Stempel Meritokrasi

- Admin

Sabtu, 4 Maret 2023 - 07:09 WITA

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Indodian.com – Sekolah unggul adalah alasan pokok gubernur NTT menerapkan kebijakan masuk sekolah jam 5 pagi. Kebijakan ini tidak diterapkan ke semua sekolah, tetapi hanya sekolah-sekolah terpilih di Kupang, pusat kota Provinsi.

Sekolah-sekolah terpilih ini diharapkan oleh gubernur akan menjadi sekolah unggul. Tamatan dari sekolah-sekolah ini bisa masuk ke UI, UGM dan Harvard. Gubernur secara khusus menyebut “tiga universitas ini” karena tiga universitas ini adalah tiga universitas “unggul” di tingkat nasional dan global.

UI dan UGM adalah dua universitas unggul di Indonesia. Mereka selalu berada di nomor satu dalam berbagai macam pemeringkatan nasional, mengalahkan banyak universitas lainnya di seantero jagad nasional. Di level internasional, dua universitas ini pada umumnya menempati angka 200-an dari puluhan atau ratusan ribu universitas di seantero jagad.

Bagai langit dan bumi. Mungkin itu ungkapan yang tepat bila kita membandingkan UI dan UGM dengan ribuan perguruan tinggi yg tersebar hingga ke pelosok-pelosok NTT. Daripada memikirkan bagaimana mengubah atau mendorong universitas-universitas di NTT menjadi kampus-kampus kebanggaan masyarakat NTT dan diminati anak-anak muda NTT, Gubernur lebih berpikir bagaimana anak-anak NTT bisa masuk ke UI, UGM dan Harvard. Jelas, dengan ini, saya berasumsi, Gubernur tidak menaruh harapan dan masa depan NTT pada kampus-kampus di NTT, dan tidak berbangga pada produk dari kampus-kampus tersebut.

Baca juga :  Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural

Mimpi Gubernur bahkan lebih besar lagi: anak-anak yg tamat dari sekolah-sekolah unggul (yang mulai sekolah jam 5 pagi itu) suatu saat nanti bisa masuk Harvard. Harvard adalah salah satu universitas terbaik dunia. Faktanya, hanya sedikit orang Indonesia yang bisa masuk ke sana.

Tidak semua orang bisa masuk ke Harvard dengan gampang, bahkan bagi orang Amerika. Modal masuk sekolah jam 5 pagi saja tidak cukup. Mayoritas (80-an %) persen mahasiswa di Harvard berasal dari keluarga-keluarga yang amat kaya dan punya akses ke segalanya.

Orang-orang Indonesia yang masuk ke sana juga adalah orang-orang yang punya latar belakang pendidikan istimewa. Istimewa maksudnya lebih daripada “bagus dan standar”. Orang-orang ini biasanya sekolah di sekolah-sekolah elit (internasional) yang berbiaya mahal. Mereka sejak kecil sudah bisa berbahasa Inggris dengan fasih.

Sejak kecil pula, mereka mengikuti berbagai kursus bahasa Inggris berbiaya mahal. Bahkan selagi mereka masih dalam kandungan, orangtua mereka sudah memikirkan apa gizi terbaik untuk mendukung perkembangan otak mereka, di mana mereka akan sekolah, dll. Singkatnya, orang-orang ini lahir dalam keluarga yang memang top secara ekonomi.

Anda tidak mungkin menyekolahkan Anak Anda di “sekolah-sekolah elit/internasional” yang berbiaya mahal kalau Anda hanya seorang petani biasa-biasa saja. Anda tak mungkin berangan-angan agar anak Anda mendapat kursus bahasa Inggris sejak kecil kalau nyatanya Anda hanyalah seorang buruh kasar. Dan jika untuk makan sehari-hari saja, Anda harus berpikir keras mencarinya, bagaimana Anda berangan-angan untuk memberikan gizi terbaik bagi buah hati di kandungan Anda agar dia lahir sebagai insan cerdas?

Baca juga :  Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 

Ketimpangan inilah yang lolos dari perhatian gubernur saat ia sedang bermimpi. Mimpi memang baik, tapi harus realistis. Hingga saat ini, NTT adalah salah satu provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi. Sebanding dengan tingginya angka kemiskinan adalah tingginya angka korupsi. Gizi buruk tidak pernah pergi dari NTT. Bagaimana mengharapkan anak-anak NTT bersaing di era 4.0 atau 5.0 jika sejak kecil anak2 ini dihajar stunting?

Gubernur memimpikan mobilitas naik, tapi tidak melihat ketimpangan yang nyata-nyata ada. Ini adalah kecenderungan pokok orang-orang yang percaya pada asumsi-asumsi meritokratis.

