Setelah malam itu, Maria menghabiskan hari-harinya di ladang menemani sawah yang gersang dan padi-padi yang kering. Ia tidak pernah pulang ke rumah.
Hari-harinya adalah penantian untuk hujan. Ia berharap hujan tiba-tiba datang seperti kesedihan yang ia alami malam itu. Tapi tak pernah sama sekali. Hujan seperti manusia yang tak kenal sedih, tak kenal air mata. Dan ia lelah meratap, memohon-mohon.
Entah apa yang merasukinya, sore hari, setelah dua minggu lamanya di ladang, Maria menyeret kakinya pulang ke rumahnya di kampung. Tubuhnya kian ringkih, kian sepuh. Rambutnya kering tak terurus. Pakaiannya kumal, kotor.
Tingkah Maria mulai aneh. Mondar-mandir tak tentu di halaman rumahnya, menenteng sampah-sampah plastik di jalanan, komat-kamit disusul senyum-senyum dan gelak tawa. Lebih parah, ketika melihat pepohonan mengering, ia meratap tak sudah-sudah sambil berteriak-teriak tapi kata-katanya tak jelas.
Orang-orang kampung bingung. Anak-anak takut dan berhamburan. Beberapa di antaranya memilih mengganggu dan melemparinya dengan botol plastik. Maria akan menunjuk-nunjuk dengan tangan, mengumpat-umpat, dan anak-anak berhamburan saling tabrak. Mereka tergelak-gelak sambil berlari ke mana saja untuk menghindar kalau-kalau Maria membalas lemparan dengan batu atau apa saja.
Maria bertingkah makin aneh dari hari ke hari. Suatu sore, ia memegang sebilah parang karat yang ia dapat dari gundukan sampah di tepi kali kering.
Beberapa orang kampung yang hendak membuang sampah di tepi kali itu berhamburan ketika Maria datang dari arah berlawanan sambil mengacungkan parang ke udara.
Maria mengancam-ancam dengan kata-kata tak jelas. Bila ditafsir bisa jadi begini, ”Jangan buang sampah sembarangan. Pergi. Manusia-manusia keparat. Perusak lingkungan. Gara-gara ulahmu, hujan tak pernah kunjung datang. Pergi!!!”
Orang-orang kampung resah. Anak-anak lebih takut. Bapak-bapak geram. Pertemuan singkat digelar sore itu. Darmanto, Tua Golo1 beruban, memimpin pertemuan itu.
Orang-orang kampung tumpah ruah memenuhi rumah adat. Anak-anak tak ingin menjauhi orang tuanya. Ibu-ibu duduk di halaman, di atas bebatuan dan tak habis-habis menggerutu tingkah Maria. Di dalam sana, bapak-bapak geram dan begitu serius. Pertemuan itu memutuskan, Maria harus ditangkap dan dipasung. Orang-orang kampung yang pernah dikejar Maria karena membuang sampah bergegas usai Tua Golo Darmanto menutup pertemuan itu. Di ufuk barat, matahari belum sepenuhnya rubuh. Hari itu, November hampir usai. Di dalam rumahnya, Maria menyumpah-nyumpah tabiat orang-orang kampung yang merusak lingkungan. Sementara di luar, orang-orang kampung bergerak pelan-pelan. Tua Golo Darmanto berada di depan, memimpin kelompok itu. Mereka merangsek dan mengepung rumah Maria. Setelah memperbaiki songke di kepalanya, Tua Golo Darmanto menunjuk beberapa orang untuk mendobrak pintu dan menangkap Maria.
Majulah dua bapak berbadan kekar. Pintu ditendang dengan keras dan orang-orang kampung menyerbu masuk. Maria kaget tetapi tak mampu menampik banyak tangan yang mengerubunginya. Ia berteriak-teriak, tapi orang kampung lebih kuat. Orang-orang kampung memegang kaki dan tangannya seperti memegang seekor babi yang hendak dibantai.
Peralatan pasung yang telah mereka siapkan diatur dan kaki Maria dipasung hari itu juga. Maria berteriak-teriak menyumpah-nyumpah, tapi sia-sia. Suaranya melemah dan air matanya jatuh. Saat itu, ia ingat air mata yang sama yang pernah jatuh pada malam ia menyalahkan Tuhan. Orang-orang kampung meninggalkannya satu demi satu. Anak-anak berlarian tanpa lagi takut. Maria tak lagi berteriak-teriak. Ia menunduk seperti menyembah pasung itu. Air matanya telah kering. Suaranya lebih parau. “Tuhan menutup telinga untuk doa-doaku.” Ia menangis, tapi mata itu kehabisan air.
Di luar malam jatuh, begitu gelap disusul rintik-rintik hujan, semakin menggemuruh, membesar, menderu-deru mengahajar atap-atap rumah. Dan Maria masih tunduk menyembah pasung. Dalam hati Maria berbisik, Tuhan tidak adil. Saat diriku dikepung oleh warga kampung lalu dipasung, Tuhan baru menurunkan hujan.
*Tua Golo artinya kepala suku dalam budaya Manggarai .
*Riko Raden, tinggal di Unit Fransiskus Xaverius Ledalero. Cerpen ini pernah dibukukan dalam antologi Cerpen “Nadus dan Tujuh Belas Pasung”.
Halaman : 1 2