya adalah bahwa Gereja tidak bersifat politik dan karena itu tidak bisa terlibat dalam urusan-urusan sosial, ekonomi dan politik. Mereka berpendapat bahwa ada pemisahan antara agama dan negara atau antara Gereja dan politik. Gereja dipanggil hanya untuk mengurus hal-hal rohani, sedangkan masalah sosial, ekonomi, dan politik adalah ranah pemerintah negara.  

    Atas dasar ini, mereka menyerukan agar Gereja berhenti mencampuri kebijakan publik negara khususnya yang berkaitan dengan industri pertambangan dan masalah ketidakadilan, meskipun fakta menunjukkan bahwa proyek ini dioperasikan dengan menghancurkan sumber-sumber hidup – tanah pertanian, hutan dan sungai– secara masif dan permanen, serta penuh dengan mafia penipuan dan ketidakjujuran.1

    Pemerintah daerah Flores bersikeras bahwa Gereja, khususnya hirarkinya – para uskup dan pastor dan biarawan-biarawati – mesti hanya mengurusi bidang yang menjadi wewenangnya yaitu hal rohani. Gereja hanya membantu umat Kristen untuk masuk surga dengan mengajarkan mereka berdoa dan melayani sakramen-sakramen suci.

    Tuduhan dan pandangan semacam ini, tentu saja, bukan hal unik dialami oleh Gereja di Flores. Hal yang sama merupakan tantangan umum yang dihadapi oleh Gereja di mana saja di dunia sehubungan dengan misi kenabiannya untuk berdiri di pihak orang miskin yang hak hidupnya dirampas dan menjaga keutuhan alam ciptaan. Sekadar untuk menyebutkan sebuah contoh lain, ketika teologi pembebasan lahir di Amerika Latin pada tahun 1970-an, Gereja di sana juga menghadapi kesulitan yang sama seperti diceriterakan Leo Boff dalam bukunya  Church,Charism, and Power: Liberation Theology and the Institutional Church.2

    Leo Boff berpendapat  bahwa  dari kodrat pelayanannya Gereja bersifat politik. Berhadapan dengan fakta ketidakadilan sosial, Gereja mesti bersifat politis dan tidak bisa apolitis. Seperti Leo Boff, Antonio Egiguren OFM, dalam sebuah tulisan yang diterbitkan SEDOS November 2012, juga mengatakan: “Apa yang membuat Gereja menjadi sebuah lembaga non-kredibel adalah keterlibatannya dalam politik dan keberpihakannya dengan kekuasaan … [Tapi kebenarannya adalah bahwa] Gereja perlu berpolitik, memihak orang miskin dengan tujuan untuk membangun sebuah masyarakat yang lebih baik.”3  

    Tapi pertanyaannya, bagaimana dimensi politik dari pelayanan Gereja ini harus dipahami dalam kerangka iman Kristen? Mengapa Gereja harus berpolitik atau bersifat politik? Mendiang Uskup Romero, pahlawan orang-orang miskin yang haknya dicabik pemerintah negara El Salvador hingga tahun 1970-an, memberikan salah satu jawabannya.

    Berdasarkan pada pengalamannya tentang bagaimana menjelmakan Gereja dalam kehidupan orang miskin dan dengan gigih membela orang miskin yang ditindas oleh struktur ekonomi dan politik yang tidak adil di El Salvador hingga tahun 1980-an, Uskup Romero mengatakan bahwa keyakinan iman dan transendensi nilai-nilai Injil adalah kekuatan yang membimbing dan menopang Gereja untuk berdiri tegak dan terlibat dalam persoalan-persoalan ini. Romero menunjukkan tiga aspek fundamental iman Kristen untuk berinkarnasi di dunia sosial-politik  dan ekonomi, yaitu kesadaran baru tentang dosa, kelanjutan dari inkarnasi kasih Allah Yesus Kristus, dan sebuah iman yang lebih dalam akan Allah.

    Laman: 1 2 3