Meritokrasi adalah keyakinan bahwa prestasi individu adalah segalanya, dan prestasi ini hanya bisa diperoleh jika seseorang tamat sarjana dari universitas (elit). Dalam meritokrasi, pendidikan disempitkan sebagai ranah untuk membuat orang berprestasi secara individual sehingga tujuan sosial dan humanistik dari pendidikan semakin hilang. Ini adalah akibat nyata ketika logika pasar dan algoritma neoliberal masuk ke wilayah pendidikan.

Selama 60 tahun terakhir, pendidikan menghasilkan akademisi-akademisi yang sibuk mengejar gelar (bahkan dengan cara-cara kotor), meskipun gelar-gelar tersebut tidak punya sumbangan apapun bagi perubahan sosial selain demi kebanggaan dan kemewahan individualistik si akademisi. Inilah sebabnya, pendidikan saat ini sudah gagal mewujudkan kesetaraan, dan justru mereproduksi jenis-jenis ketimpangan baru.

Baca juga :  Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital

Stempel meritokrasi inilah yang terlihat di balik kebijakan kontroversial gubernur tersebut. Daripada memikirkan bagaimana menyelesaikan ketimpangan antarsekolah di NTT, gubernur justru lebih berpikir bagaimana menciptakan sekolah-sekolah unggul.

Kata “unggul” adalah bahasa yang meritokratis. Meritokrasi berpikir menurut skema “the winners” vs “the losers”. Cara berpikir pemenang vs pecundang adalah logika khas meritokrasi. Bahwa nanti ada segelintir orang NTT (tamatan sekolah unggul) yg bertengger di posisi atas, dan sebagian besar yg merayap di bawah, adalah hal yang fair. Bisa dibayangkan bahwa 50 tahun ke depan, ketimpangan sosial ekonomi di NTT bukannya berkurang, malah bertambah.

Karena itu mimpi gubernur menghasilkan sekolah unggul dan anak-anak NTT yang menyandang stempel “telah tamat dari universitas elit” adalah mimpi yang menyenangkan, tapi buruk bagi cita-cita keadilan dan kesetaraan sosial. Mimpi ini tidak menyelesaikan problem ketimpangan sosial-ekonomi di NTT, tapi malah akan mempertajamnya.

Mimpi ini adalah mimpi mereka yang berpikir menurut logika pasar (neoliberal). Logika pasar itu sendiri adalah inti dari meritokrasi. Di AS, Eropa bahkan Jepang dan banyak negara maju lainnya, meritokrasi telah banyak dikritik sebagai racun. Di Indonesia, dan di NTT, kita sedang bermain-main dengan racun itu.*

Komentar

Berita Terkait

Menyontek dan Cita-Cita Bangsa
Sastra Jadi Mata Pelajaran
Kaum Muda dan Budaya Lokal
Disrupsi  Teknologi dan Dinamika Pendidikan Kita
Budaya Berpikir Kritis Menangapi Teknologi yang Kian Eksis
Urgensi Literasi Digital di Era Pasca-Kebenaran 
Pembelajaran Agama Bercoral Multikultural
Peluang Pendidikan Tinggi di Era Digital
Berita ini 122 kali dibaca

Berita Terkait

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:47 WITA

Alexis de Tocqueville dan Tantangan Demokrasi: Mengapa Agama Sangat Penting bagi Masyarakat Demokratis?

Senin, 26 Agustus 2024 - 10:28 WITA

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Rabu, 21 Februari 2024 - 19:07 WITA

Lingkaran Setan Kurasi Algoritma di Era Demokrasi

Minggu, 18 Februari 2024 - 16:18 WITA

Demokrasi dan Kritisisme

Jumat, 9 Februari 2024 - 18:26 WITA

Saat Kaum Intelektual Lamban ‘Tancap Gas’: Apakah Tanda Kritisisme Musiman?

Selasa, 6 Februari 2024 - 19:06 WITA

Dari Ledalero untuk Indonesia: Menyelamatkan Demokrasi dari Jerat Kuasa?

Senin, 22 Januari 2024 - 20:58 WITA

Debat Pilpres Bukanlah Forum Khusus Para Elit

Rabu, 3 Januari 2024 - 06:57 WITA

Independensi, Netralitas Media dan Pemilu 2024

Berita Terbaru

Filsafat

Paus Fransiskus: Spes non Confudit!

Jumat, 6 Sep 2024 - 23:37 WITA

! Без рубрики

test

Kamis, 29 Agu 2024 - 02:31 WITA

steroid

Understanding Oral Steroids and Their Course

Rabu, 28 Agu 2024 - 14:43 WITA

Politik

DPR Kangkangi Konstitusi: Apakah Demokrasi sudah Mati?

Senin, 26 Agu 2024 - 10:28 WITA