Indodian.com – Beberapa tahun terakhir ini sejumlah daerah di pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi target pembangunan bisnis dan ruang produksi kapitalis nasional dan trans-nasional. Mereka datang silih berganti untuk merebut ruang hidup masyarakat setempat. Tidak sedikit peneliti, pemerhati sosial, dan media-media massa telah menulis, mengkritisi, serta mengajukan solusi terkait fenomena hak atas ruang hidup, dan kerentanan masyarakat menjadi korban dari akumulasi dan perampasan ruang tersebut. Semakin dikritik dan ditolak oleh masyarakat, perampasan ruang semakin menjadi-jadi dengan permainan bahasa, dan ilusi politik pembangunan.
Kapitalis mengakumulasi hasrat pemerintah lokal dan nasional, serta pemimpin agama setempat, kemudian melakukan aksi perampasan ruang sosialnya. Bentuk-bentuk akumulasi hasrat dan kemudian berdampak pada perampasan ruang sosial tampak dalam proyek geothermal di Wae Sano, Kab. Manggarai Barat, geothermal di kawasan Poco Leok, Kab. Manggarai, geothermal di Mataloko, Kab. Ngada dan beberapa tempat lainnya di Flores.
Akumulasi hasrat dan perampasan ruang sosial dipropaganda oleh obsesi ekonomi kapitalisme neoliberal. Terhadap obesesi kapitalisme neoliberal ini, B. Herry-Priyono dalam bukunya Memburu Manusia Ekonomi, Menggeledah Naluri (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2022) berkomentar: “Presiden boleh ganti tiap tahun, baik lewat proses demokratis, ataupun lewat kudeta…. Namun, yang lolos dari proses demokrasi adalah kinerja akumulasi laba yang bebas keluar masuk tanpa pemungutan suara.”
Oleh karena itu, menurut B. Herry-Priyiono, “setiap wacana demokrasi tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis adalah wacana yang defisit isi.” Demikian juga wacana akumulasi hasrat, dan perampasan ruang sosial tanpa mempersoalkan praktik kekuasaan bisnis, campur tangan pemerintah dan pemimpin agama setempat adalah wacana tanpa substansi dan defisit isi; hanya buih verbal.
Akumulasi Hasrat
Bagaimana kapitalis mengakumulasi hasrat dan kesadaran masyarakat? Hasrat masyarakat mula-mula dipancing dengan pelbagai jenis produk yang diciptakan oleh kapitalis, kemudian kesadaran masyarakat dimanipulasi. Kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh kapitalis itu disiarkan secara meriah oleh iklan.
Bahasa-bahasa iklan selalu menggugah selera dan memantik daya pikat konsumeristik dan hedonistik masyarakat. Masyarakat lalu dikendalikan dan diperbudak oleh bahasa-bahasa iklan. Di sini iklan tidak hanya berfungsi memberi informasi, dan edukasi, tetapi juga manipulasi dan alat kekuasaan. Inilah proses penciptaan masyarakat ketergantungan oleh kapitalis.
Dalam wawancara B. Herry-Priyono (2022) terkait dengan kinerja iklan komersial di Jakarta pada 1998, seorang manager menjelaskan bahwa ada tiga insting manusia yang harus dimainkan agar tetap menjaga keharusan membeli hal yang diiklankan, yakni (1) insting kepemilikan, (2) insting status, dan (3) insting sensualitas-seksualitas. Tentu pada era viralisasi ini, menurut saya, ada dua insting yang juga terus diakumulasi oleh kapitalis, yakni insting flexing dan insting rating.
Sementara itu pengendali bahasa dan iklan duduk manis sambil menyaksikan bagaimana uang mempekerjakan manusia dan kemudian uang itu mendapatkan uang lebih banyak lagi. Iklan mengatur, mengendalikan dan mempermainkan hasrat masyarakat. Sekali lagi iklan adalah alat kontrol, simbol dominasi, dan alat kekuasaan. Di sini kita butuh penalaran Karl Marx, dan David Harvey, seorang Geograf-Marxis dari Inggris, Britania Raya agar tidak terjebak dalam penjelasan tanpa substansi.
Rumus Karl Marx yang disebutnya sebagai sirkuit uang berlaku dalam masyarakat kapitalis: M1-C-M2 (Money1-Comodity-Money2). Seturut kerangka rumus ini, Marx mengatakan kapitalis memulai operasi bisnisnya dengan uang (M1), dan dengan uang ini, ia membeli komoditas (C). Selanjutnya kapitalis menjual komuditas itu agar mendapatkan uang lebih banyak lagi (M2). Menurut Marx, rumus M1-C-M2 membuat uang bertransformasi menjadi kapital dalam relasi sosial (social relations).
David Harvey dalam bukunya The New Imperialism (2003) mengembangkan mode produksi Marx dan membagi praktik sosial-keruangan pada era kontemporer ke dalam tiga sirkuit, yakni primer, sekunder, dan tersier. Bertolak dari Marx, Harvey berargumentasi bahwa persaingan tanpa regulasi antara kapitalis dapat menimbulkan krisis overakumulasi dalam “sirkuit premier” modal (sektor industri) dan penurunan dalam realisasi nilai lebih.
