Indodian.com – Pemerintahan Jokowi periode II, 2019-2024, dibuka dengan cita-cita geopolitik yang besar. Sang presiden dan orang-orang di sekitarnya berikhtiar menjadikan Indonesia urutan kelima negara superpower tahun 2045. Karena itu tentu tidak ada cara lain menjadi superpower selain membawa kepentingan nasional dalam aksi geopolitik di Indo-Pasifik, Asia dan dunia.
Tapi dapatkah mimpi besar itu jadi kenyataan ekonomi bagi generasi masa depan dalam tata dunia baru? Atau semata bualan politik dalam negeri supaya rakyat terbuai dan kasta politik-bisnis terus mengutak-atik wilayah dan mengeruk sumber daya negara untuk masa depan politik masing-masing? Mengapa parameter geopolitik sebagai prasyarat menjadi superpower belum tersurat dalam dokumen kebijakan, produksi pengetahuan dan diskusi publik?
Pertanyaan di atas tidak lebih dari deteksi awal terhadap janji politik, diucapkan oleh kecerdasan visioner atau sebaliknya ungkapan sukacita kemenangan pasca pilpres. Demikianlah bisa diteruskan ke pertanyaan penting mengenai pemindahan Ibukotanya Sejarah Bangsa atas dasar kegagalan sendiri mengelola perkotaan dan pemukiman.
Apa implikasinya bagi kebesaran sebuah bangsa politik bernama Indonesia ketika pilar sejarah nasional ditinggalkan karena kegagalan tata-ibukota dan daya tarik investasi? Apakah sebuah bangsa tidak bergerak maju karena ibukotanya sesak dan sumpek? Mengapa bukan pusat keramaian dan pusat bisnis yang direlokasi sehingga ibukota tetap tegak berdiri dalam sejarah nasional dan sejarah dunia masa kini? Apakah untuk membuktikan mimpi kemakmuran sejarah bangsa harus ditinggalkan—jasmerah?
Pemindahan ibukota tentu ada kaitan dengan agenda akselerasi investasi asing dan pembangunan ragam infrastruktur ekonomi, ragam industri migas dan kawasan strategis. Dari sana muncul pertanyaan baru mengenai bagaimana mengukur pembangunan kilang minyak, instalasi LNG, bendungan, pelabuhan dan jalan tol dapat berkontribusi secara maksimal terhadap proyeksi ekonomi makro Indonesia ke dalam ekonomi kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur yang makin sarat kompetisi dan inovasi. Termasuk terpenting bagaimana mengukur kontribusi dan risikonya bagi pemerataan dan kesenjangan pembangunan antarwilayah strategis dan antarkabupaten dalam masing-masing provinsi.
Halaman : 1 2 3 4 5 Selanjutnya