Indodian.com – Pada Sabtu, 3 Februari 2024, Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero menggelar diskusi politik mahasiswa bertajuk “Dinamika Politik Indonesia dan Kontestasi PILPRES 2024”. Setelah diskusi politik, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) bersama seluruh mahasiswa IFTK Ledalero turut menyampaikan pernyataan sikap. “Kami melawan segala bentuk tindakan yang mencederai demokrasi dan melanggar konstitusi”, demikian kutipan pernyataan yang dibacakan Max Gepa, ketua BEM IFTK Ledalero.
Tentu, IFTK Ledalero tidak sendiri. Pasalnya pernyataan sikap semacam ini juga disampaikan beberapa kampus di Indonesia. Di UGM, misalnya, segenap sivitas akademika meminta, mendesak, dan menuntut penegak hukum, pejabat negara dan aktor politik yang berada di belakang Presiden Joko Widodo, termasuk Presiden sendiri, untuk segera kembali pada koridor demokrasi” (Kompas, 31 Januari 2024). Atau di Universitas Islam Indonesia, segenap sivitas akademika bahkan dengan lugas menyatakan “Ketika hasil perjuangan dinodai dan dihina, maka tidak ada lagi yang bisa kita serukan kecuali, lawan” (Kompas, 1Februari2024).
‘Pernyataan sikap’ beberapa kampus di Indonesia tentu beralasan. Pasalnya seruan semacam itu bertumbuh di tengah kekhawatiran publik akan cita rasa demokrasi. Dunia akademik mensinyalir bahwa saat ini demokrasi sedang tersandera dalam jeruji ‘kepentingan penguasa’. Kekuasaan politik dipakai Jokowi untuk mengintervensi kontestasi politik pada 14 Februari 2024.
Demokrasi Serasa Mati di Tangan Jokowi
“Apakah demokrasi kita dalam bahaya?”, demikian gugatan awal Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam karya mereka berjudul “How Democracie Die”. Kedua ilmuwan politik Amerika Serikat ini mengklaim bahwa demokrasi saat ini sedang dilanda bahaya. Hanya saja proses kematiaan demokrasi agak berbeda. Kalau dulu demokrasi bisa mati di tangan jenderal, namun sekarang ia mati di tangan pemimpin terpilih (Levitsky dan Ziblat, 2019:ix).
Rupanya seruan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt amat relevan untuk konteks Indonesia. Meski dipilih secara demokratis, namun selama menjabat, sikap anti-demokratis Jokowi sangat kentara. Bahkan geliat sikap semacam itu semakin kentara di akhir masa jabatannya. Menurut Wijayanto, perilaku anti-demokratis Jokowi nampak dalam pengingkaran aturan main demokratis, wacana amandemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode, dan ‘utak-atik’ keputusan MK demi memuluskan langkah Gibran (‘Memperkuat Demokrasi Kita’, Kompas, 18 Januari 2024).
Selain itu, dalam laporan bertajuk “Stagnasi HAM Menjelang Satu Dekade Jokowi”, Setara Institute mencatat semasa rezim Jokowi, indeks HAM mengalami stagnasi. Dalam catatan setara institusi, keadaan ini diperparah dengan banyaknya kekerasan terhadap jurnalis, kriminalisasi berdasarkan UU ITE, represi aparat terhadap massa, pembubaran diskusi publik, pembatasan kebebasan akademik, kekerasan berbasis orientasi, identitas, dan ekspresi gender, ataupun perampasan wilayah adat atas nama Proyek Strategis Nasional (https://setara-institute.org/stagnasi-ham-menjelang-satu-dekade-jokowi).
Alarm sikap anti-demokratis Jokowi sebetulnya sudah lama disampaikan Thomas Power dan Eve Warbuton. Dalam tulisan berjudul “Kemunduran Demokrasi Indonesia”, sebagaimana termuat dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi Menuju Regresi, kedua ilmuwan politik ini menegaskan bahwa saat ini demokrasi Indonesia terancam punah. “Analis politik yang pernah memuji Indonesia sebagai mercusuar demokrasi di wilayah yang bermasalah”, demikian Power dan Warbuton, “kini sebagian besar setuju bahwa demokrasi Indonesia sedang mengalami kemunduran”. Bagi mereka, memburuknya demokrasi di masa Jokowi diperparah dengan mobilisasi populis, perkembangan intoleransi dan menguatnya sektarianisme, nirfungsi lembaga pemilihan dan perwakilan, memburuknya kebebasan sipil, dan penggelembungan kekuasaan eksekutif untuk membungkam kritik dan menekan oposisi dengan cara otoriter (2020:1).
Karenannya, menyitir gugatan Levitsky dan Ziblatt, apakah demokrasi kita dalam bahaya? Tentu ia. Sebab saat ini demokrasi dibajak secara halus dalam kerangka kepentingan rezim politik Jokowi. Bayangkan saja, di genggaman Jokowi, seturut riset yang dilakukan Ecnomist Intelligence Unit (EIU), Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2022 hanya meraih skor 6,71. Skor tersebut sama dengan nilai yang diperoleh Indonesia pada indeks Demokrasi 2021, dan masih tergolong sebagai demokrasi cacat (flawed democracy) (bdk. https://data.tempo.co/data/1624/indeks-demokrasi-indonesia-2022). Karenanya, di tangan Jokowi, demokrasi tidak lagi sekadar stagnasi. Pelan, tapi pasti, ia mengalami regresi, lalu mati. Ia mati bukan saja semasa pra-reformasi, namun terkini di masa Jokowi. Ia mati bukan di tangan jenderal militer, namun di genggaman seorang Presiden.
