Suami Kekasihku

- Admin

Kamis, 18 April 2024 - 23:46 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Apa kau pernah merasakan nikmatnya memacari isteri orang? Itu seperti mengisap mariyuana di kantor kepala penjara sementara di ruangan lain beratus-ratus narapidana memaki-maki tanpa satu manusia pun yang peduli.

Kursor di layar laptop masih berkedip-kedip di belakang kedua kalimat di atas ketika sedan hitam metalik itu berbelok masuk ke halaman rumah. Melalui jendela yang terbuka lebar, saya melihat seorang pria berjas hitam keluar dari sedan itu.

Ia mengangkat muka sebentar, mungkin untuk memastikan bahwa ia tidak salah alamat, lalu melangkah penuh wibawa ke arah pintu.

Saya tidak pernah melihat orang ini sebelumnya dan rupanya ia tidak peduli apakah saya mengenalnya atau tidak. Dia melepas kacamata hitamnya, menyisipkan tangan kanan ke kantong celana lalu membuang puntung rokok ke pot bunga.

“Apa benar ini rumah Pram?”

“Saya Pram.” Saya menyorongkan tangan kanan untuk berjabat tangan dan ia mengacuhkannya. Perasaan saya tiba-tiba menjadi tidak enak. Siapa orang ini?

“Saya Brian. Suami Maria. Di mana saya bisa duduk?”

***

Hubungan tersembunyiku dengan Maria dimulai tiga tahun lalu. Saat itu usia perkawinannya dengan pria bernama Brian ini memasuki tahun keenam.

Selama ini ia jarang bercerita tentang suaminya. Saya juga tidak terlalu tertarik mengetahui siapa dan bagaimana tampang pria itu.

Kata Maria, mereka pasangan yang serasi dan harmonis. Keduanya dikaruniai sepasang anak kembar, laki-laki dan perempuan. Sekarang berusia lima tahun.

Maria cantik, menarik, dan hebat di ranjang. Begitu pula suaminya ini. Tampan dan atletis, walaupun angkuh dan tidak tahu sopan santun.

Usianya kira-kira akhir tiga puluhan. Maria berusia dua puluh sembilan. Itu Jarak usia ideal untuk sepasang suami isteri.

Saya hidup dari mengarang cerita pendek. Bagi saya, berimajinasi melampaui batas-batas moral adalah makanan sehari-hari.

Memiliki affair misalnya, bukanlah hal yang perlu diresahkan, asalkan dipilih secara sadar dan tanpa paksaan. Begitu juga perkara memacari isteri orang, sah-sah saja sejauh saling mencintai.

Dan saya juga membeci hubungan cinta yang mengikat, sebab perasaan manusia bisa berubah setiap saat.

Karena itu saya memilih untuk melajang. Banyak orang memberi saran untuk menikah dan sebanyak itu pula saya menolak dengan sopan.

“Kesendirian adalah surga,” kata saya, selalu.

Setelah menjalani hidup kurang lebih tiga puluh empat tahun, saya meyakini bahwa lembaga pernikahan hanya menodai kemurnian cinta.

Baca juga :  Sebelah Utara Kota Karang

Bayangkan saja orang yang bertahun-tahun terpaksa hidup bersama orang yang tidak lagi mereka cintai hanya karena telah terlanjur diikat oleh janji perkawinan. Betapa menderitanya.

Hanya sedikit orang yang berani membongkar batas-batas itu. Maria salah satu dari sedikit orang itu dan keberaniannya telah memaksa pria angkuh ini mengunjungi saya sekarang.  

“Di situ ada kursi, Pak. Silahkan duduk.”

Di teras depan rumah saya ada beberapa kursi bambu dan lelaki yang mengaku sebagai suami kekasih saya ini memilih duduk di kursi yang membelakangi hutan mahoni di sisi timur rumah.

Rumah ini agak jauh dari rumah-rumah lain dan untuk pertama kalinya dalam hidup, saya menyesal telah membuat rumah di pinggir hutan dan terpisah dari rumah warga sekitar.

“Sejak kapan kau berhubungan dengan isteri saya?”

