Begitu Martin da Silva membukakan pintu, Ephy panik dan menyesal telah mengetuk pintu kamar tetangganya itu. Enu Sinta duduk di kursi kayu dekat jendela, mengenakan kaos oblong merah marun dengan gambar salib berwarna putih di bagian dada. Kendati agak jengkel karena diganggu oleh ketukan pintu itu, Enu Sinta tetap menyambut Ephy dengan senyum yang renyah. Ketika perempuan itu tersenyum, Ephy membuang muka dan pura-pura melihat lemari buku yang menjulang tinggi di belakang Martin. Ephy merasa sesuatu bergemuruh dalam dadanya. Gemuruh api cemburu.
“Masuk saja teman,” Martin mempersilahkan Ephy masuk dan menyodorkan sebuah kursi kayu pada temannya itu.
“Tidak apa-apa ka?”
“Sama sekali tidak.”
Angin sepoi-sepoi menghembus dari jendela, meniup-niup rambut rebonding Enu Sinta dan sedikit menyejukkan kamar kos berukuran tiga kali empat meter itu. Keempat dinding kamar itu dicat biru langit untuk memberi efek teduh di tengah kegerahan yang diakibatkan oleh cuaca panas Kota Maumere. Sebuah lampu Philips tiga jari tergantung tepat di tengah langit-langit kamar yang terbuat dari tripleks dan dilapisi kertas ariston biru.
Rupanya Martin terobsesi pada warna biru, karena selain dinding dan langit-langit, ia juga melapisi lantai kamarnya dengan karpet murahan yang juga berwarna biru. Martin beranggapan kalau biru itu selalu teduh kendati ia senantiasa merasa kepanasan ketika berada di dalam kamar yang serba biru tersebut.
Baca Juga : Merawat Simpul Empati
Baca Juga : Pengorbanan Melahirkan Kehidupan
Selain tiga buah kursi kayu, sebuah meja belajar dan lemari buku yang tingginya hampir menyentuh langit-langit, di dalam kamar itu terdapat tempat tidur dari besi dengan segala perlengkapannya, lemari pakayan, kipas angin, rak sepatu, speaker active, dispenser, galon air dan beberapa perlengkapan makan.
Ketika mengangkat muka setelah menyisipkan rambutnya ke belakang telinga, Enu Sinta menyadari kalau dari tadi Ephy memandangi dia dengan tatapan yang tak tertebak. Menyadari dirinya tertangkap basah, Ephy pura-pura membungkukkan badan, tersenyum dan bertanya apakah Enu Sinta sudah berada di kamar itu sedari tadi. Enu Sinta menjawab kalau ia sudah berada di sana dari jam tujuh pagi dan sekarang jam sebelas siang.
“Hampir empat jam, ya?”
“Hehehe iya Kaka,”
“Martin!” Ephy dan Martin duduk berhadap-hadapan dan di depan mereka terdapat meja belajar dengan laptop menyala di atasnya. Ephy menendang kaki kanan temannya itu untuk mengingatkan dia bahwa di tengah-tengah mereka ada tamu dan tidak baik bila tuan kamar terlalu banyak menyibukkan diri dengan laptop yang menyala. Enu Sinta melihat adegan konyol itu, tapi ia pura-pura menarik ulur beranda hapenya.
“Hmmm.” Martin menanggapi Ephy dengan enggan.
“Lu ni karmana? Maytua ada datang, lu sonde suguhkan kopi ni?”
“Ada sedikit kopi di dekat dispenser. Tapi listrik padam. Bantu beta jerang air di dapur,”
“Het o ina inan, bisa suruh kita ni,”
“Hahaha pergi sudah, teman.”
Ketika Ephy pergi ke dapur dan menutup pintu kamar dari luar, Martin da Silva bangkit dari kursinya di balik meja dan sejurus kemudian duduk di sisi tempat tidur, berhadap-hadapan dengan Enu Sinta. Dalam waktu kurang dari lima detik, Martin telah mendaratkan bibirnya pada kedua bilah bibir Enu Sinta yang ranum. Mereka melanjutkan ciuman panas yang sempat terjedah karena kedatangan Ephy beberapa menit lalu.
Martin da Silva berkenalan dengan Enu Sinta sekitar setahun yang lalu dalam acara mamiri bersama setelah pertandingan persahabatan bola kaki antara Persewa dan Markotala. Martin adalah playmaker Persewa dan dalam pertandingan sore itu ia berhasil menyihir penonton dengan dua gol dan tiga assist untuk kemenangan lima nol Persewa. Markotala bukan sebuah klub sepak bola, melainkan sekumpulan mahasiswa pencinta alam yang hobi bermain bola kaki. Enu Sinta tergabung dalam kelompok pencinta alam ini.