Rasa Panik Melahirkan Politik Dinasti
Memang keterpilihan Jokowi sebagai Presiden dalam konstitusi politik 9 Juli 2014, diklaim sebagai indikasi bahwa demokrasi bisa berjalan lebih baik. Pasalnya, sebagaimana Ahmad Sahide, kala itu, Jokowi dinilai sebagai Presiden pertama yang terpilih dari figur yang bukan ketua umum parpol atau elite parpol. Ia juga dianggap sebagai Presiden yang merepresentasi kalangan pinggiran (‘Jokowi, dari Kesempurnaan Demokrasi Menuju Politik Dinasti’, Kompas, 3 November 2023). Hanya sayang harapan semacam itu sekadar ilusi politik. Sebab selepas menjabat, Jokowi malah memperparah keadaan. Alih-alih diklaim sebagai ‘agen pembebas’, malahan ia begitu haus kekuasaan.
Jika ditelisik lebih dalam, geliat kekuasaan Jokowi beriringan dengan rasa panik politik. Jokowi panik, sebab dalam masa kepemimpinan, ia amat ambisius merealisasikan agenda pembangunan. Bayangkan saja, semasa memimpin, ia amat gencar mengedepankan hilirisasi dan industrialisasi sumber daya alam, optimalisasi sumber energy bersih dan peningkatan ekonomi hijau, penguatan perlindungan hukum, sosial, politik, dan ekonomi untuk rakyat, melanjutkan digitalisasi ekonomi agar usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia segera naik kelas, serta keberlanjutan IKN dan program PSN lainnya (https://www.ksp.go.id/2023-ksp-siap-mengawal-5agenda-prioritas-presiden-jokowi.html).
Jelas, ini merupakan agenda pembangunan yang luar biasa. Hanya sayang dalam rasa panik yang menggebu gebu, ia takut untuk tersingkir. Ia takut kalau-kalau ambisi kekuasaan tidak mencapai ‘kesempurnaan’. Ia takut jikalau realisasi pembangunan tidak mencapai target. Karenanya, dalam rasa panik yang menggebu, ia membangun ‘tembok’ kekuasaan. Ia menata sejumlah taktik guna menghindari bisingan publik. Ia mau agar realisasi pembangunan jauh dari kritikan banyak orang.
Karenanya seruan Wolfgang Sofsky benar. Bahwa dalam rasa panik, manusia tidak menjadi tuan atas rasionya. Rasio tidak dapat begitu saja mengusir rasa cemasnya. Justru sebaliknya rasa cemas itu mendikte rasionya (Hardiman, 2011:123). Sehingga, dalam kepanikan, Jokowi menyingkirkan rasionalitas demokratis. Malahan, sebagaimana Azyumardi Azra, demi menyelematkan pembangunan, Jokowi mengedepankan penggunaan intimidasi, koersi, persekusi, dan kekerasan yang cenderung tidak terukur (‘Pembangunan dan Perdamaian’, Kompas, 24 Februari 2022).
Tidak sampai di situ. Sesungguhnya menjelang masa akhir jabatan, rasa panik politik Jokowi kian bergejolak. Gejolak kepanikan terbaca dalam keputusan MK yang memberi ruang bagi Gibran Rakabuming, anak kandung Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden. Publik menilai keputusan ini problematik. Sebab diduga kuat, Jokowi terlibat ‘mengutak-atik’ keputusan demi memuluskan langkah Gibran. Setelah wacana ‘Presiden 3 Periodel’ gagal diakomodasi, Jokowi akhirnya ‘main kuasa’: mengintervensi keputusan MK demi mewariskan kekuasaan pada sang putra.
Jelas dalam situasi ini, Jokowi menyembunyikan kepanikan politik. Ia panik kalau-kalau yang menjabat Presiden selanjutnya amat kontra-produktif dengan agenda pembangunan Jokowi. Ia panik jika yang ‘menjadi penggantinya’ membatalkan rencana kerja politik yang dibangun. Makanya, dalam kepanikan ini, Jokowi mengorbitkan anak kandung. Walaupun mengangkangi etika politik, Jokowi memuluskan langkah Gibran dengan harapan agar ia meneruskan agenda pembangunan. Maka dalam rasa panik politik, Jokowi mereduksi demokrasi dalam framing politik dinasti. Kecemasan justru tidak lagi memantapkan pembangunan. Malahan, rasa panik semacam itu, membawa demokrasi dalam biang kehancuran.
Berlaku Demokratis Sejak dalam Pikiran
Kita perlu menyambut baik pernyataan sikap beberapa kampus di Indonesia. Walaupun terkesan lambat, hanya saja pernyataan kaum intelektual mestinya menjadi ‘alarm’ publik bahwa ‘demokrasi kita sedang sakit’. Pernyataan sikap semacam itu harus menjadi refleksi kolektif agar masyarakat mesti mengayun perahu demokrasi menuju tepian yang lebih sehat.
Jika kita punya niat untuk menyelamatkan demokrasi, mulailah menatah keberpihakan sejak dalam pikiran. Jangan mudah terbuai dengan citra politik pembangunan. Sebab kalau sejak dini prinsip demokrasi dilanggar, maka itu jadi tanda bahwa demokrasi sedang digerogoti kepentingan. Maka, kalau pikiran sudah ditahta untuk menjadi semakin demokratis, beranilah untuk menyatakan keberpihakan di bilik suara. Sebab kata Franz Magnis Suseno, “Pemilu bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa”. Maka, langkah yang pas untuk menjegal pemimpin yang haus kuasa, ada di bilik suara.
Penulis : Ican Pryatno (Alumnus IFTK Ledalero, Tinggal di Wae Sambi, Labuan Bajo)