Ia menyalakan sebatang rokok dan menghamburkan asapnya sembarangan. Pertanyaan itu begitu langsung dan tiba-tiba. Maka saya menjawabnya tanpa putar-putar.

“Tiga tahun lalu. Maria menghubungi saya melalui email yang tertera pada bagian identitas penulis untuk  cerpen-cerpen saya,” jawabku mencoba meredam rasa cemas.

Bagaimana pun juga, postur tubuh tamuku ini jauh lebih besar dan kekar.

Lagi pula saya tidak tahu benda berbahaya apa yang ia sembunyikan dalam kantong celana atau di saku jas hitamnya yang terkesan mahal itu.

Walaupun Maria telah menceritakan alasan-alasan membangun hubungan tersembunyi yang telah tersingkap ini, saya merasa bahwa mengkhianati cinta lelaki yang duduk di depanku ini adalah sebuah kekeliruan.

Selain karena tampak berbahaya, pria ini juga mapan dan good looking. Garis-garis wajahnya menegaskan ketampanan seorang pria dewasa dengan kepribadian yang matang.

Ketenangannya membuat saya kagum meskipun keangkuhannya membuat saya muak.

Terlihat jelas dari sorot matanya, dia seorang lelaki yang bertanggung jawab, walaupun gagal mempertahankan kesetiaan isteri yang telah memberinya dua orang anak.

“Kenapa kau menggoda isteri saya?”

“Saya tidak menggoda Maria. Dia sendiri yang datang. Lalu kami jatuh cinta.”

Saya menangkap—walaupun hanya sesaat—api kemarahan menyala di kedua bola matanya.

***

Maria pertama kali mengunjungi saya tiga tahun lalu. Seminggu sebelumnya kami bertukar nomor WhatsApp.

Itu hanya sebuah kunjungan biasa, kunjungan yang mengawali kunjungan-kunjungan lain selama tiga tahun terakhir ini.

Kami memiliki beberapa kesamaan hobi. Selain sama-sama menyukai dunia fiksi dan menanam bunga, kami juga suka memancing.

Baca juga :  Teriakan-Teriakan Lia

Di tengah hutan di belakang rumah ini ada sebuah telaga seluas setengah lapangan bola sepak.

Kami kerap menghabiskan waktu berdua di sana untuk memancing—dan kadang bercinta.

Sejujurnya, kami jarang bercinta. Dari hubungan dengan Maria saya belajar bahwa selingkuh—atau dengan istilah apa pun engkau membahasakannya—tidak melulu tentang nafsu seksual.

Ada kepuasan batin yang ingin dicari, ada kekurangan yang mendesak untuk segera dilengkapi.

Pada Maria, kekurangan itu tampaknya sepele bagi sebagian besar laki-laki, tapi amat penting bagi seorang perempuan bersuami: rasa diinginkan.

Semua perempuan menginginkan rasa itu dari lelaki yang mereka cintai. Suaminya memenuhi segala-gala yang dia butuhkan selain rasa itu.

“Keluarga saya bahagia, tidak kurang satu apa pun,” kata Maria saat pertama kali kami saling mengungkapkan cinta.

“Tapi setelah lima tahun menikah, saya merasa kurang diinginkan, kurang dipuja.”

“Lalu karena itu engkau datang menemuiku di sini?” tanyaku setengah merayu.

“Engkau keberatan?”

“Sama sekali tidak.”     

Memang saya tidak keberatan. Pria lajang mana yang menolak perempuan cantik datang mengunjungi rumahnya? 

***

Rokok di selah-selah jari tamuku ini hampir habis. Sambil menghembuskan asap dari tarikan terakhir, ia menghujamkan puntungnya ke asbak.

“Apa yang kau mau?” tanya dia lagi setelah kembali menyalakan sebatang.

“Saya tidak menginginkan apa-apa dari Maria. Dia yang mencari saya, dia yang datang dan kemudian jatuh cinta.”

“Apa kau tidak pernah merasa telah mengganggu keutuhan rumah tangga kami?”

“Saya kira tidak adil bila seorang laki-laki menuntut kesetiaan dari perempuan yang tidak sepenuhnya dia bahagiakan. Dan saya bukan tipe orang yang percaya pada omong kosong tentang kesetiaan dalam perkawinan.”