Setelah pertandingan, Enu Sinta mendekati Martin, berkenalan, mengucapkan profisiat atas kemenangan Persewa dan bercengkrama sepanjang acara mamiri berlangsung. Sesaat sebelum acara itu selesai, mereka bertukaran nomor whatsapp dan berpacaran sebulan kemudian.
Selain kepiawaian mengolah kulit bundar di lapangan hijau, Martin da Silva juga cukup pandai memikat hati perempuan. Bermodalkan postur tubuh yang atletis dan kulit hitam manis khas Flores bagian tengah, Martin dijuluki si lima menit oleh teman-teman kosnya. Martin hanya membutuhkan waktu lima menit untuk menggaet begitu banyak hati wanita. Jelas ini sebuah kebohongan, tetapi teman-temannya percaya bahwa kebohongan itu benar.
Akan tetapi filosofi lima menit Martin tidak berlaku pada Enu Sinta. Martin membutuhkan waktu lebih dari sembilan puluh menit berkeringat di lapangan hijau untuk berhasil menarik perhatian Enu Sinta. Enu Sinta yang saat itu sedang patah hati ditinggal pergi oleh kekasih yang telah memacarinya selama dua tahun, ingin menjadikan Martin sebagai pelarian, sebab dia percaya obat terbaik untuk patah hati ialah jatuh cinta lagi.
Begitulah, Martin dan Enu Sinta mulai berpacaran dan hari itu, hari ketika Ephy tiba-tiba mengetuk pintu dan membuat keduanya terpaksa berhenti berciuman adalah hari ulang tahun pertama mereka berpacaran. Anniversary, mereka bilang.
Baik Enu Sinta maupun Martin sangat jengkel ketika mendengar ketukan di pintu itu, tetapi Martin tidak bisa begitu saja memarahi Ephy karena anak itu lebih dari sekedar teman kos dan tetangga kamar. Keduanya sudah menghuni kos-kosan itu sejak empat tahun lalu dan kehadiran Ephy membuat Martin percaya bahwa tetangga terdekat lebih penting ketimbang saudara yang jauh.
Ephy berasal dari Timor bagian tengah. Empat tahun lalu Ephy datang ke Flores untuk kuliah, sebagai seorang mahasiswa baru yang masih bau kencur. Awalnya Ephy menutup rapat kenyataan bahwa ia adalah seorang homoseks, tetapi karena lingkungan sekitar rupanya sangat terbuka terhadap kehadiran orang-orang seperti dia, Ephy mulai membuka diri dan tidak malu mengakui bahwa orientasi seksualnya berbeda dari sebagian besar teman-teman kosnya.
Selain homoseks, Ephy juga seorang banci. Ia selalu merasa diri seorang perempuan dan karena itu ia amat membenci segala sesuatu yang berbau laki-laki di tubuhnya. Warna suara, kumis, janggut, bulu kaki, buah pelir dan penis yang tumbuh di antara kedua pahanya. Ia sering membaca berita tentang orang-orang kaya yang mengganti kelamin dan bertekad mengumpulkan sejumlah uang untuk memotong penisnya dan menggantikan benda sialan itu dengan vagina serta menyuntikkan hormon pembesar bokong dan buah dada.
Sebagai seorang laki-laki yang ingin menjadi perempuan, Ephy mempelajari kebiasaan dan sifat-sifat utama perempuan. Mulai dari kehalusan perasaan sampai dengan teknik-teknik dasar merias diri. Mulai dari keanggunan bersikap sampai dengan kehati-hatian dalam menyembunyikan perasaan. Mulai dari kepekaan tingkat tinggi pada situasi sampai dengan keahlian memasak di dapur.
Sifat-sifat itulah yang membuat Ephy marah ketika tahu bahwa Martin tidak menyuguhkan minuman untuk Enu Sinta yang sudah duduk selama empat jam dalam kamar pada hari anniversary pertama mereka. Ketika disuruh membuatkan kopi, dengan senang hati Ephy mengambil kopi dan gula di samping dispenser, membawanya ke dapur dan kemudian menjerang air.
Ephy telah belajar banyak tentang cara terbaik menyeduh kopi dengan takaran yang pas di lidah. Dari temannya yang berasal dari Colol, suatu daerah penghasil kopi terbaik, yang terletak di bagian barat Pulau Flores, Ephy mempelajari takaran yang pas untuk segelas kopi: enam puluh lima persen bubuk kopi dan tiga puluh lima persen gula, enam puluh lima persen pahit, tiga puluh lima persen manis. Itulah segelas Kopi Colol.