Harvey menyebut “sirkuit kapital” untuk menganalisis dinamika spasio-temporal dengan menelaah secara dekat bagaimana proses produksi ruang terperangkap dalam proses terciptanya krisis di tengah masyarakat.
Harvey menjelaskan sirkuit-sirkuit kapital sebagai berikut: (1) sirkuit primer adalah ranah produksi dan konsumsi langsung; (2) sirkuit sekunder sebagai ranah pembentukan kapital dan konsumsi tetap; dan (3) sirkuit tersier yaitu ranah belanja-belanja sosial, dan riset serta pengembangan. Dalam “sirkuit sekunder”, arus kapital terbagi menjadi kapital tetap untuk produksi (pabrik dan perlengkapan, kapasitas penghasil listrik, jaringan rel kereta api, pelabuhan, dsb.) dan penciptaan anggaran konsumsi (misalnya, perumahan).
Porsi tertentu dari kapital dalam sirkuit sekunder ditanamkan dalam bentuk tanah dan menjadi aset-aset bank yang menempati suatu tempat/lingkungan yang dibangun untuk produksi dan konsumsi (tampak dalam kawasan industri, pelabuhan, bandara, jaringan transportasi dan komunikasi untuk sistem pembuangan limbah dan air, perumahan, rumah sakit, sekolah).
Seperti perputaran sirkuit kapital, hasrat pun tidak pernah berhenti mencari mangsa. Apa yang sedang dimangsanya hanyalah peransang agar ia terus mencari, sebab hasrat pada dasarnya adalah cair dan mudah terprovokasi. Iklan digunakan oleh kapitalis sebagai alat kekuasaan untuk menciptakan produk-produk yang tidak membosankan hasrat masyarakat. Proses akumulasi hasrat masyarakat pun terus dilakukan oleh kapitalis. Di sini kita berutang budi dengan Henri Lefebvre, filsuf Prancis, dan Neo-Marxis, penggagas teori produksi ruang.
Perampasan Ruang Sosial
Dalam bukunya The Production of Space (1991), Henri Lefebvre mengatakan produksi dan reproduksi ruang secara terus-menerus dalam skala global merupakan kunci dari keberhasilan kapitalisme untuk memperpanjang nafasnya. Ruang sosial bukanlah keadaan alami, melainkan diproduksi oleh kekuasaan politis dan penguasa bisnis. Saat ini nyaris tidak ada ruang sosial yang netral, dan bebas kepentingan. Produksi ruang sosial beralih dari kepentingan kemaslahatan bersama menjadi kepentingan monopoli kapitalis semata. Ruang sosial direduksi menjadi komoditas ekonomi.
Komoditas diproduksi dan direkonstruksi secara industrial demi perkembangan kepentingan monopoli dan peningkatan nilai surplus kapital. Kapital bukan soal bahan mentah, dan uang, tetapi juga tenaga kerja manusia, manusia, dan jasanya. Produksi ruang sosial berorientasi pada kepentingan monopoli. Dari sini timbullah pemaknaan, dan akumulasi pemanfaatan ruang sosial menurut kekuatan-kekuatan kapital, alat produksi, dan faktor-faktor produksi dalam masyarakat.
Kapitalis selain menguasai dan mengendali ruang, mereka juga menciptakan dan mengonstruksi masyarakat agar sesuai dengan laju perkembangan dan produktivitas ekonomi. Masyarakat yang berada di dalam ruang yang diciptakan kapitalis itu kemudian dikendalikan dan dibuat sedemikian mungkin agar dapat meningkatkan nilai surplus. Masyarakat hidup—dan agar hidup tetap langgeng—harus bertekuk lutut di bawah kuasa-kendali kapitalis, sebab di luar kuasa-kendali seolah-olah tidak ruang kehidupan. Ruang sosial diubah menjadi ruang bisnis ekonomi.
Selanjutnya kapitalis menciptakan kebutuhan-kebutahan bagi masyarakat yang berada di bawah kerangkeng ruang yang sengaja diciptakan oleh kapitalis sendiri. Kebutuhan-kebutuhan itu sebenarnya tidak perlu oleh masyarakat, tetapi karena di luar kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan itu tidak ada kemungkinan untuk bertahan hidup, masyarakat mau tidak mau harus membeli dan mengonsumsinya.
Semakin banyak produk kapitalis yang sebenarnya tidak kita butuhkan berputar di tengah-tengah hasrat kita, semakin banyaklah sampah di planet dan di dalam diri kita. Sampah-sampah itu nantinya akan meracuni dan membunuh kita.
Merebut Kembali Ruang Sosialis
Obsesi pengejaran uang dan penimbunan harta tanpa batas dijadikan sebagai alat akumulasi kapital, tanpa mempertimbangkan kebutuhan masyarakat akan ruang hidup. Penataan ruang hidup merupakan penataan kekuasaan kapitalis yang berpotensi menyingkirkan masyarakat yang tidak bermodal. Akibatnya masyarakat yang tidak bermodal harus mencari ruang baru dan memulai hidup baru di ruang baru itu.