Saya menunggu reaksinya. Kali ini tidak terjadi apa-apa. Ekspresi wajahnya datar.

Saya mengharapkan dia berdiri menerjang saya atau mencabut sesuatu dari balik jas hitamnya—semacam pistol atau pisau.

Tapi itu tidak terjadi. Lelaki ini benar-benar tenang, tidak tersulut emosi.

“Kata isteriku, kau suka memancing dan bercinta sambil menunggu umpanmu dimakan ikan.”

“Maria selalu jujur.”

Of course. Beberapa perempuan akan mengakui penyelewengan-penyelewengan kecil mereka jika kau memberinya tekanan dan sedikit rasa sakit.”

“Tekanan dan sedikit rasa sakit?”

“Ya, tekanan dan sedikit rasa sakit.”

***

Alarm tanda adanya bahaya berbunyi nyaring di gendang telinga, menggema memenuhi pusat-pusat kesadaranku.

Baca juga :  Pelangi di Mataku

Sesuatu yang buruk pasti telah terjadi pada Maria dan besar kemungkinan dia sedang tidak baik-baik saja. Saya menerka-nerka rasa sakit apa yang telah diberikan laki-laki ini padanya.

Dalam ketenangannya, laki-laki ini menyembunyikan bahaya. Sulit membaca apa yang bercokol di dalam kepalanya.

Ini saat paling menegangkan yang pernah saya alami. Saya berhadapan dengan suami perempuan yang saya pacari dan demi Tuhan, tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.

Lelaki ini begitu dingin, berwibawa, tidak menunjukkan emosi apa-apa, dan tidak dapat ditebak.

Saya ingin segera mengakhiri pertemuan tak terencana ini. Maka dengan sopan saya memintanya pulang.

Ia tersenyum—senyuman yang mengintimidasi—dan untuk kedua kalinya menghujamkan puntung rokoknya ke asbak, lalu berdiri.

“Terima kasih,” katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Nampaknya itu seperti selembar foto.

Tapi dia sengaja tidak menunjukkan bagian depannya, sehingga yang terlihat hanyalah bagian belakang yang berwarna putih.

Di tengah-tengah lembaran itu ada sederet tulisan tangan yang terkesan ditulis terburu-buru. “Maria, Isteri yang malang. 12 Mei 2010.” Itu tanggal hari ini.

“Omong-omong,” katanya lagi. “Saya dengar kau suka berburu, untuk sekadar bersenang-senang. Hebat. Seorang pengarang cerita punya banyak waktu untuk bersenang-senang.” 

“Itu satu-satunya kesukaan saya yang tidak disukai Maria dan beberapa teman kencan saya yang lain.”

“Saya juga suka berburu sama seperti kau. Mari kita saling berburu. Kau adalah pemburu sekaligus babi hutan yang diburu. Saya juga pemburu sekaligus babi hutan yang diburu. Aturannya cuma satu: siapa yang terjerat dia harus dibunuh dengan cara seperti ini.”

Masih dengan wajah tanpa ekspresi ia melemparkan foto itu ke atas meja, kemudian melangkah ke halaman tempat mobilnya diparkir.

“Saya beri kau waktu dua puluh enam jam dari sekarang.” Katanya setelah membuka pintu mobil. “Esok sore jam enam, permainan kita dimulai.”

Setelah mobil itu hilang di belokan, saya meraih foto di atas meja itu. Foto tersebut didominasi oleh warna merah. Itu darah Maria.

Potongan-potongan tubuhnya dijejalkan di dalam sebuah koper yang dibiarkan terbuka.

Dan koper itu ada di dalam bagasi mobil hitam metalik yang sekarang entah pergi ke mana membawa potongan-potongan tubuh itu.

Kepala saya mendadak pening, ingin muntah. Perburuan ini benar-benar telah dimulai.

Komentar

Penulis : Tommy Duang

Berita Terkait

Lelaki Banyak Masalah
Teriakan-Teriakan Lia
Antara Hujan dan Air Mata
Sunset yang Hilang
Tanpa Tanda Jasa
Seratus Jam Mencari Sintus
Perempuan Tangguh
Kita adalah Sepasang Luka
Berita ini 127 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA