Indodian.com-Dewasa ini, perkembangan teknologi semakin pesat. Kemajuan teknologi telah menyasar hampir semua aspek kehidupan manusia. Selain membawa dampak positif, perkembangan teknologi turut serta dalam memberikan dampak yang negatif bagi manusia. Salah satu pengaruh negatif perkembangan teknologi bagi peserta didik ialah rendahnya minat membaca yang berimplikasi pada tergerusnya pola pikir kritis. Kecanggihan teknologi ini sering menelantarkan kreativitas berpikir dan menengelamkan daya pikir kritis dalam diri setiap manusia, terutama bagi pelajar di zaman ini.
Membeludaknya informasi di media sosial yang tidak dibarengi dengan daya kritis berimplikasi pada rendahnya kualitas personal pelajar. Hal ini semakin diperparah dengan rendahnya minat baca pelajar di Indonesia saat ini. Menurut riset UNESCO, minat baca di Indonesia hanya mencapai 0,001% saja dan menduduki urutan 61 dari 62 negara di dunia yang diteliti berdasarkan minat baca.
Padahal Indonesia merupakan negara dengan urutan ke-2 sebagai pemilik perpustakaan terbanyak di dunia. Ini menunjukkan bahwa budaya literasi dari pemuda (pelajar Generasi Z) sangat rendah dan tentu berpengaruh terhadap daya pikir kritis dari pelajar itu sendiri.
Teknologi yang kian eksis membuat pelajar lebih memilih mencari informasi secara instan di internet. Buku yang dipercaya sebagai jendela dunia tidak mendapat perhatian yang serius dari para pelajar dalam meningkatkan kualitas akademik. Saat ini memang banyak informasi yang bermanfaat di internet, tetapi proses penyeleksian informasi yang bermanfaat belum menjadi pertimbangan pelajar karena rendahnya kemampuan literasi.
Pelajar seringkali tidak menginvestasikan waktu untuk membaca buku. Mereka lebih tertarik untuk berselancar di media sosial (Facebook, whatsApp, twiter dan lain sebagainya). Rendahnya daya kritis berpengaruh terhadap rendahnya pemilahan informasi yang muncul di media sosial. Implikasi lanjutannya adalah mudahnya pelajar terpapar dalam memproduksi dan menjadi konsumen berita hoax dan narasi kebencian.
Media sosial yang kian eksis terus mengerus spirit membaca. Berkurangnya minat membaca mematikan budaya berpikir kritis yang seharusnya dimiliki pelajar terutama dalam mengolah dan memanfaatkan teknologi. Saat ini, media sosial menjadi sahabat setia untuk menutupi kebosanan dan kejenuhan. Dunia sekitar terkesan lebih individualistik, media sosial menjadi tempat beradu kata dan bahkan canda tawa, banyak orang enggan berbicara atau berdiskusi untuk mencari solusi, karena jari sedang asik merangkai kata manis di dunia lain “ media sosial”. Alhasil manusia menciptakan sesuatu dengan pikiran kreatifnya kemudian manusia juga yang turut diperdayai oleh ciptaannya itu.
Untuk itu, penulis mengajurkan dua alternatif yang dapat dilakukan oleh para pelajar untuk mempertahankan eksistensinya sebagai pelajar yang identik dengan cara pikirnya yang kritis dan kreatif : Pertama, bertanggung jawab secara total dalam merawat keutamaan diri yang diperoleh dari ilmu pengetahuan maupun yang berasal dari kehendak yang mulia dan terpuji.
Rasa tanggung jawab ini hendaknya dipupuk dengan sebuah kesadaran akan nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Kemauan yang kuat untuk menjadi pribadi yang bijaksana mesti dimulai dari dalam diri. Diri sendiri adalah agen utama dari perubahan diri, niat yang kuat adalah kunci dari perubahan. Seperti sebuah pepatah ‘niat adalah modal, di luar modal duit’.
Kedua, menyadari eksistensinya sebagai pelajar. Pelajar adalah seorang yang memiliki tugas utama yaitu belajar. Belajar sebagai pekerjaan yang utama dan terutama berarti menjadikan pekerjaan yang tidak berkaitan dengan proses belajar atau proses menumbuh kembangkan budaya berpikir kritis harus diminimalisir. Pelajar harus menggunakan banyak waktu untuk melakukan aktivitas mengolah cara pikir dan cara bertindak sebagaimana layaknya seorang yang berilmu dan berpengetahuan.
Pelajar dituntut dan dipaksa untuk lebih sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan eksistensinya sebagai pelajar dihadapan masyarakat umum terutama di tengah teknologi yang kian eksis. Pelajar “kaum intelek” harus mampu menempatkan status hasil teknolgi sebagai alat bantu dalam keberlangsungan aktivitas para Pelajar. Hal ini tentu harus dilakukan secara proporsional.
Kita akui bersama bahwa di tengah kemajuan teknologi (teknolgi yang kian eksis) para pelajar dituntut untuk mengikuti gaya hidup modern, tetapi perlu diketahui bahwa gaya hidup modern bukan berpedoman pada hasil teknolgi yang kian eksis, melainkan lebih pada mengendalikan penggunaan hasil teknologi secara kritis dan selektif.
Pelajar adalah agen perubahan dan masa depan yang cerah. Masa yang akan datang adalah tanggung jawabnya. Masa depan bangsa ada di atas pundak kaum muda seperti pelajar. Teknologi diciptakan untuk membantu manusia, bukan untuk mempersulit bahkan menindas dan menguasai manusia.
Oleh karena itu, pelajar perlu mengembangkan pola pikir kritis dengan membaca buku. Bernalar kritis pada dasarnya merupakan kemampuan bawaaan yang ada pada setiap manusia. Berpikir kritis tercermin dalam sikap tidak menerima begitu saja pengetahuan, teori, konsep atau pendapat umum yang datang dari luar.
Dalam hubungan dengan banjirnya informasi saat ini, kemampuan bernalar dan bersikap kritis akan membantu pelajar untuk menangkap, memilah, dan menalaah pelbagai informasi secara objektif dan empiris agar kita bisa membedakan mana informasi yang mengajak pada kebaikan bersama dan mana informasi yang sekadar mencari sensasi atau bertujuan untuk kepentingan sesaat (Fathorrahman Ghufdran, 2017:7).
Di tengah perkembangan teknologi yang kian masif ini, pelajar perlu mengembangkan pola pikir kritis dalam memilah dan memilih informasi. Pola pikir kritis akan menjadikan dirinya sebagai tuan atas teknologi dan bukan sebaliknya menjadi budak yang menghambakan diri pada teknologi.
Penulis : Fransiskus Erick Saputra Pantur (SMAK Seminari St. Yohanes Paulus II Labuan Bajo)
Editor : Rio Nanto