Di atas sebuah nampan aluminium Ephy meletakkan tiga gelas Kopi Colol, satu untuk Enu Sinta, satu untuk Martin dan satu untuk dirinya sendiri. Dengan wajah berseri-seri dia memegang nampan aluminium itu dengan tangan kanannya, berjalan menuju kamar kos Martin dan memutar gagang pintu kamar dengan tangan kiri, tanpa mengetuk terlebih dahulu.
Hal pertama yang dilihatnya ialah dua manusia setengah telanjang sedang berciuman dengan begitu bergairah. Rupanya karena keasykan berciuman, Martin dan Enu Sinta tidak menyadari kalau pintu sedang terbuka dan Ephy menyaksikan apa yang sedang terjadi. Akan tetapi karena kaget, Ephy sedikit kehilangan keseimbangan dan nampan aluminium di tangan kanannya jatuh membentur lantai. Gelas pecah, Martin dan Enu Sinta terkejut.
Menyadari apa yang terjadi, Ephy kembali melangkah keluar kamar dan menutup pintu di belakangnya. Cepat-cepat Enu Sinta kembali mengenakan seluruh pakayannya dan menangis sambil menutup muka karena malu. Martin memeluk perempuan itu, mengelus-elus rambutnya dan meyakinkan dia bahwa semuanya akan baik-baik saja.
“Tidak apa-apa. Ephy itu teman baik saya dan dia pasti memahami situasi kita.”
Perempuan itu berdiri dan dalam satu gerakan yang sedemikian cepatnya sebuah tamparan ia layangkan ke pipi kanan Martin. “Pukimai, makanya jadi laki-laki jangan terlalu gatal. Ini akibatnya, kan?”
Ponsel Enu Sinta bergetar, dua kali. Dua buah pesan singkat masuk ke Whatsappnya. Dari Ephy.
Pukul sepuluh malam ketika Martin hendak tidur, ponselnya berdering tanda ada panggilan masuk. Dari Enu Sinta.
“Hallo enu, selamat malam.”
“Selamat malam, kaka.”
“Enu, sepertinya kamu menangis. Ada apa?”
“Kaka, saya takut.”
“Ada apa?”
Hening. Di ujung telepon Enu Sinta menangis ketakutan. Martin bertanya-tanya dalam hati tentang apa yang terjadi dan menduga bahwa ini semua ada kaitannya dengan kejadian memalukan tadi siang.
“Hallo…Enu?”
“Kaka, saya takut.”
“Enuceritakan saja. Ada apa sebenarnya?”
“Tadi siang Kaka Ephy mengirimi saya pesan di WhatsApp.”
“Dia bilang apa?”
“Saya tidak tahu harus mulai dari mana. Tapi saya sudah screenshoot pesan itu dan kirim ke kaka punya WhatsApp.”
“Oke, matikan saja teleponnya dan saya cek saya punya WhatsApp.”
Tanpa menunggu persetujuan Enu Sinta, Martin mematikan sambungan telepon dan sebuah pesan WhatsApp masuk. Pesan dari Enu Sinta itu berupa sebuah tangkapan layar berisi pesan dari Ephy. Pada tangkapan tersebut terdapat gambar sebuah pisau mengkilat yang disertai sebuah kalimat ancaman: Heee perempuan! Sekali lagi lu pung batang hidung muncul di sini, ini piso tenggelam di lu pung batang leher.
Ketika Martin hendak menelepon Enu Sinta untuk menenangkan perempuan itu dengan mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja karena Ephy tidak serius dengan ancaman tersebut, hati nuraninya menyadarkan dia bahwa semuanya sedang tidak baik-baik saja dan ancaman Ephy itu benar adanya.
Martin ingat malam-malam yang telah ia lewati bersama Ephy selama enam bulan terakhir ini. Ephy yang homoseks dan dia sendiri yang suka makan dua. Malam-malam yang indah di mana dua tubuh laki-laki saling menukar kenikmatan. Dua tubuh yang saling menukar kehangatan di tengah derai hujan yang menghantam atap kos-kosan mereka.
Mengingat semua itu, ia tersenyum getir. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dari luar dan Ephy masuk tanpa permisi, seperti malam-malam sebelumnya.
Jam sepuluh malam.
Keterangan:
Enu = Sapaan untuk gadis Manggarai, suatu daerah di ujung barat Pulau Flores.
Lunikarmana? = Engkau ini bagaimana?
Maytua = Pacar (perempuan)
sonde = Tidak
beta = Saya
Het o ina inan = Slang
Mamiri = Makan minum ringan
Lu pung = Engkau punya
Piso = Pisau
Makan dua = Istilah untuk lelaki biseksual
Pukimai = Slang