Sementara itu ongkos hidup di ruang baru tidaklah murah. Tetapi ada kewaspadaan lain setelah masyarakat yang tidak bermodal membangun hidup baru di ruang baru yakni kapitalis yang mula-mula datang menawarkan produk baru, tetapi kemudian mengakumulasi ruang sosial itu.
Kapitalis akan menjarah dan mengonstruksi ruang sosial itu. Kapitalis menciptakan kebutuhan-kebutuhan abstrak, atau kebutuhan-kebutuhan palsu, atau keomongkosongan kebutuhan-kebutuhan bagi masyarakat.
Seolah-olah masyarakat sangat membutuhkan dan membeli kebutuhan-kebutuhan yang sengaja diciptakan oleh kapitalis tersebut, sebab di luar kebutuhan-kebutuhan yang sengaja diciptakan itu tidak ada hal yang dapat menjamin keberlangsungan hidupnya. Muncullah kekhawatiran akan kerentanan hidup masyarakakt tak bermodal.
Dalam bukunya The Consequences of Modernity (1990), Anthony Giddens mengatakan kita memasuki ranah ketidakpastian, dan kita sedang dikendalikan oleh truk besar tak terkendali (Juggernaut), yang bernama globalisasi. Kapitalis mempercepat laju truk besar tak terkendali itu, dan tidak membiarkan masyarakat tak bermodal mengendalikannya.
Meskipun demikian kaum kapitalis pun tidak dapat bebas begitu saja dari risiko-risiko. Hal ini yang Ulrich Beck dalam bukunya Risk Society. Towards a New Modernity (1992) sebut sebagai “Efek Bumerang”, yakni efek samping risiko yang diciptakan. Efek samping risiko itu menyerang kembali bahkan di pusat produksi mereka—itu pun kalau ramalan ilmiah Ulrich Beck ini didukung oleh alam semesta, tetapi akan menyengsarakan masyarakat apabila alam semesta tidak mendukungnya.
Sistem ekonomi kapitalisme neoliberal tumbuh subur di negara-negara berkembang, karena masyarakat miskin di dalamnya diciptakan, dikonstruksi, direproduksi, dan direpresentasi sedemikian rupa oleh kapitalis. Tidak ada satu pun ideologi besar yang dapat menghentikan dan menghalangi mesin kendaraan kapitalisme neoliberal ini. Seolah-olah masyarakat yang tidak dapat mengikuti alunan kendaraan kapitalisme neoliberal ini tidak beradab, dan dengan demikian akan mudah tersingkir dari pertarungan pasar bebas tanpa kendali.
Terhadap kinerja pasar bebas ini, B. Herry-Priyono dalam bukunya Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi & Neoliberalisme (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2022) berkomentar: “neoliberalisme menggusur “kesejahteraan bersama” (common wealth) dengan akumulasi “kekayaan individual” (individual wealth).”
Ketika ruang sosial dikendalikan oleh sistem ekonomi pasar bebas maka masyarakat rentan dihantam oleh perlbagai kejutan krisis yang mendaruratkan keberadaannya. Alih-alih memulai hidup baru di ruang baru, masyarakat yang berekonomi lemah lembut akan tetap rentan diakumulasi oleh kekuasaan bisnis. Akibatnya bukan hanya pada ruang ekologis semata yang diakumulasi, tetapi juga suprastruktur dari ruang sosial: kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kebenaran, dan kebebasan.
Persoalan perampasan ruang sosial seperti yang dijelaskan Lefebvre, Harvey, dan Marx meskipun tidak secara eksplisit, dapat teratasi dan lebih humanis, apabila negara, seperti Indonesia, sungguh memanfaatkan ruang sosial demi kemaslahatan bersama sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
Penataan dan pemanfaatan ruang sosial demi kemaslahatan bersama merupakan keharusan. Selain itu proses akumulasi hasrat melalui iklan perlu diatur agar masyarakat tidak mudah terprovokosi. Dan bagi masyarakat sendiri, hendaknya berani mempersoalkan setiap proses akumulasi hasrat dan praktik ruang yang tidak mendatangkan kemaslhatan bersama. Tanpa mempersoalkan realitas yang sedang direkayasa oleh kekuasaan bisnis, masyarakat dan negara membiarkan penguasa bisnis merampas hidupnya.
Dalam hal ini, negara berperan penting untuk mengatur kembali, mengadministrasikan, dan menetapkan hukum yang jelas atas ruang, serta membentuk apa yang disebut oleh Lefebvre “ruang sosialis” (socialist space) tanpa mengangkangi ideal “ruang harapan” (spaces of hope) ala David Harvey.
Ruang harapan adalah ruang perjuangan politis masyarakat, bukan semata-semata ruang yang digunakan oleh kapitalis untuk mengakumulasi hasrat guna memproduksi nilai surplus. Dengan merebut ruang hidup yang telah didominasi kapitalis, masyarakat Flores, NTT, dapat mencapai kembali keadilan, kesetaraan, dan kebebasan emansipatoris.